Friday, February 24, 2006

Pengantar

Para pembaca yang selalu dibangun oleh Sabda Tuhan,
dalam blog ini terdapat dua bahan kursus, dan beberapa bahan pengolahan kitab suci dari Hari Minggu Kitab Suci Nasional.

Yang pertama kursus untuk membangun pemahaman dasar tentang kitab suci dan sikap dasar dalam membaca kitab suci. Kursus ini meliputi 9 bahan pertemuan, yang pernah dipraktekkan, setiap pertemuan 4 jam lamanya. seluruhnya terdapat dalam archive bulan february 2006. Kursus itu terdiri dari:
1. Pendahuluan,
2. Paham Wahyu-Iman menurut ajaran Gereja Katolik,
3. Paham Kebenaran Kitab Suci,
4. Memahami Jenis Sastra dalam kitab suci,
5. Memahami pewartaan tentang Allah,
6. Memahami pewartaan tentang manusia,
7. Memahami Perjanjian Lama,
8. Memahami Perjanjian Baru, dan
9. Berdoa dengan Kitab Suci.

Yang ke dua, kursus tertulis untuk membantu melihat satu per satu kitab dalam alkitab. Kursus ini, dengan tanggal yang terbalik dengan urutan kursus, terdapat dalam archives september 2005, agustus 2005, dan juli 2005.
Kursus ini terdiri dari:

  1. Minggu Pertama: Senin: Pengantar ; Selasa:Yesus bin Sirakh ; Rabu: Lukas ; Kamis: Yohanes ; Jumat: Timotius ; Sabtu: Evaluasi Pribadi
  2. Minggu Kedua: Senin: Kejadian ; Selasa: Keluaran ; Rabu: Imamat ; Kamis: Bilangan ; Jumat: Ulangan ; Sabtu: Evaluasi Pribadi
  3. Minggu Ketiga: Senin: Yosua ; Selasa: Hakim-hakim ; Rabu: Rut ; Kamis: Samuel ; Jumat: Raja-raja ; Sabtu: Tawarikh
  4. Minggu Keempat: Senin: Ezra ; Selasa: Nehemia ; Rabu: Ester ; Kamis: Ayub ; Jumat: MazmurSabtu: Amsal
  5. Minggu Kelima: Senin: Pengkotbah ; Selasa: Kidung Agung ; Rabu: Yesaya ; Kamis: Yeremia ; Jumat: Ratapan ; Sabtu: Yehezkiel
  6. Minggu Keenam: Senin: Daniel ; Selasa: Hosea ; Rabu: Yoel ; Kamis: Amos ; Jumat: Obaja ; Sabtu: Yunus
  7. Minggu Ketujuh: Senin: Mikha ; Selasa: Nahum ; Rabu: Habakuk ; Kamis: Zefanya ; Jumat: Hagai ; Sabtu: Zakaria
  8. Minggu Kedelapan: Senin: Maleakhi ; Selasa: Tobit ; Rabu: Yudit ; Kamis: Kebijaksanaan ; Jumat: Yesus bin Sirakh ; Sabtu: Barukh
  9. Minggu Kesembilan ; Senin: Makabe ; Selasa: Matius ; Rabu: Markus ; Kamis: Lukas ; Jumat: Yohanes ; Sabtu: Kisah Para Rasul
  10. Minggu Kesepuluh: Senin: Roma ; Selasa: Korintus ; Rabu: Galatia ; Kamis: Efesus ; Jumat: Filipi ; Sabtu: Kolose
  11. Minggu Kesebelas: Senin: Tesalonika ; Selasa: Timotius ; Rabu: Titus ; Kamis: Filemon ; Jumat: Ibrani ; Sabtu: Yakobus
  12. Minggu Keduabelas: Senin: Petrus ; Selasa: Yohanes ; Rabu: Yudas ; Kamis: Wahyu ; Jumat: Akhir kursus

Yang ke tiga, bahan-bahan dari Hari Minggu Kitab Suci Nasional (mksn) yang tersedia dalam archives tahun 2000 dan 2001, khususnya Gagasan Pendukung (ringkasannya).
(Sekiranya ada yang masih mempunyai bahan yang belum ditayangkan di sini, dan rela mengirimkannya kepada kami, akan kami tayangkan di sini)
Konkretnya:

mksn 1978 Firman Tuhan Daya Hidup Kita
mksn 1981 Firman Tuhan mendewasakan
mksn 1982 Firman Tuhan dalam Pertemuan Umat
mksn 1983 Firman Tuhan dalam Keluarga
mksn 1984 Firman Tuhan dalam Hidup Pribadi
mksn 1985 Mengenal Injil Markus: Menurut Kamu Siapakah Aku Ini
mksn 1986 Mengenal Injil Lukas
mksn 1991 Menanggapi Sapaan Tuhan
mksn 1993 Alkitab dan Evangelisasi Baru
mksn 1994 Keluarga dan Evangelisasi Baru
mksn 1995 Kaum Muda dan Evangelisasi Baru
mksn 1996 Evangelisasi Baru Dalam Masyarakat dengan semangat nabi Amos
mksn 1997 Evangelisasi Baru Dalam Masyarakat: Menjadi Manusia Baru Dalam Kristus


Semoga membantu Anda untuk semakin berdialog dengan Sang Sabda Kehidupan.

Salam Sabda Kehidupan
wim seger

Thursday, February 09, 2006

Pendahuluan

PENDAHULUAN

Mengakhiri uraiannya tentang “Pentingnya Kerasulan Kitab Suci bagi Umat Katolik sejak Konsili Vatikan II”, Pater C. Groenen menulis:
Dari atas sampai ke bawah kerasulan kitab suci adalah sesuatu yang amat mendesak sekali. Kiranya tidak ada seorangpun yang berani mengatakan bahwa di bidang ini di Indonesia keadaannya memang baik sekali. Sebaliknya setiap orang dapat melihat betapa banyak kekurangan justru di bidang ini. Ini tidak perlu dipersalahkan kepada siapapun. Belum lama berselang sarana yang perlu tidak ada. Misalnya sebuah terjemahan modern, sarana dasari, baru-baru saja tersedia. Hanya di masa mendatang kelalaian dalam kerasulan Kitab Suci mungkin dapat menjadi suatu kesalahan yang sukar dimaafkan. (Lembaga Biblika Indonesia, Kerasulan Kitab Suci, Jakarta 1977, halaman 12).

Sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu pendapat itu dilontarkan. Selama itu sudah banyak hal yang terjadi berhubungan dengan kerasulan Kitab Suci. Pemahaman arti kerasulan Kitab Suci semakin dipertajam dalam berbagai tulisan. Dengan demikian landasan untuk gerakan kerasulan Kitab Sucipun semakin kokoh pula dan arah pun semakin jelas (Lihat misalnya Ekawarta 1{1987} halaman 11). Sarana-sarana dasari sudah cukup banyak disediakan, termasuk sarana-sarana penunjang yang berupa terbitan-terbitan dalam bidang tafsir, teologi Kitab Suci, bahan-bahan serta metoda-metoda kelompok Kitab Suci. Kecuali itu kegiatan-kegiatan yang didukung oleh Lembaga Biblika Indonesia dan para delegatus Kitab Suci di setiap Keuskupan tidak dapat disebut kurang. Pertanyaan yang dapat muncul ialah: mengapa muncul arus atau gerakan Kitab Suci dalam Gereja Katolik? Dalam rangka apakah gerakan ini harus ditempatkan?

Gerakan Kitab Suci harus ditempatkan dalam rangka pembaharuan hidup seluruh Gereja. Paus Yohanes XXIII memanggil Konsili Vatikan II dalam rangka pembaruan seluruh Gereja. Gereja ingin memahami dirinya secara baru, lebih mendalam dan utuh. Dari pemahaman itu diharapkan muncul kehidupan baru yang membuat Gereja mampu melaksanakan peranan sesuai dengan panggilannya di dunia ini, yang kemudian dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja dirumuskan sebagai “di dalam Kristus Gereja merupakan sakramen, yakni tanda dan alat kesatuan mesra dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia” (LG 1).
Dalam rangka pembaharuan inilah Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi berperan sebagai dasar dan sekaligus kerangka pemikiran. Kalau Gereja mengharapkan hidupnya selalu baru, maka ia harus melandaskan keberadaannya dan menempatkan seluruh pengalaman hidupnya dalam rangka sejarah penyelamatan Allah. Gereja bukan pertama-tama suatu lembaga yang dulu didirikan oleh Yesus atau para rasul, akan tetapi adalah umat yang dihimpun oleh sabda Allah yang hidup (PO 4). Gereja adalah umat Allah yang dipanggil dan dihimpun oleh Allah yang bersabda dan berkarya dalam sejarah. Sabda dan karya Allah dalam sejarah, atau dengan kata lain sejarah penyelamatan Allah itu dirumuskan dalam Kitab Suci. Inilah kebaruan pandangan yang pokok dan radikal serta menentukan mengenai Gereja dalam Konsili Vatikan II. Dengan demikian jelas sekali bahwa sabda Allah merupakan dasar bagi kehidupan Gereja dan diharapkan juga menentukan ciri-ciri keberadaannya dalam sejarah. Kesadaran ini secara jelas tampak dalam Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, yang sangat dijiwai Kitab Suci. Teks-teks Kitab Suci tidak hanya dikutip sebagai hiasan atau untuk membenarkan pandangan yang sudah disusun atau ditentukan lebih dahulu. Gagasan dasar dan seluruh teologi Gereja sungguh dijiwai Kitab Suci (Lihat misalnya C. Groenen, Teologi Katolik sudahkah berorientasi Kitab Suci? Ekawarta 5 {1985} halaman 50-54). Dengan jiwa itu, Gereja tidak akan pernah “mandeg”, tetapi selalu dinamis, bergerak maju, “tidak berhenti memperbarui diri, sampai ia melalui salib mencapai terang yang tak kunjung terbenam” (LG 9).

Gerakan pembaruan Gereja tidak berjalan tanpa arah. Gereja membutuhkan pedoman. Maka tidak ada kemungkinan lain kecuali kembali ke asal-usul keberadaan dan sumber hidup Gereja sendiri, yaitu pewartaan para Rasul yang termuat dalam Kitab Suci. Tidak ada pedoman yang dapat dipakai untuk gerakan pembaruan yang begitu banyak seginya, kecuali sabda Allah sendiri yang tertulis dalam Kitab Suci. Memang Kitab Suci bukanlah buku pegangan atau buku pintar yang dapat memberi jawaban langsung atas pertanyaan-pertanyaan atau tantangan-tantangan kehidupan yang muncul. Tetapi Kitab Suci, sabda Allah seharusnya menjadi terang untuk mencari jawaban yang tepat sesuai rencana Allah.

Kitab Suci dapat menjadi terang kalau Kitab Suci dapat bermakna, berperan serta mempunyai arti bagi Gereja dan dalam kehidupan nyata setiap orang beriman. Kalau demikian setiap segi kehidupan yang diperjuangkan, setiap keputusan dan pilihan yang diambil, harus diperjuangkan dan diambil berdasarkan semangat Kristus yang terungkap dalam Kitab Suci. Lalu Kitab Suci sungguh-sungguh menjadi sumber inspirasi hidup Kristen, sebagaimana dikatakan dalam Dekrit Tentang Kerasulan Awam, “Hanya dalam cahaya iman dan dalam renungan sabda Allah, seorang selalu dan di mana-mana dapat mengenal Allah, dalam siapa kita hidup, bergerak dan ada (Kisah 17:28); dapat mencari kehendakNya dalam tiap kejadian, dapat melihat Kristus di dalam semua orang, baik yang dekat maupun yang asing, dapat mempertimbangkan dengan tepat makna yang benar dan nilai dari hal-hal duniawi di dalam dirinya dan dalam hubungannya dengan tujuan manusia” (AA 4). Agar Kitab Suci sungguh menjadi sumber inspirasi hidup Kristen seluruh bidang dan segi kehidupan Gereja harus dijiwai oleh Kitab Suci (DV 21, 24, 25).; segenap lapisan dan tingkat warga Gerejapun demikian: para imam, diakon, katekis, semua orang Kristen, biarawan-biarawati, aktivis umat (DV 22.25; PC 6; AA 4).

Tinggallah suatu pertanyaan besar: jalan mana yang harus ditempuh agar Kitab Suci sungguh ditempatkan di tengah-tengah kehidupan Gereja, pada segala tingkat dan lapisan dan sungguh dapat menjadi sumber inspirasi bagi hidup Kristen? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah diingat kembali salah satu pertanyaan yang diajukan tentang Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi, dalam rangka persiapan Sinode Uskup 1985 yang mengevaluasi Konsili Vatikan II: “Bagaimana Konstitusi Tentang Wahyu Ilahi dimengerti dan diterapkan sehingga pemahaman wahyu ilahi dan Kitab Suci lebih luas pengaruhnya dan masuk ke dalam kehidupan kaum beriman?”. Pemahaman tertentu mengenai wahyu dan Kitab Suci akan menentukan juga bagaimana Kitab Suci berperan dalam kehidupan (Lihat misalnya, Martin Harun, Bagaimanakah Alkitab diterima Umat Kita, Ekawarta 3 [1987] halaman 4-5). Kami yakin bahwa sebelum yang lain, paham dasar mengenai wahyu dan Kitab Suci, serta paham-paham lain yang berhubungan dengan paham dasar itu harus ditanamkan terlebih dahulu. Maka dalam rangkaian tulisan ini, akan dicoba dijelaskan secara populer pemahaman-pemahaman dasar yang terdapat dalam Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi dan ditunjukkan akibat-akibat praktis dalam membaca Kitab Suci.

I. Suharyo Pr.
Seminari Tinggi St. Paulus
Yogyakarta
1989

Wednesday, February 08, 2006

PAHAM WAHYU dan IMAN

BAB I
ALLAH MENYAPA MANUSIA SEBAGAI SAHABAT

1. Salah satu soal dalam tes pengetahuan Kitab Suci di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta adalah sebagai berikut: Menurut pendapat Anda, manakah rumus yang paling tepat di antara rumus-rumus di bawah ini, dan berilah pula alasan-alasannya:
a. Kitab Suci adalah wahyu Allah
b. Kitab Suci adalah hasil bisikan Roh Kudus
c. Kitab Suci adalah ungkapan iman Israel dan Gereja Awal
d. Kitab Suci adalah sabda Allah dalam bahasa/sastra manusia.
Daftar rumusan ini masih dapat diperpanjang lagi misalnya dengan bertanya: menurut Anda Kitab Suci adalah .... Jawaban yang biasanya muncul atas pertanyaan semacam itu adalah: Kitab Suci adalah ajaran ilahi yang diberikan kepada manusia; petunjuk untuk membangun hidup etis; sumber penghiburan, pegangan dan pelita dalam kegelapan. Bahkan dengan maksud tertentu Kitab Suci tidak jarang disebut surat cinta Allah kepada manusia. Adanya berbagai macam rumusan tersebut mencerminkan adanya berbagai macam pemahaman mengenai Kitab Suci yang pernah ada dan sekarang masih tetap ada. Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa pada umumnya di lingkungan orang-orang Kristen yang tidak/belum mendapat pendidikan dasar Kitab Suci, pandangan yang paling umum ialah yang dirumuskan pada nomor a dan b. Pandangan semacam itu mempunyai akar yang sangat dalam. Pertama adalah akar kebudayaan-religius setempat. Pandangan bahwa Kitab Suci adalah “wahyu yang diturunkan” atau “pedoman hidup” mencerminkan pandangan saudara-saudara kita orang Islam mengenai Kitab Suci mereka. Yang kedua adalah sejarah Gereja sendiri. Lama sekali dalam sejarah Gereja, pembicaraan tentang Kitab Suci bernada negatif, berupa misalnya pembelaan terhadap keragu-raguan tentang kebenaran yang terkandung di dalamnya; pembelaan terhadap penyalahgunaan atau untuk membenarkan pendapat-pendapat teologis tertentu. Sikap semacam ini masih sangat kuat ketika Konsili Vatikan II mulai membicarakan rencana naskah yang akhirnya menjadi Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi pada tahun 1962. Yang sekarang kita kenal sebagai Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi (= Dei Verbum, disingkat DV) adalah hasil suatu pengolahan panjang dan berbelit-belit dari suatu naskah yang pada awalnya berjudul “Tentang Sumber-Sumber Wahyu”, yang masih mencerminkan pandangan lama mengenai Kitab Suci. (Lihat T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis Dei Verbum - Tentang Wahyu Ilahi, Yogyakarta 1969, halaman 21-33; C. Groenen-Stefan Leks, Percakapan Tentang Alkitab, Yogyakarta 1986, halaman 130-152). Kedua akar ini sangat besar pengaruhnya bagi pemahaman umat Kristen mengenai Kitab Suci, dan dengan sendirinya juga sangat mempengaruhi bahkan menentukan cara umat mengartikan atau menggali isi Kitab Suci. Selama pemahaman Kitab Suci masih bernada ‘negatif’, akan tetap sulit untuk sampai kepada keyakinan bahwa Kitab Suci adalah kabar gembira keselamatan Allah. Dalam rangka membangun sikap positif terhadap Kitab Suci ini, Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi pada bab pertama berbicara mengenai wahyu dan iman.

2. Kamus Besar Bahasa Indonesia yang terbaru (1988) mengartikan wahyu sebagai ‘petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan sebagainya’. Kata kerja mewahyukan diberi arti memberi wahyu, menurunkan wahyu. Dengan kata lain ada yang memberi (= Allah), ada yang diberi (= Nabi, Rasul) dan ada yang diberikan (= Wahyu). Yang memberi dan yang diberikan adalah dua hal yang berbeda. Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi memberikan keterangan yang sangat berbeda. Pada artikel dua dikatakan: “Dalam kebaikan dan kebijaksanaanNya Allah berkenan mewahyukan DiriNya dan menyatakan rahasia kehendakNya .... Maka dengan wahyu ini Allah yang tak kelihatan karena cinta kasihNya yang melimpah ruah, menyapa manusia sebagai sahabat dan bergaul dengan mereka, guna mengundang dan menerima mereka ke dalam persekutuanNya. .... Melalui wahyu ini kebenaran yang paling mendalam, baik tentang Allah maupun tentang keselamatan manusia, menjadi jelas bagi kita di dalam Kristus yang sekaligus menjadi perantara dan kepenuhan seluruh wahyu”. Selanjutnya mengenai kepenuhan wahyu, yang adalah Kristus dikatakan: “Sesudah berulangkali dan dengan pelbagai cara Allah berbicara dengan perantaraan para nabi, akhirnya pada jaman sekarang, Ia berbicara kepada kita di dalam Putera .... supaya tinggal di antara manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang paling dalam ....” (artikel 4). Dari kedua kutipan di atas jelas bahwa wahyu adalah Allah sendiri yang menyapa manusia, yang berbicara dengan manusia, yang berhubungan secara pribadi dengan manusia. Wahyu bukan ajaran, bukan petunjuk, bukan pemberitahuan, melainkan Allah sendiri yang menyatakan rahasia penyelamatanNya. Dalam kedua kutipan tersebut hubungan pribadi yang berciri dialog sangat menonjol.
3. Kalau wahyu adalah Allah sendiri yang menyapa manusia, maka dari pihak manusia diharapkan tanggapan atas sapaan itu. Tanggapan ini disebut iman. Karena iman berhubungan langsung dengan wahyu, maka paham tentang iman pun tergantung pada paham tentang wahyu. Kalau wahyu adalah ‘kebenaran yang diturunkan’, maka iman adalah menerima kebenaran-kebenaran tersebut. Berdasarkan paham wahyu yang dikatakan dalam DV 2,4, Konsili mengatakan: “Kepada Allah yang mewahyukan diri, manusia harus menyatakan ketaatan iman. Dalam ketaatan iman tersebut manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah dengan kepenuhan akal budi dan kehendak yang penuh kepada Allah pewahyu ...” (DV 5). Maka sebagaimana dalam paham wahyu ditekankan ciri pribadi dan dialogal, demikian pula ciri itu tampak jelas dalam hal iman. Iman adalah sikap penyerahan diri manusia dalam pertemuan pribadi dengan Allah.

4. Paham mengenai wahyu dan iman yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II dengan sendirinya langsung berhubungan dengan paham tentang Kitab Suci. Allah menurut keyakinan Kristen, tidak menurunkan apa-apa langsung dari surga. Yesus pun tidak pernah menuliskan pesan-pesan atau ajaran-ajaranNya. Sekali Ia menulis di tanah! Para penulis Kitab Suci bukanlah orang-orang yang menerima wahyu. Mereka adalah orang beriman yang mengartikan peristiwa-peristiwa sejarah, khususnya peristiwa Yesus, sebagai sapaan Allah yang berkehendak menyelamatkan manusia. Arti atau kesaksian inilah yang akhirnya, setelah melalui liku-liku proses panjang, dituliskan. Maka salah satu rumusan yang ditawarkan berbunyi: Kitab Suci adalah kesaksian iman Israel dan Gereja Awal. Kitab Suci dapat juga disebut wahyu, dengan mengingat paham Kristen tentang wahyu. Wahyu bukan kitab, tetapi pribadi Allah sendiri yang menjadi nyata dalam diri Yesus.

5. Paham dasar mengenai wahyu, iman dan Kitab Suci ini sangat menentukan cara Kitab Suci, wahyu Allah dimengerti, dipahami serta diperankan dalam kehidupan. Kalau wahyu adalah Allah sendiri yang menyapa manusia, maka Kitab Suci juga harus ditempatkan dalam rangka relasi Allah dengan manusia. Maka membaca Kitab Suci tidak terutama bertujuan mencari informasi, melainkan membina relasi. Bahasa Kitab Suci bukanlah bahasa informasi, melainkan bahasa relasi. Kitab Suci adalah kabar gembira. Namun Kitab Suci tidak menggembirakan karena kita yang membaca atau mendengarnya memperoleh pengetahuan lebih banyak, melainkan karena ada relasi baru yang terbangun oleh sabda - tentu saja tanpa mengecualikan pengertian. Suatu contoh sederhana mungkin dapat menjelaskan maksud uraian ini. Seorang anak berkata kepada ibunya: “Ibu, saya haus”. Yang dikatakan oleh anak itu dapat ditangkap sebagai informasi tetapi juga dapat dipahami dalam rangka relasi. Kalau kata-kata itu ditangkap sebagai informasi, ibu itu akan mendengarkan dan mungkin berkata, “Oh ya?” dan selesai. Lain halnya kalau kata-kata itu ditempatkan dalam rangka relasi ibu - anak. Setelah mendengar anaknya berkata demikian, ibu itu akan mengambil gelas, mengisinya dan memberikannya kepada anaknya. Atau sebaliknya, ibu itu juga dapat marah dan berkata, “Baru saja minum sudah haus lagi!”. Kalau demikian relasi yang terjadi bercorak negatif.

6. Berikut ini akan diberikan satu contoh membaca Kitab Suci, dengan memberi perhatian khusus pada gagasan relasi. Teks yang dipilih adalah Markus 10:46-52, kisah penyembuhan Bartimeus. Yang akan diperhatikan adalah relasi antara tokoh-tokoh yang diceritakan dan dinamika relasi yang terjadi dalam proses cerita, dalam garis besar. Kalau demikian, kisah ini dapat menjadi tantangan atau tawaran bagi kita untuk membangun relasi yang sama - atau lebih tepat: membiarkan diri kita dimasukkan ke dalam relasi yang baru dengan Yesus.
Teks
46. Lalu tibalah Yesus dan murid-muridNya di Yerikho. Dan ketika Yesus keluar dari Yerikho, bersama-sama dengan murid-muridNya dan orang banyak yang berbondong-bondong, ada seorang pengemis yang buta, bernama Bartimeus, anak Timeus, duduk di pinggir jalan. 47. Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” 48. Banyak orang menegornya supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru: “Anak Daud, kasihanilah aku!” 49. Lalu Yesus berhenti dan berkata: “Panggillah dia!”. Mereka memanggil orang buta itu dan berkata kepadanya: “Kuatkan hatimu, berdirilah, Ia memanggil engkau.” 50. Lalu ia menanggalkan jubahnya, ia segera berdiri dan pergi mendapatkan Yesus. 51. Tanya Yesus kepadanya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Jawab orang buta itu: “Rabuni, supaya aku dapat melihat!”. Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalananNya.

Bartimeus
a. Yang menjadi pusat perhatian dalam kisah ini adalah Bartimeus. Lain halnya kalau dibandingkan dengan kisah yang mirip dalam Mrk 8:22-28. Dalam kisah tersebut yang menjadi perhatian utama adalah Yesus.
Sebagaimana setiap kisah, kisah penyembuhan Bartimeus pun ada awal dan akhirnya.
Awal: Bartimeus BUTA - DUDUK - DI PINGGIR JALAN (ay. 46)
Akhir: Bartimeus MELIHAT - MENGIKUTI - DALAM PERJALANAN
(ay. 52).
Di antara awal dan akhir itulah dapat kita lihat dinamika berkembangnya relasi.

b. Kadar relasi antara dua pribadi dapat dilihat dari sebutan yang dipakai untuk menyapa. Dalam kisah ini ada tiga sebutan yang dipakai untuk Yesus (Untuk memperdalam pengertian tentang sebutan-sebutan Yesus, lihat St. Darmawijaya, Gelar-gelar Yesus, Yogyakarta 1987).

(i) Pada ayat 47a Bartimeus diberitahu bahwa yang lewat adalah Yesus dari Nazaret. Sebutan ini netral, untuk membedakan Yesus yang berasal dari Nazaret dengan Yesus yang berasal dari tempat lain. Tampaknya pada waktu itu ada cukup banyak orang yang bernama Yesus. Dalam nama itu belum jelas terlihat relasi dengan warna iman. Namun hubungan yang masih netral ini pun ternyata menjadi batu loncatan untuk relasi yang semakin mendalam.
(ii) Selanjutnya Bartimeus berseru, “Yesus Anak Daud, kasihanilah aku” (ay. 47 b). Sesudah ditegur dan disuruh diam, semakin keras ia berseru, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku” (ay 48 b). Sebutan “Anak Daud” diserukan dua kali. Seruan itu adalah pernyataan iman akan kuasa Yesus sebagai Mesias (bdk. Mrk 11:10; Kis 2:29-32; 13:22-23; Rom 1:3-4). Kalau dibandingkan dengan relasi antara Bartimeus dengan Yesus yang terungkap dalam sebutan yang pertama, jelas bahwa kadar relasi yang terungkap dalam sebutan ‘Anak Daud’ jauh lebih mendalam.
(iii) Menjelang akhir kisah, sebutan yang dipakai berubah lagi menjadi ‘Rabuni’ (= Tuanku; dari kata rab yang berarti besar, agung). Sebutan ini menunjukkan rasa hormat, tetapi bukan hormat yang menjauhkan hubungan melainkan hormat yang mendekatkan secara pribadi (bdk. Mrk 9:5; 11:21; 14:44-45; Yoh 1:38; 20:16).
Dengan memperhatikan sebutan-sebutan yang dipakai, dapat dilihat perkembangan relasi antara Bartimeus dengan Yesus. Relasi itu menjadi semakin pribadi.

c. Setelah Bartimeus mengerti siapa yang dijumpai (= revelasi), maka ia membuat ketetapan hati dengan berseru dan semakin keras berseru (= resolusi). Ia tidak berhenti berseru saja, tetapi melangkah lebih jauh (= revolusi):
(i) Menanggalkan jubah (ayat 50). Jubah adalah milik orang miskin yang sangat berharga (bdk. Kel 22:25-26; Ul 24:12-13). Milik yang sangat berharga itu ia lepaskan untuk dapat berjumpa dengan Yesus, Anak Daud. Tindakan ini dapat juga dimengerti secara simbolis: orang yang dibaptis menanggalkan pakaian sebelum masuk ke air baptis. Kalau demikian Bartimeus menanggalkan manusia lama, mengenakan manusia baru yaitu hidup sebagai murid Yesus (bdk. Rom 13:12; Ef 4:22-25; Kol 3:9; Ibr 12:1; Yak 1:21; 1Ptr 2:1; 2Ptr 1:14). Yesus menilai tindakan Bartimeus sebagai tindakan iman, dengan berkata: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (ayat 52). Di tempat lain penyembuhan dikerjakan oleh Yesus (Mrk 8:23). Di sini penyembuhan terjadi karena iman Bartimeus (bdk. 5:29).
(ii) Bartimeus mengikuti Yesus (ayat 52). Tindakan mengikuti Yesus digambarkan sebagai tindakan yang berlanjut, terus menerus. Hubungan antara menanggalkan jubah dan mengikuti Yesus sama dengan yang dikisahkan dalam panggilan murid-murid pertama. “Mereka meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia” (Mrk 1:18). Kemudian juga dikatakan “mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, didalam perahu bersama orang-orang upahannya lalu mengikuti Dia” (Mrk 1:20). Sikap semacam ini tampak sangat istimewa kalau misalnya dibandingkan dengan sikap murid-murid dan orang-orang yang mengikuti perjalanan Yesus: “Yesus dan murid-muridNya sedang dalam perjalanan ke Yerusalem dan Yesus berjalan di depan mereka. Murid-murid merasa cemas dan juga orang-orang yang mengikuti Dia dari belakang merasa takut” (Mrk 10:32). Bartimeus dengan langkah tegap mengikuti Yesus dalam perjalananNya masuk ke kota Yerusalem. Di situ Ia menyelesaikan karya penyelamatanNya.

Yesus

a. Reaksi terhadap seruan Bartimeus (ayat 46-48) adalah berhenti (ayat 49a). Dengan berhenti Yesus memberi kesempatan kepada Bartimeus yang tidak dapat bergerak: kesempatan untuk menerima uluran membangun relasi.
b. Bartimeus tiga kali berseru, tiga kali pula Yesus memberi tanggapan:
(i) “Panggillah dia” (ayat 49a). Perintah ini langsung ditanggapi oleh orang-orang yang mengikutiNya (ayat 49b). Yesus mengubah sikap orang banyak yang pada mulanya memusuhi Bartimeus, dengan memberi perhatian kepada Bartimeus.
(ii) Pertanyaan Yesus yang diajukan kepada Bartimeus memperlihatkan bahwa Ia memperlakukannya sebagai subyek: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” (ayat 51). Perlakuan seperti ini membuat Bartimeus berani menyatakan permohonan dan mengungkapkan imannya. Dengan kata lain bentuk sapaan Yesus mencerminkan pula kadar relasi antara diriNya dengan Bartimeus. Bahkan harus dikatakan, sapaan itu bukan hanya mencerminkan kadar relasiNya, akan tetapi juga mengembangkan relasi.
(iii) “Imanmu telah menyelamatkan engkau” (ayat 52a). Kata-kata ini adalah pernyataan, sekaligus ajakan untuk melihat pengalaman penyembuhan sebagai tanda keselamatan.

c. Yesus tidak minta agar Bartimeus mengikutiNya (bdk. panggilan para murid dan orang kaya dalam Mrk 1:16-20; 10:17-22), sebaliknya menyuruhnya pergi. Namun ternyata Bartimeus mengikutiNya. Dengan cara ini ditunjukkan bahwa Bartimeus mengerti, kebaikan yang ia terima mengandung panggilan (panggillah dia ... mereka memanggil .... Ia memanggil engkau .... ayat 49). Anugerah inilah yang ditanggapi dengan bebas. Dia mengikuti Yesus bukan karena taat kepada perintah, akan tetapi karena diarahkan oleh pengalaman iman.

Orang-orang di sekeliling Yesus.

a. Dalam kisah ini dibedakan antara murid-murid Yesus dengan orang banyak. Perbedaan itu hanya tampak pada permulaan. Sesudahnya tidak ada pembedaan lagi. Mereka semua berperan sebagai perantara antara Yesus dan orang buta. Tiga kali peran itu ditunjukkan:
(i) Memberitahu dan mengatakan kepada Bartimeus bahwa yang lewat adalah Yesus dari Nazaret (ayat 47a).
(ii) Menunjukkan sikap bermusuhan (ayat 48; bdk. 10:13; Luk 19:3-4).
(iii) Bartimeus bertahan, Yesus mendengar seruan dan memberi perintah kepada orang banyak untuk memanggil dia. Kata-kata Yesus yang ditujukan kepada orang banyak mengubah relasi: orang banyak yang sebelumnya merupakan penghalang diajak oleh Yesus untuk berperan dan menjadi sangat bersahabat. Kepada Bartimeus mereka berkata, “Kuatkan hatimu, ....” (ayat 49b). Mereka akhirnya membantu orang buta sampai kepada Yesus.

b. Markus tidak menceritakan orang banyak pada akhir cerita (bdk. Luk 18:43). Bagi Markus yang menjadi pusat perhatian adalah Bartimeus yang mengikuti Yesus yang sebentar lagi akan masuk ke kota Yerusalem (Mrk 11:1-11). Saat ini adalah saat yang kritis, menentukan. Dalam keadaan seperti itu Bartimeus mengikuti Yesus. Ia adalah seorang beriman yang mempunyai relasi kokoh-kuat, pribadi dengan Yesus yang diagungkannya.

Bartimeus model iman
Kisah ini sekaligus merupakan pernyataan iman (= proklamasi) dan pengakuan iman (= aklamasi) akan Yesus Anak Daud. Bartimeus memberikan kesaksian imannya dengan berani. Kesaksian ini dapat mempengaruhi sikap bermusuhan orang banyak. Iman itu diungkapkan dengan doa seruan yang semakin keras. Iman juga membuahkan kebebasan: Bartimeus menanggalkan jubahnya agar dapat sampai kepada Yesus. Selanjutnya Bartimeus tidak membiarkan Yesus menghilang. Iman membawanya kepada sikap mengikuti. Bagi Bartimeus yang paling penting sekarang ialah mengikuti Yesus. Yang lain nanti belajar sambil berjalan (Mrk 8:34).

7. Silahkan mencoba membaca teks-teks berikut dengan cara sederhana seperti contoh di atas: Luk 5:1-11; 19:1-10; 24:13-25

I. Suharyo Pr
Seminari Tinggi St. Paulus
Yogyakarta.
1989

Tuesday, February 07, 2006

KEBENARAN Kitab Suci

BAB II
KEBENARAN DEMI KESELAMATAN MANUSIA

1. Salah satu pertanyaan yang saya terima melalui surat mengenai Injil berbunyi demikian: “Banyak pertentangan yang saya dapatkan dalam Injil. Kalau demikian Kitab Suci tidak suci lagi!” Kesan bahwa ada banyak pertentangan dalam Injil dan Kitab Suci pada umumnya memang dengan mudah akan muncul kalau orang membaca Kitab Suci dengan teliti. Siapakah kakek Yesus? Matius menyebut nama Yakub (Mat 1:16). Lukas menyebut nama lain, yaitu Eli (Luk 3:23). Siapa yang menerima penampakan dari malaikat yang memberitakan kelahiran Yesus? Lukas mengatakan “....Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud: nama perawan itu Maria” (Luk 1:26-27). Matius memberi keterangan yang lain “...Ketika ia (= Yusuf) mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata ...” (Mat 1:20). Peristiwa ini tidak terjadi di Nazaret di Galilea, melainkan di Betlekem di tanah Yuda (Mat 2:6). Masih dapat diajukan satu contoh pertanyaan lain, “Apakah sebelum wafat Yesus makan perjamuan Paskah bersama murid-muridNya?” Injil Markus, Matius dan Lukas mengatakan demikian (Mrk 14:12-25; Mat 26:17-29; Luk 22:7-23). Akan tetapi ternyata Yohanes memberi keterangan lain. Yesus dihadapkan kepada Pilatus yang kemudian menyerahkanNya kepada orang-orang Yahudi untuk disalibkan sebelum hari raya Paskah tiba. “Mereka sendiri tidak masuk ke gedung pengadilan itu, supaya jangan menajiskan diri, sebab mereka hendak makan Paskah” (Yoh 18:28). “.... hari itu ialah hari persiapan Paskah, kira-kira jam dua belas. Kata Pilatus kepada orang-orang Yahudi, ‘Inilah rajamu’!” (Yoh 19:14). Dan masih banyak lagi perbedaan, ‘kekeliruan’, pertentangan yang terdapat dalam Kitab Suci! Kalau begitu Kitab Suci tidak mengandung kebenaran! Atau: siapa sebenarnya yang benar: Markus? Matius? Lukas? Yohanes?

2. Mungkin dapat diingat lagi pertanyaan Pilatus yang diajukan kepada Yesus, “Apakah kebenaran itu?” (Yoh 18:38a). Sebelum menjawab pertanyaan besar ini dengan menerangkan ajaran resmi Gereja, baiklah diingat sekali lagi bahwa menurut paham Kristen, Kitab Suci adalah kesaksian iman. Para penulis Kitab Suci mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan, memahami atau menafsirkannya dalam terang rencana penyelamatan Allah. Pemahaman itulah yang akhirnya - melalui proses yang panjang - dituliskan sebagai kesaksian iman, bukan sebagai laporan peristiwa yang ditulis dengan ketelitian seorang wartawan.

3. Sebetulnya suatu kisah tidak pernah hanya sama persis dengan peristiwa yang dikisahkan. Kisah dalam kadar tertentu merupakan peristiwa yang sudah ditafsirkan. Sebuah bis bertabrakan dengan sebuah truk. Seorang polisi lalu-lintas akan membaca peristiwa itu menurut kacamatanya sebagai seorang polisi yang bertanggungjawab atas keselamatan orang di jalan. Mungkin ia akan mengatakan bahwa bis melaju dengan kecepatan terlalu tinggi dan mengambil jalan terlalu ke kanan. Lain lagi yang akan dikatakan oleh pengusaha bis. Bagi dia mungkin yang paling penting adalah kerugian sekian juta yang harus ditanggungnya. Istri sopir bis mempunyai keprihatinan yang sangat berbeda. Yang paling ia perhatikan tentu saja keselamatan suaminya. Kalau ketiga orang itu harus berkisah mengenai peristiwa yang sama, pasti kisahnya akan sangat berbeda karena bagaimana pun juga yang mereka sampaikan adalah suatu kesaksian. Mereka masing-masing menafsirkan peristiwa itu menurut pandangan mereka sendiri. Siapa yang benar? Semua benar! Bukan hanya orang yang berbeda yang memberi kesaksian yang berbeda. Bahkan orang yang sama dapat bercerita mengenai hal yang sama secara berbeda. Kwitansi pada waktu tertentu dan dalam hubungan tertentu dapat sekedar berarti bukti bahwa hutangnya sudah dibayar. Namun kwitansi yang sama, oleh orang yang sama, pada waktu yang berbeda dan dalam rangka hubungan yang berbeda, dapat ditunjukkan kepada anak cucu sebagai tanda atau kesaksian suatu perjuangan hidup sederhana yang ulet, yang membawa pesan kehidupan - bukan sekedar bukti bahwa hutangnya sudah lunas. Mana yang benar? Lalu menjadi semakin jelas bahwa pertanyaan semacam ini tidak pada tempatnya. Halnya sama kalau kita mulai dari arah yang lain, yaitu relasi. Tidak ada relasi pribadi yang obyektif saja. Tidak ada relasi orang tua dengan anak pada umumnya. Yang ada adalah relasi bapak dengan si A atau si B. Dalam relasi selalu ada yang khusus, istimewa, tidak ada duanya. Maka tidak jarang seorang bapak mengenal anaknya yang satu, tetapi tidak mudah mengerti anaknya yang lain.

4. Yesus, hidup dan pribadinya bukanlah tulisan, bukan pula benda mati. Hidup dan pribadi Yesus adalah peristiwa-peristiwa yang tidak dapat dimengerti, dipahami dan ditafsirkan dari satu sudut atau segi saja. Peristiwa Yesus dimengerti secara baru, kaya dan mendalam oleh Gereja awal, yang kemudian menuliskannya sebagai kesaksian iman. Para pengarang tidak menerima ‘wahyu’ khusus dalam arti pemberitahuan langsung dari Allah. Yang mereka tuliskan adalah kesaksian iman umat yang memahami, menafsirkan peristiwa-peristiwa sejarah, khususnya peristiwa Yesus dalam terang sejarah penyelamatan Allah. Allah tidak memberitahukan serangkaian kebenaran mengenai diriNya sendiri dan kehendakNya, yang kemudian dicatat atau ditulis oleh para pengarang Kitab Suci. Ia hadir dan berkarya dalam sejarah umat manusia, dalam kejadian-kejadian yang menyangkut umat manusia, khususnya dalam sejarah umat Allah. Kehadiran dan karya Allah ini menjadi paling nyata dalam diri Kristus, yang adalah ‘pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu’. Maka tidak mengherankan bahwa ada empat Injil. Keempat Injil itu kelihatannya sama, tetapi sebetulnya tidak ada satu pun yang sama, justru karena merupakan kesaksian iman. Tidak mengherankan pula ada tiga kisah penampakan Kristus mulia kepada Paulus di jalan menuju Damaskus, yang juga berbeda-beda (Kis 9:1-19a; 22:3-16; 26:9-18). Kesaksian iman ini menyatakan kepada umat beriman sekarang, siapakah Allah, bagaimana Ia menyapa manusia sebagai sahabat. Lewat kesaksian iman inilah umat beriman sekarang mengalami karya penyelamatan Allah yang sama, kasih Allah yang sama yang dinyatakan dalam peristiwa-peristiwa kehidupan.

5. Dengan landasan pemahaman seperti itu pertanyaan “Apakah kebenaran itu?” dapat dijawab. Kebenaran Kitab Suci bukanlah kebenaran obyektif menurut kaidah ilmu positif saja, melainkan kebenaran demi keselamatan kita. Memang dulu Gereja pernah mempunyai sikap negatif terhadap Kitab Suci. Yang dibela dan dipertahankan adalah ketidaksesatan, dengan bayaran apapun. Sikap membela diri secara negatif ini akhirnya ditinggalkan dalam Konsili Vatikan II. Semakin berkembanglah sikap positif karena selalu kembali pada gagasan dasar mengenai rencana penyelamatan Allah, yang memanggil manusia kepada persekutuan dengan DiriNya dan mengangkat manusia ke dalam persekutuan itu. Berdasarkan gagasan ini dapat diberikan keterangan mengenai kebenaran yang jauh lebih luas dan kaya. Menurut Yoh 14:6 Yesus bersabda “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup”. Yesus menyatakan diri sebagai kebenaran karena Yesus adalah jalan menuju Bapa (Yoh 14:9). Ia juga menyatakan diri sebagai hidup, karena hidup berarti mengenal Bapa sebagai satu-satunya Allah yang benar, dan Yesus Kristus yang diutus Bapa (bdk. Yoh 17:3). Dalam rangka inilah kebenaran Kitab Suci harus dimengerti. Kitab Suci disebut benar, karena melalui Kitab Suci orang sampai kepada Bapa. Hal ini dengan sangat jelas dikatakan dalam Yoh 20:31: “Semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam namaNya”. Jadi Kitab Suci disebut benar bukan karena semua yang tertulis di dalamnya pasti tidak ada yang salah (secara positif) dan semua jelas. Memang ada yang tampaknya bertentangan, ada pula yang jelas keliru menurut kaidah ilmu positif modern. Kendati demikian tetap dikatakan bahwa Kitab Suci adalah benar, dalam arti merupakan sarana untuk dapat sampai kepada Allah. Kekurangan-kekurangan itu bukanlah penghalang keselamatan manusia. Konsili Vatikan II menjelaskan pokok pemahaman ini dengan sangat bagus: “Jadi dalam Kitab Suci tampak - dengan tetap dipertahankan kebenaran dan kesucian Allah - bagaimana kebijaksanaan abadi yang mengherankan itu ‘turun’, supaya kita mengenal kebaikan Allah yang tak terperikan, dan betapa Ia melunakkan bahasaNya dengan memperhatikan serta mengindahkan kodrat kita. Sebab sabda-sabda Allah yang diungkapkan dengan bahasa manusia, menjadi serupa dengan pembicaraan manusiawi, seperti dulu Sabda Bapa yang kekal dengan mengambil daging lemah dari manusia menjadi serupa dengan manusia”. (DV 13).

6. Pertanyaan yang dapat timbul selanjutnya adalah, apa yang menjamin bahwa melalui Kitab Suci kita berjumpa dengan Allah yang benar dan menerima kebenaran demi keselamatan kita, bukan sekedar pikiran manusia saja? Konsili Vatikan II menjawab, “Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang buku-buku baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dalam keseluruhannya dengan segala bagian-bagiannya suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus, buku-buku itu mempunyai Allah sebagai pengarang dan sedemikian itu diserahkan kepada Gereja. Tetapi dalam mengarang buku-buku suci itu Allah memilih orang-orang yang dipergunakanNya dengan kemampuan dan kecakapan mereka sendiri, supaya - sambil bekerja di dalam dan melalui mereka - semua itu dan hanya itu yang dikehendakiNya sendiri oleh mereka dituliskan sebagai pengarang yang sungguh-sungguh”. (DV 11) Dikatakan dengan jelas bahwa di satu pihak, karena ilham Roh Kudus, Kitab Suci dikarang oleh Allah dan di lain pihak para penulis kitab Suci adalah pengarang yang sungguh-sungguh. Berkat ilham Roh Kudus itu semua yang dicantumkan dalam Kitab Suci adalah benar. Keyakinan bahwa Roh Kudus berperan dalam kehidupan umat Allah dapat ditemukan dalam setiap halaman Kitab Suci (Silahkan membaca Kisah Para Rasul, yang menurut isinya lebih tepat diberi judul Kisah Karya Roh Kudus). Peranannya yang khas dalam penulisan Kitab Suci dikatakan misalnya dalam 2 Tim 3:16, “segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”. Yang dimaksud segala tulisan adalah Perjanjian Lama. Ternyata kemudian ketika surat Petrus yang kedua ditulis, surat-surat Paulus yang ditulis ‘menurut hikmat’ sudah disejajarkan dengan tulisan-tulisan Perjanjian Lama (2 Ptr 3:16).

7. Berdasarkan gagasan-gagasan ini kita dapat mencari makna keselamatan beberapa teks yang kita sebut di depan, sebagai teks yang membingungkan atau saling bertentangan.
Mengenai silsilah Yesus. Baik Matius maupun Lukas melalui silsilah mau menunjukkan bahwa Yesus adalah keturunan Daud. Dengan demikian diletakkan dasar untuk mesianitasNya. Namun ada perbedaan-perbedaan diantara keduanya sehingga tampaknya Yesus mempunyai dua silsilah. Mungkin bagi kita sekarang hal semacam itu aneh, akan tetapi ketika silsilah ini dibuat, hal semacam itu wajar saja. Orang dapat mempunyai beberapa silsilah. Dalam silsilah Yesus menurut Matius ada 3 X 14 keturunan, dari Abraham sampai Yesus, dengan menyebut nama raja-raja Yehuda. Dalam silsilah Yesus menurut Lukas disebut 11 X 7 nama, dari Yesus sampai Adam. Satu-satunya nama raja yang disebut ialah Daud. Yang banyak ditemukan dalam silsilah Lukas adalah nabi. Dengan cara itu Lukas mau memberikan kesaksian mengenai Yesus dengan warna lain. Yesus adalah Mesias, anak Daud yang melaksanakan perutusanNya sebagai nabi.
Mengenai perjamuan malam terakhir Yesus. Markus, Matius dan Lukas dengan menceritakan Yesus makan perjamuan Paskah bersama murid-muridNya mau mengatakan bahwa dengan demikian Paskah yang lama diganti dengan Paskah yang baru, yaitu Paskah Kristus. Tata penyelamatan yang lama sampai pada kepenuhannya dalam tata penyelamatan yang baru. Lain halnya dengan Yohanes. Ia ingin mengatakan sesuatu yang lain. Yesus adalah “Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yoh 1:29). Ia adalah domba Paskah yang disembelih. Maka domba paskah tidak mungkin ikut makan Paskah. Bagi Yohanes, perjamuan malam terakhir dengan murid-muridNya adalah perjamuan perpisahan. Pada kesempatan itu Ia menyampaikan pesan-pesan terakhir sebagai wasiat bagi murid-muridNya (Yoh 13-17). Sesudah itu Ia akan wafat, dibunuh saat orang-orang Yahudi menyembelih domba Paskah.

8. Anda dapat mencoba membaca dengan teliti dan membanding-bandingkan kisah-kisah dalam injil-injil Markus - Matius - Lukas. Dapat diambil sebagai contoh misalnya: Kisah pembaptisan Yesus Mrk 1:9-11; Mat 3:13-17; Luk 3:21-22. Banyak perbedaan yang terdapat dalam ketiga kisah yang ditulis oleh penginjil yang berbeda. Meski berbeda namun semua benar demi keselamatan kita.

Unsur-unsur yang sama terdapat dalam ketiga penginjil ialah : Yesus dibaptis, langit terbuka/terkoyak, Roh Kudus turun dan suara dari surga/langit. Inilah unsur-unsur dasar dalam kesaksian iman para penginjil. Silahkan mencoba memahami kesaksian iman yang mau disampaikan lewat kisah itu dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk berikut:
a. pembaptisan Yesus: Yesaya 40:3-5 sebagaimana dikutip dalam Luk 3:4-6
b. langit terbuka/terkoyak: Yes 64:1 (bacalah juga 63:15-64:12); Yeh 1:1
c. Roh Kudus turun: Kej 1:2; Yoel 2:28-32; Yes 42:1
d. suara dari langit: Kej 22:2; Mzm 2:7; Yes 42:1

Kecuali unsur-unsur dasar yang sama, Matius dan Lukas masih mempunyai beberapa keistimewaan:

Matius:
a. Dalam dialog antara Yesus dan Yohanes Pembaptis: siapakah yang harus menggenapkan seluruh kehendak Allah?
b. Suara yang turun dari surga ditujukan kepada siapa?
Lukas:
a. Yesus adalah satu dari antara banyak orang yang dibaptis. Apa maksud kisah semacam ini? (lihat misalnya Filipi 2:7).
b. Ketika langit terbuka Yesus sedang berbuat apa? (lihat juga Luk 5:16; 6:12; 9:18; 11:1).

Dengan membandingkan kisah-kisah pembaptisan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa lewat kisah-kisah tersebut Gereja mau memberi kesaksian bahwa Yesus yang hidupNya penuh Roh Kudus adalah Putera Allah (yang berkuasa atas dunia ini); Ia adalah keturunan Daud (yang merupakan kepenuhan harapan Israel, harapan seluruh umat manusia akan damai sejahtera sejati) dan Hamba Tuhan (yang menderita bukan karena dosa-dosaNya sendiri tetapi karena setia kepada rencana BapaNya). Inilah kabar gembira penyelamatan yang menghidupkan. Inilah kebenaran yang demi keselamatan kita diwartakan kepada kita. Kisah inipun juga merupakan undangan kepada kita agar “kita menggenapkan seluruh kehendak Allah”.

Silahkan mencoba sendiri misalnya dengan membandingkan kisah penyangkalan Petrus yang diceritakan dalam Mrk 14:66-72; Mat 26:69-75; Luk 22:56-62.

I. Suharyo Pr
Seminari Tinggi Kentungan
Yogyakarta
1989

Monday, February 06, 2006

JENIS SASTRA dalam Kitab Suci

BAB III
ALLAH BERBICARA MELALUI MANUSIA, DENGAN CARA MANUSIA.

1. Membaca Kitab Suci menimbulkan soal, antara lain karena Sabda Allah ditulis dalam bahasa manusia. “Sabda-sabda Allah yang diungkapkan dengan bahasa manusia menjadi serupa dengan pembicaraan manusiawi” (DV 13). Itu berarti bahwa tulisan-tulisan dalam Kitab Suci terikat pada tempat, waktu dan budaya tertentu. Kitab Suci ditulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani yang asing bagi kita. Cara berpikir dan mengungkapkan diri serta iman para penulis Kitab Suci sangat berbeda dan jauh dari kita. Para penulis itu mengungkapkan iman mereka dalam jenis-jenis dan bentuk-bentuk tulisan tertentu yang lazim pada jaman, tempat dan kebudayaan mereka. Jenis-jenis dan bentuk-bentuk tulisan inilah yang sekarang akan diperhatikan. Masalah ini dibicarakan dalam Dei Verbum 12, yang antara lain mengatakan, “Untuk menemui maksud pengarang suci antara lain harus diperhatikan jenis sastra. Sebab kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dengan cara yang lain dalam karangan-karangan jenis historis, profetis, puitis atau jenis kesusasteraan yang lainnya .... Sebab kalau mau mengerti dengan tepat yang hendak dinyatakan dalam tulisannya oleh pengarang suci, harus diperhatikan benar-benar baik cara-cara yang lazim dipakai orang jaman pengarang suci itu dalam merasa, berbicara dan menceritakan maupun cara yang pada jaman itu biasanya dipakai dalam pergaulan antara manusia”.

2. Suatu toko buku biasanya diatur menjadi beberapa bagian. Ada bagian untuk menempatkan buku-buku pelajaran atau kuliah; bagian lain untuk kamus, bagian lain lagi untuk novel, majalah atau koran. Kalau kita mulai membaca buku-buku atau tulisan-tulisan itu, kita akan merasa bahwa memang berbagai macam tulisan itu berbeda: bentuknya, bahasanya dan tentu saja cara serta sikap membacanya. Seorang pelajar akan membaca buku pelajaran dengan konsentrasi penuh. Lain halnya kalau ia membaca tabloid ‘Bola’. Ia akan melihat-lihat foto, membaca beritanya, mungkin hanya sambil lalu saja. Lain lagi kalau ia membaca novel. Ia akan menikmatinya dengan cara yang samasekali lain kalau dibandingkan dengan ketika ia membaca buku pelajaran. Jadi ada bermacam-macam jenis tulisan. Setiap jenis tulisan dipakai untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu. Penyelidikan yang lebih teliti akan membawa kita lebih jauh. Kalau kita membaca koran KOMPAS misalnya - kita akan melihat bahwa di dalamnya masih ada bermacam-macam bentuk tulisan: iklan, berita lelayu, Oom pasikom, laporan peristiwa dalam negri, berita olah raga dan masih banyak lagi yang lain. Seorang yang akan menawarkan barang dagangannya, tidak akan memasang berita lelayu, melainkan memasang iklan. Kalau orang mau menyindir ia tidak akan memakai laporan peristiwa, melainkan memakai lakon Pailul. Jadi pesan yang mau disampaikan mencari bentuk yang tepat untuk menyampaikan pesan itu. Itulah yang disebut jenis sastra dan bentuk sastra.

3. Kecuali pesan yang mau disampaikan masih ada unsur-unsur lain yang ikut menentukan pemakaian jenis dan bentuk sastra, misalnya kebudayaan, waktu dan tempat. Kebudayaan Jawa mempunyai tembang (jenis sastra) yang dapat berarti megatruh, dandanggula, kinanti dan sebagainya (= bentuk sastra). Kebudayaan Melayu terkenal dengan pantun-pantunnya. Jaman revolusi menghasilkan puisi-puisi perjuangan, lagu-lagu mars, novel-novel revolusi, sedang jaman kemerdekaan ternyata membuahkan nyanyian-nyanyian yang lain coraknya (jaipong?), puisi-puisi yang lain dan novel-novel yang lain pula. Setiap jenis sastra, setiap bentuk sastra mempunyai aturan permainan sendiri dan harus dibaca atau ditanggapi dengan sikap-sikap yang sesuai. Suatu berita olahraga tidak akan dibaca sebagai puisi dan sebaliknya. Suatu sapaan “Apa kabar”, tidak akan ditanggapi dengan pertanyaan balik, “Kabar yang mana?”. Seandainya demikian relasi tidak akan terbangun dengan mulus. Jadi jenis sastra dan bentuk sastra pada umumnya ialah cara yang di jaman dan lingkungan kebudayaan tertentu umum dipakai untuk menyatakan isi hati, pikiran dan kebenaran. Masing-masing jenis sastra an bentuk sastra ada kaidah dan patokannya sendiri untuk mengungkapkan kebenaran yang dimaksudkan. Pengertian akan hal ini akan sangat membantu kita untuk mempunyai sikap yang benar terhadap Kitab Suci dan mengertinya secara benar pula.

4. Kitab Suci bukanlah satu jenis buku atau tulisan yang dikarang oleh orang yang sama, pada waktu yang sama. Kitab Suci terdiri dari dua bagian besar, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama terdiri dari empatpuluh enam tulisan dan boleh disebut sebagai tulisan-tulisan yang mengungkapkan iman Israel sebagai bangsa yang disapa oleh Allah sepanjang sejarah hidup mereka yang berlangsung lebih dari sepuluh abad. Israel sebagai bangsa yang hidup menghasilkan berbagai macam tulisan, misalnya:
a. Kisah-kisah: dengan mendengarkan kisah-kisah masa lampau, orang disadarkan sebagai anggota suatu keluarga yang sama, yang sedang menempuh sejarah hidup yang sama pula.
b. Kisah-kisah kepahlawanan: ini pun termasuk kisah masa lampau. Maksud utama kisah-kisah semacam ini adalah untuk menimbulkan semangat dan untuk menghormati para pahlawan mungkin dengan cara membesar-besarkan peristiwa demi kehormatan pahlawan itu.
c. Hukum: berperan untuk mengorganisasi masyarakat sehingga kehidupan bersama sebagai umat Allah subur dan berkembang.
d. Liturgi: ibadat mengungkapkan kehidupan bersama ini, seperti halnya perjamuan mempersatukan keluarga. Tindakan-tindakan keagamaan menunjukkan hubungan antara manusia dengan Allah.
e. Syair: kidung dan mazmur adalah ungkapan perasaan hati dan iman umat.
f. Nubuat: bukan terutama berarti ramalan akan masa depan, melainkan pernyataan bahwa rencana dan karya Allah tidak mungkin tidak terlaksana.
g. Kebijaksanaan: merupakan permenungan atas pertanyaan-pertanyaan dasar manusia: apakah kehidupan, kematian, kasih, kejahatan? Mengapa ada penderitaan?
Kita harus teliti dalam membaca Kitab Suci. Perbedaan-perbedaan jenis-jenis ini harus diperhatikan, karena setiap jenis atau bentuk mempunyai ciri-cirinya sendiri. Kita tidak membaca kisah penciptaan (Kej 1) sebagai suatu uraian ilmiah positif, karena yang kita temukan disana adalah syair untuk kepentingan ibadat. Demikian juga kisah penyeberangan Laut Merah bukan suatu laporan pandangan mata (Kel 14). Kisah ini adalah suatu kisah kepahlawanan. Maka sejauh mungkin, kalau kita membaca Kitab Suci atau bagiannya, kita harus mengajukan pertanyaan: termasuk jenis atau bentuk sastra apakah tulisan ini? Apa akibatnya untuk pemahaman teks yang sedang kita baca? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab karena banyak jenis-jenis sastra dan bentuk-bentuk sastra yang dipakai dalam Perjanjian Lama (dan juga Perjanjian Baru), tidak kita kenal lagi sebagai sarana yang dipakai oleh orang-orang pada abad ini untuk mengemukakan isi hati dan kebenaran.

5. Perjanjian Baru terdiri dari duapuluh tujuh tulisan, yang terdiri dari empat Injil, satu Kisah Para Rasul, satu kitab Wahyu, yang lain adalah surat. Ada surat Paulus, Petrus, Yohanes dan yang lain. Dalam jenis sastra Injil kita temukan bentuk sastra perumpamaan, mukjijat, pertikaian pendapat, pengajaran dan yang lain. Dalam surat terdapat madah, rumusan iman. Jenis dan bentuk sastra inipun mempunyai kaidahnya sendiri-sendiri. Injil mulai dengan karya Yesus di Galilea dan berakhir dengan wafat dan kebangkitanNya di Yerusalem. Namun ini semua tidak diceritakan sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Injil selalu merupakan keaksian iman bahwa Yesus tetap hidup dan berkarya sekarang juga. Surat-surat Paulus selalu diawali dengan sapaan, disusul dengan doa, dilanjutkan dengan isi pokok surat dan ditutup dengan salam. Beberapa contoh akan disebut secara garis besar:
a. Kisah mukjijat: biasanya mempunyai lima unsur, yaitu (i) pendahuluan; (ii) permohonan untuk campur tangan. Permohonan ini menunjukkan iman orang yang bersangkutan atau orang-orang yang berada di sekelilingnya; (iii) campur tangan dilakukan; (iv) akibat diceritakan; (v) reaksi orang-orang yang menyaksikan peristiwa: takut, kagum, heran.
b. Perumpamaan: biasanya digunakan untuk menyampaikan pengajaran supaya pengajaran itu mudah ditangkap. Kecuali itu juga untuk membantu para pendengar untuk menilai diri sendiri, membuat keputusan untuk diri sendiri tanpa menyadarinya.
c. Kisah panggilan: biasanya tidak panjang (perjumpaan sekilas - panggilan jawaban) dan dipolakan pada kisah-kisah panggilan dalam Perjanjian Lama. Dengan demikian ditunjukkan bahwa Yesus memanggil dengan kuasa yang sama dengan kuasa Allah.
d. Pidato perpisahan: seorang yang mempunyai keududukan atau berperan besar dalam kehidupan (Yesus, Paulus) ketika tahu bahwa akhir hidupnya sudah dekat, memberikan pesan-pesan terakhir sebagai wasiat kepada para murid.
e. Pertikaian pendapat: pola yang dipakai adalah yang biasa diantara para terpelajar, yaitu para rabbi. Biasanya pertikaian pendapat mengandung unsur-unsur ini: (i) suatu sabda atau tindakan Yesus menimbulkan keheranan di pihak para pendengar (sering dibuat-buat); (ii) debat mulai dengan rumus, “tidakkah kaubaca dalam Kitab Suci ....” atau “tidak percayakah kamu ....”; (iii) pada akhirnya, masalah yang sesungguhnya muncul. Orang perlu menentukan pilihan dan seringkali ada perbedaan antar kelompok.
f. Penampakan: bentuk ini digunakan untuk menunjukkan kehadiran Allah. Penampakan yang terjadi di gunung Sinai sangat besar pengaruhnya untuk bentuk sastra ini selanjutnya. Di gunung Sinai digambarkan adanya petir, api, gunung yang berguncang untuk menunjukkan bahwa Allah hadir. Peristiwa ini membuat orang ketakutan. Inilah pula bentuk yang digunakan dalam peristiwa Pentakosta, Maria menerima kabar dari malaikat, makam kosong. Kita tidak boleh berpikir bahwa memang demikianlah yang terjadi, melainkan kehadiran Allah yang secara istimewa dialami. Kalau dikatakan bahwa orang-orang yang melihatnya “takut”, yang dimaksudkan ialah orang itu menyadari dirinya di hadirat Allah.
g. Apokaliptik: Jenis ini masih lebih menakjubkan lagi. yang menonjol ialah nada penderitaan, karena jenis ini muncul dalam tahap sejarah yang gelap, yang diwarnai oleh penganiayaan. Yang mau disampaikan adalah kepastian dalam hati orang beriman, bahwa Allah adalah Tuhan atas sejarah. Pada akhirnya Ia akan campur tangan dan menang, yaitu kalau kekuasaan jahat tampil dalam kepenuhannya. Bintang-bintang akan jatuh, bumi bergetar, langit runtuh dan akan datang langit baru dan bumi baru.

6. Berikut ini akan diberikan dua macam contoh kisah mukjijat dan kisah panggilan.
a. Mukjijat Yoh 5:1-17
(i) Teks: silahkan mencarinya di dalam Kitab suci Anda masing-masing.
(ii) Bentuk:
- bentuk kisah adalah ceritera tentang suatu perbuatan, pekerjaan yang mengagumkan.
- pengalaman kekaguman dan penghormatan pribadi dihubungkan dengan pengalaman puncak: kebangkitan Yesus Kristus.
(iii) Langkah-langkah kisah
ayat 1-4 gambaran panggung
di Yerusalem - di pintu gerbang domba - di kolam Betesda - keistimewaan kolam
suasana kolam: banyak orang menunggu keajaiban
ayat 5-9a orang lumpuh (ayat 5)
dialog dengan Yesus tentang penyembuhan (ayat 6-7)
sabda penyembuhan (ayat 8)
akibat sabda penyembuhan (ayat 9a) (apa yang dikerjakan Yesus?)
ayat 9b-16 hari sabat (ayat 9b)
orang lumpuh yang disembuhkan dan orang Yahudi (ayat 10-13) (tafsiran)
orang lumpuh yang disembuhkan bertemu dengan Yesus di Kenisah (ayat 14-15) [Tafsiran]
hari Sabat dan maknanya (ayat 16)
ayat 17 sabda Yesus
ayat 18 kesimpulan kisah.
(iv) Kisah mukjijat: dalam Yoh 5:1-17 sebetulnya kisah mukjijat tidak menjadi pokok. Yang menjadi pokok renungan penginjil ialah bagaimana orang lumpuh berkat sabda Yesus mampu berdiri dan berjalan. Sedang kisah tentang kolam sebagai sumber penyembuhan, merupakan kisah tradisional yang ada di mana-mana. Maka yang penting adalah pesan tentang karya Yesus, yang mampu merubah cakrawala kehidupan seseorang berkat iman orang itu kepadaNya. Dengan demikian kisah mukjijat dalam injil adalah kisah karya Yesus yang membawa keselamatan. Kisah itu diwartakan dalam rangka pembinaan iman, bukan demi kisah mukjijat itu sendiri.

b. Kisah panggilan Mrk 1:16-20 dan Mrk 2:14
(i) Teks: akan disusun sedemikian rupa sehingga tampak polanya.
(a) Mrk 1:16-18
Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea
Ia melihat
Simon dan Andreas, saudara Simon.
Mereka sedang menebarkan jalan di danau.
sebab mereka penjala ikan.
Yesus berkata kepada mereka,
Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.
Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.

(b). Mrk 1:19-20
Dan setelah Yesus meneruskan perjalananNya sedikit lagi dilihatNya
Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya sedang membereskan jala di dalam perahu.
Yesus segera memanggil mereka.
dan mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus di dalam perahu
bersama orang-orang upahannya dan mengikuti Dia.
(c) Mrk 2:14
Ketika Ia berjalan lewat di situ
Ia melihat
Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai, lalu
Ia berkata kepadanya,
Ikutlah Aku!
Maka berdirilah ia dan mengikutiNya.

(ii) Unsur-unsur yang selalu kembali: Yesus yang berjalan, melihat, berkata, memanggil. Murid-murid yang meninggalkan (sesuatu) dan segera mengikuti Yesus.
(iii) Pesan yang mau disampaikan
(a) Yesus yang berjalan: kita berjumpa dengan pribadi Yesus yang mengesankan, yang selalu bergerak maju untuk melaksanakan rencana Bapa.
(b) Yesus yang berprakarsa: yang digambarkan berperan aktif dalam kisah panggilan ini adalah Yesus. Ia melihat, berkata, memanggil. Menjadi murid Yesus adalah anugerah yang diberikan oleh Yesus dengan cuma-cuma. Menjadi murid Yesus adalah rahmat (= gratia, gratis) yang harus diterima dengan penuh syukur, bukan kedudukan yang harus direbut. Dalam Mrk 5:18-19 diceritakan seorang yang mencoba mendaftarkan diri menjadi murid Yesus, tetapi Yesus tidak memperkenankannya. Para murid dipanggil untuk mengikatkan diri dengan Yesus dan terlibat dalam pelaksanaan rencana penyelamatan.
(c) Jawaban para murid diberikan dengan segera. Mereka tidak bertanya, juga tidak mengatakan apa-apa, melainkan pergi dan mengikuti Yesus. Mengikuti secara harafiah berarti berjalan di belakang seseorang. Secara rohani, tindakan itu berarti menyesuaikan cita-cita, semangat dan sikap hidup dengan tokoh yang diikuti. Yang tidak kalah penting diperhatikan adalah bahwa mereka meninggalkan hal-hal yang perlu untuk menjamin kehidupan mereka yang ‘aman’, yaitu jala, perahu, orang tua, orang upahan. Kesediaan seperti ini sebenarnya merupakan gagasan yang umum dalam seluruh Kitab Suci, sebagai jawaban pribadi terhadap kehadiran Allah yang mau melibatkan seseorang dalam karya penyelamatanNya.
Dua contoh di atas kiranya cukup untuk melihat bahwa kisah-kisah dalam Kitab Suci bukan sekedar laporan peristiwa. Pesan-pesan yang tersembunyi di balik kisah adalah sabda Allah yang mau menyapa manusia sebagai sahabat.

7. Kalau Anda mau mendalami masalah ini, silahkan membaca buku yang sangat bagus: G. Lohfink, Sekarang Saya Memahami Kitab Suci, Kanisius, Yogyakarta 1974

St. Darmawijaya Pr
I. Suharyo Pr
Seminari Tinggi St. Paulus
Yogyakarta.
1989

Sunday, February 05, 2006

Memahami ALLAH

BAB V
ALLAH YANG MENGASIHI MANUSIA

1. Kitab Suci ditulis dalam kurun waktu sekitar 2000 tahun dan merumuskan pengalaman pergaulan Allah dengan manusia, khususnya umat terpilih, selama sekitar 2000 tahun. Pengalaman pergaulan Allah - manusia itu menembus sejarah umat terpilih di berbagai tempat dan dalam berbagai situasi perkembangannya. Maka kurang tepatlah kalau kita mencoba begitu saja menerapkan pemikiran kita sekarang tentang Allah dengan gambaran tentang Allah yang muncul dalam berbagai bagian Kitab Suci, sebab bahkan untuk bagian-bagian Kitab Suci itu sendiri gambaran tentang Allah sudah dapat begitu berbeda-beda. Ini tidak berarti bahwa ada banyak Allah yang sekaligus juga berbeda dengan Allah yang kita sembah. Hanya ada satu Allah yang mewahyukan diri kepada manusia. Perbedaan pemahaman dan gambaran tentangNya muncul karena manusia tidak dapat sekaligus dan sepenuhnya menangkap dan memahami misteri Allah yang begitu agung. Ada satu proses yang di dalamnya Allah mewahyukan Diri itu semakin dikenal oleh manusia.

2. Kejadian bab 1-11 mengungkapkan iman para penulisnya akan Allah sebagai jawaban terhadap segala persoalan manusia yang mendasar. Dengan memanfaatkan kisah-kisah yang sudah beredar pada masanya, para penulis mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul manusia, tentang penderitaannya, tentang pergaulan hidupnya. Semuanya dijawab dalam rangka keyakinan akan peranan Allah di dalamnya. Dilihat sepintas, sebagian besar kisah menggambarkan kebobrokan manusia. Namun, dengan memperhatikan sedikit lebih teliti saja kisah-kisah tersebut, akan nampak Allah yang ingin diwartakan untuk membina iman umat (Pembacanya)
a. Adam dan Hawa berdosa (Kej 3:1-14) dan menanggung akibat dosa itu (Kej 3:16-19) sampai harus pergi dari taman Eden (Kej 3:23).
Namun Allah menjanjikan kemenangan atas sumber dosa (Kej 3:15) dan memberi pakaian kepada manusia (Kej 3:21).
b. Kain membunuh Habel karena iri (Kej 4:1-18) dan harus menanggung akibat dosanya itu (Kej 4:9-14).
Namun Allah memberi jaminan bahwa Kain tak akan dibunuh.
c. Kisah air bah menampilkan kejahatan manusia yang berdosa dan menjauhkan diri dari Allah (Kej 6:1-7) sehingga harus dihancurkan (Kej 7:10-24).
Namun Allah berbelaskasih kepada Nuh (Kej 6:13-22; 7:1-9; 8:15-17), memberkatinya dan menganugerahkan janjiNya yang baru kepada Nuh (Kej 8:21-9:17).
d. Kisah Menara Babel (Kej 11:1-9) mengisahkan kesombongan dan kedosaan manusia.
Namun Allah sekali lagi memulai dengan kisah yang baru (Kej 11:10-32) yaitu panggilan Abraham.
Ternyatalah kisah-kisah dalam Kejadian Bab 1-11 hendak mewartakan Allah yang berbelaskasih kepada manusia yang senantiasa jatuh ke dalam dosa, Allah yang mengangkat manusia yang jatuh.

3. Abraham hidup sekitar abad 19-17 sebelum Masehi. Kisah tentangnya diteruskan turun-temurun dalam sejarah bangsa Israel sebagai petunjuk asal-usul bangsa itu. Oleh para penulis Kitab Suci peristiwa Abraham dilihat sebagai awal tindakan Allah yang merelakan diri untuk bergaul dengan manusia sebagai ‘aku dan engkau’, dengan demikian dapat dilihat sebagai awal perwahyuan ilahi.
Kisahnya diawali dengan panggilan Allah kepada Abraham. Panggilan itu mengarahkan Abraham untuk meninggalkan jaminan hidup yang telah dimilikinya (dan kiranya juga dapat diperjuangkannya) dan meletakkan seluruh kepercayaan dan pengharapan kepada Allah semata-mata (Kej 12:1-3). Panggilan itu disertai janji kebahagiaan untuk Abraham (Kej 12:2-3), bukan pertama-tama demi kepentingan Allah sendiri. Jaminan akan terlaksananya janji Allah itu antara lain diperlihatkan dalam kuasa Allah akan segala yang diberikanNya kepada Abraham (Kej 15:5-6).
Demikianlah janji yang terungkap pada awal keterlibatan Allah dalam sejarah umat manusia, menampilkan Allah sebagai Allah yang berkuasa atas ciptaan, sebagai Tuhan sejarah yang terus menerus membangun hubungan pribadi dengan manusia.

4. Perjalanan sejarah bangsa Israel mencapai titik puncaknya dalam peristiwa pembebasan dari perbudakan di Mesir di bawah pimpinan Musa. Kepada Musa Allah memperkenalkan diri sebagai Allah yang sama dengan yang dihormati oleh Bapa Bangsa (Allah Abraham, Iskak dan Yakub), juga sebagai Allah yang aktif dan hadir di tengah-tengah umatNya (‘Aku adalah Aku’, Yahwe; Kel 3:14 dan seterusnya). Allah yang hadir dan aktif di tengah-tengah umatnya tidak hanya tampil sebagai yang dekat dengan manusia, tetapi juga sebagai yang jauh melampaui manusia (transenden). “Aku adalah Aku” juga menunjukkan bahwa NamaNya ada di luar perhitungan manusia. Dalam sejarah bangsa Israel pun Allah dialami sebagai yang samasekali tidak tergantung pada manusia. Allah menuntun, menuntut, memanggil, membebaskan; semua atas kehendakNya sendiri. Kebebasan Yahwe ini nampak juga dalam usahaNya untuk terus-menerus mewujudkan janjiNya kepada Abraham dan keturunannya kendati tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari bangsa terpilihNya. Kesetiaan Allah yang melampaui segala batas kesetiaan manusia inilah juga alasan mengapa Allah tidak mau disejajarkan dengan allah-allah yang lain dan sering dikenal sebagai Allah yang cemburu, satu-satunya Allah yang benar.

5. Pengalaman nabi Yeremia dapat dilihat sebagai contoh pengalaman orang beriman terhadap kehadiran Allah yang berkarya. Nabi Yeremia dipanggil untuk menyampaikan kritik dan kecaman terhadap raja Yoyakim. Pelaksanaan tugas panggilannya ini membuat Yeremia harus mengalami masa yang sungguh berat dan penuh kecemasan. Raja merasa tidak senang dengan kritik Yeremia, maka mencoba membunuhnya. Keadaan ini membuat hidup Yeremia terpojok. Bahkan yang dahulunya menjadi sahabat, kini berubah menjadi lawan. Inilah masa gelap yang dialami oleh Yeremia dan mengajaknya untuk memberontak terhadap Yahwe. Yeremia memberontak karena menganggap bahwa Yahwe telah menangkap, membujuk, dan menipunya (Yer 20:1-8).
Kemudian Yeremia menyadari bahwa ia - seperti Abraham - sedang mengalami sendiri misteri Allah yang tak dapat ditangkap dan dimengertinya (Yer 20:7-10), namun yang sebenarnya tetap hadir dan menyertainya dalam perjuangan hidupnya; sehingga muncullah pengakuan iman yang mendalam (Yer 20:11-13).

6. Demikianlah Perjanjian Lama menampilkan Allah yang transenden, namun sekaligus imanen, Allah yang jauh melampaui batas pengertian, pemahaman, dan kekuatan manusia, namun sekaligus dekat, hadir dan aktif di tengah sejarah manusia. Allah itulah satu-satunya Allah yang benar dan hidup, Allah yang menjanjikan kebahagiaan dan dengan setia menuntut manusia untuk dapat menerima janjiNya itu.

7. Injil Yohanes dapat dilihat sebagai muara permenungan tentang Yesus. Dengan penggambaran yang merupakan hasil refleksi yang mendalam Yesus tampil sebagai Anak Allah dalam hubungan dengan BapaNya.
Hidup Yesus digambarkan sebagai pelaksanaan kehendak BapaNya, sebagai keikutsertaan dan penyelesaian pekerjaan BapaNya (Yoh 4:34; 17:4). Dan pekerjaan yang dilaksanakan oleh Yesus adalah memperkenalkan (= mewahyukan) Allah kepada manusia, dan mempersatukan manusia denganNya (Yoh 17:2-3). Yesus melaksanakan tugasNya itu dengan menyatakan bahwa Bapa hidup dalam DiriNya. Siapa yang bertemu Yesus, bertemu Bapa (Yoh 1:18; 12:45; 14:9).
Melalui kotbah-kotbah dan penghayatan hidupNya Yesus mewahyukan Allah sebagai kasih sejati. Makna karya dan hidup Yesus sampai pada sengsara dan kebangkitanNya diterangkan sebagai perwujudan kasih yang nyata (Yoh 13-17), yang mencapai puncaknya dalam pemberian Diri seutuhnya (Yoh 13:1; 15:13-14). Bukan hanya menerangkan, Yesus melaksanakan yang sudah dikatakanNya (Yoh 18-20) sehingga dapat menarik semua orang kepadaNya. Dan Yesuspun memanggil murid-murid untuk ikut serta dalam pekerjaanNya itu (Yoh 13:34).
Demikianlah Yohanes mengajak kita untuk sampai pada pengakuan akan Allah yang adalah kasih:
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal” (Yoh 3:16).

8. Gambaran akan Allah yang disampaikan dalam uraian ini jauh dari lengkap (sebagai data), namun kiranya cukup untuk menunjukkan Siapa Allah yang diwartakan dalam Kitab Suci. Sebagai bahan bacaan silahkan membaca:
1. F.J. Moloney SDB - I. Suharyo Pr, Menjadi Murid dan Nabi, Kanisius 1987.
2. A. Gelin, Gagasan-gagasan Pokok Perjanjian Lama, Kanisius 1973.

Rm. Willem SGP Pr
Wates, 1989

Saturday, February 04, 2006

Memahami MANUSIA

BAB VI
MANUSIA BARU YANG MENUJU KEPENUHANNYA

1. Kitab Suci banyak berbicara tentang manusia; malah boleh dikatakan bahwa manusia merupakan pokok pembicaraan dalam Kitab Suci, sehingga Allahpun dibicarakan selalu dalam hubungan dengan manusia. Kita sekarang mengenal berbagai macam ilmu yang berbicara tentang manusia, seperti: Biologi, Psikologi, Anatomi, Antropologi, Sosiologi. Ilmu-ilmu itu mencoba menerangkan kenyataan hidup manusia dari salah satu seginya. Dengan penyelidikan-penyelidikan ilmiah, ilmu-ilmu itu mencoba menerangkan manusia yang hidup, yang dapat dilihat, yang dapat dibuktikan. Berbeda dengan ilmu-ilmu di atas, Kitab Suci berbicara tentang manusia seadanya dalam rangka keyakinan akan adanya Allah yang mengasihi manusia, mewahyukan Diri kepadanya dan campur tangan dalam kehidupannya. Segi-segi kehidupan manusia yang ditemukan para penulis Kitab Suci diterangkan dengan selalu mengaitkannya dengan Allah. Dan semua ini dimaksudkan supaya dalam diri pendengar/pembacanya tumbuh keyakinan, kepercayaan yang sama dengan para penulisnya.

2. Pandangan Kitab Suci tentang manusia bertolak dari keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Dibandingkan dengan makhluk ciptaan yang lain diyakini bahwa manusia diciptakan secara istimewa. Khusus dalam penciptaan manusia, tiga kali muncul kata menciptakan (Kej 1:27). Dan kata itu dipakai untuk menunjukkan tindakan Allah yang khas. Dan kalau mengenai ciptaan-ciptaan yang lain dikatakan ‘baiklah itu’, setelah menciptakan manusia dikatakan ‘amat baiklah itu’ (Kej 1:31). Keistimewaan manusia sebagai makhluk ciptaan tidak hanya tergambar pada kemampuan daya pikirnya (Keb 13:1; Rom 1:19-20), namun lebih jauh ada pada kuasa yang dianugerahkan Allah kepadanya untuk menjadi penguasa atas segala makhluk yang lain (Kej 1:29), yang sekaligus menunjukkan keluhuran manusia yang mengatasi segala makhluk yang lain (Mzm 8); bahkan manusia dikehendaki untuk menjadi anak Allah. Istilah ‘anak Allah’ ini kiasan saja. Maksudnya adalah bahwa manusia boleh masuk hubungan mesra dan akrab dengan Allah. Panggilan menjadi ‘anak Allah’ ini diungkapkan dalam kisah taman Firdaus (Kej 2:8-25), yang sekaligus mengungkapkan keharusan manusia untuk tetap taat dan mengabdi kepada Allah (Kej 2:16-17). Sebab demikianlah seharusnya manusia menyadari dan menghayati dirinya sebagai makhluk di hadapan penciptaNya. Manusia tidak dapat mengangkat dirinya sendiri sebagai tuan atas dirinya sendiri; dia tetap makhluk ciptaan Allah.
Teladan ketaatan itu tergambar dalam kisah tentang Abraham (Kej 12:1-25:11); khususnya dalam kisah panggilan Abraham (Kej 12:1-9) dan kisah Abraham yang hendak mempersembahkan Iskak, anak tunggalnya, sebagai kurban yang dikehendaki Allah (Kej 22:1-19). Ketaatan yang mutlak, penyerahan diri sepenuhnya, mempercayakan diri kepada Allah menjadi warna pokok kisah ini. Inilah iman yang sejati, yang membuat Abraham pantas disebut nenek moyang dan teladan kaum beriman. Ketaatan iman yang mendalam juga terungkap dalam kisah-kisah tokoh-tokoh besar Perjanjian Lama kendati seringkali tidak sesempurna yang dilaksanakan oleh Abraham; seperti misalnya Misa (Kel 2:10 dan seterusnya; Yos 1:1-24:5), Samuel (1Sam 6:1-13), Yesaya (misalnya Yes 6:1-13). Bukan hanya tokoh-tokoh besar, umat Allah pada umumnyapun dituntut untuk memilikinya. Ini tergambar dalam perjanjian yang diadakan antara Allah dengan umatNya (Kel 19:1-25) yang dalam pembaharuannya di Sikem (Yos 24:1-28) diperluas obyeknya: tidak lagi hanya antara Allah dengan umat terpilih, melainkan antara Allah dengan seluruh umat manusia.

3. Manusia yang diyakini sebagai makhluk ciptaan yang istimewa, ternyata tidak hanya memperlihatkan kebaikan, keluhuran dan kemuliaannya. Manusia juga mengalami kefanaan, kerapuhan, keterbatasan, kelemahan dalam hidupnya. Kefanaan itu paling nyata dialami dalam keharusan untuk mati. Lebih-lebih lagi umat Perjanjian Lama yang pada umumnya masih melihat kematian sebagai selesainya hidup manusia, sebagai kemusnahannya: lenyap samasekali. Samasekali tak ada gambaran tentang apa yang akan terjadi sesudah kematian (Pengk 3:18-21; 12:1-7; Ayub 13:38-14:22). Kefanaan itu juga dialami dalam kelakuan susilanya yang seringkali amat mengecewakan, buruk, jahat (Yes 5:1-2). Permenungan tentang sisi gelap kehidupan manusia antara lain tergambar dalam kisah penciptaan yang menggambarkan bahwa manusia diciptakan dari debu tanah (Kej 2:7). Namun tidak tepatlah kalau lalu disimpulkan bahwa Allah menciptakan kelemahan manusia, sebab justru kisah ini mau merefleksikan keadaan manusia yang malang. Kitab Suci tetap berkeyakinan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan baik. Namun kerapuhannya membuat manusia menyalahgunakan kebebasan yang diterimanya sebagai anugerah Allah. bukannya menerima harkat sebagai ‘anak Allah’, manusia malahan menentang dan menjauhi Allah. Bukannya taat dan takluk kepada penciptanya, manusia malahan menentang Allah. Kisah Adam dan Hawa yang makan buah terlarang lebih-lebih mau menunjukkan bagaimana manusia menentang Allah dengan menentang perintah-Nya (Kej 2:17). Kecenderungan untuk menentang, melawan Allah ini tidak hanya berlaku bagi Adam dan Hawa, melainkan juga ada pada setiap manusia.
Dalam keadaan melawan Allah manusia mengalami hukuman atas dosa. Hukuman ini dialami antara lain dalam sengsara dan kematiannya. Situasi dosa membuat manusia tidak dapat memahami arti dan tujuan hidupnya, tidak dapat memahami makna sengsara dan kematiannya. Akibatnya, sengsara dan kematian tidak menghantarnya kepada Allah, sumber kehidupannya, melainkan menjauhkannya. Inilah kematian yang menyedihkan dan menjadi hukuman atas dosa.
Meski dalam situasi dosa, manusia tidak lepas samasekali dari Allah. Manusia tetap makhluk ciptaan Allah yang wajib takluk dan taat kepadaNya. Maka, meskipun tidak dapat memahami hidupnya, manuisia tetap dengan rindu ingat akan firdaus yang kini tidak dialaminya lagi (Ayub 4:17; 14:4; 15:4; 25:4).

4. Kendati mengalami sisi gelap dan berada dalam kecenderungan berbuat dosa, manusia tidak ditinggalkan Allah yang mengasihinya dan tanpa henti berusaha mengangkatnya menjadi ‘anak’Nya. Harkat ‘anak Allah’ tetap ditawarkan kepada manusia.
Harkat ‘anak Allah itu kini dapat diperoleh dalam bentuk ‘kelahiran kembali dari Allah’. Istilah yang agak aneh ini menjadi terang artinya dalam kisah pertemuan antara Yesus dengan Nikodemus (Yoh 3:1-21). Dalam perikopa ini kelahiran kembali berarti hidup yang samasekali baru dan lain, yang dikerjakan oleh Allah sendiri. Gagasan tentang kelahiran baru ini sudah muncul dalam Perjanjian Lama yang diungkapkan sebagai salah satu janji Allah sendiri kepada umatNya (Yes 44:3; 59:21; Yeh 11:19; 36:26-27; Yoel 3:1-5). Kelahiran baru ini menjadi mungkin berkat wafat Yesus di kayu salib. Yesus menjalani sengsara dan kematian dalam ketaatan kepada Allah. Karena itulah wafatNya menjadi penebusan bagi umat manusia, dan Yesus menjadi tempat keselamatan. Seperti ketika umat Israel bersungut-sungut di padang gurun, lalu Allah mengirimkan ular-ular berbisa, umat Israel menyesal sehingga Allah menyuruh Musa membuat ular perunggu yang dipasang dan ditegakkan pada tiang, supaya siapapun yang memandangnya akan selamat, demikianlah sekarang orang akan selamat kalau memandang Dia yang disalib dengan penuh kepercayaan, akan memperoleh keselamatan. Artinya, hidup baru akan diterima oleh manusia yang percaya dan mempersatukan diri dengan Kristus.
Kenyataan ini dengan sederhana dan indah diungkapkan oleh Yohanes:
“Semua orang yang menerimaNya (= Kristus = Sabda)
diberiNya hak menjadi anak Allah
yaitu mereka yang percaya akan namaNya.
Mereka diperanakkan bukan dari darah,
dan bukan dari keinginan daging
dan bukan dari keinginan seorang laki-laki
melainkan dari Allah”. (Yoh 1:12-13).
Ditunjukkan pula bahwa hidup baru itu diperoleh dalam baptisan (Yoh 3:5; Tit 3:5).
Hidup baru itu sering juga digambarkan sebagai ‘ada dalam Kristus’ (1 Kor 6:12) dan ‘menjadi ciptaan baru’ (Gal 6:15; 2 Kor 5:17-18). Sebagai ciptaan baru, manusia harus berusaha supaya dapat tetap menaklukkan diri kepada Allah. Maka harus tetap waspada dan berjaga (Mat 7:13-14; Rom 6:12-14) dan dengan setia meninggalkan hidup yang lama (Ef 4:22-24; Kol 3:9-10). Maka hidup manusia baru ditandai dengan hidup serupa dengan Kristus, yaitu hidup yang mengasihi. Mengasihi berarti selalu memperhatikan kepentingan yang dikasihinya dan melayaninya (Mat 20:28; Mrk 10:45); Luk 22:27) yang dilaksanakan tanpa pamrih dengan keseluruhan dirinya (Rom 5:6-8) tanpa membedakan dari kelompok/suku bangsa apa saja (Luk 10:30-37).

5. Manusia yang hidup sebagai ciptaan baru dan bertahan dalam penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, mempersiapkan hidup kekal dalam kebahagiaan surgawi (Yoh 5:28-29). Maka hidup yang dialami sekarang menjadi persiapan bagi hidup kekal yang berbahagia (Rom 2:6-11.16; 2 Kor 5:10; Why 20:12). Ciri-ciri dan sifat hidup kekal itu sedikit banyak juga dilukiskan dalam Kitab Suci, namun semuanya hanyalah kiasan belaka, sebab memang masih samar-samar (1 Korintus 13:12). Namun, semuanya menuju perkembangan terakhir dan lengkap dari hidup baru yang telah dianugerahkan dalam Kristus. Manusia baru sedang dalam perjalanan masuk ke dalam kumpulan orang yang tak terbilang jumlahnya, yang dikumpulkan dari segala suku bangsa dan bahasa, dan berdiri di depan Anak Domba dengan berpakaian putih dan daun palma kememangan di tanganNya (Why 7:9).

Bahan Bacaan:
1. Lembaga Biblika Tjitjurug, Kuliah Tertulis mengenai adjaran Kitab Sutji, Bogor, 1967, hlm. 199-216.
2. Stefan Leks, Kejadian, Nusa Indah - Ende, 1977

Wates 1989
Rm. Willem

Friday, February 03, 2006

Memahami PERJANJIAN LAMA

BAB IV
PERJANJIAN LAMA
KESAKSIAN UMAT TERPILIH YANG DISAPA ALLAH

1. “Setelah pada jaman dahulu Allah berulangkali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada jaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan AnakNya .... “ (Ibr 1:1). Penulis surat ini memahami dengan baik seluruh karya Allah sebelum kedatangan Yesus sebagai karya penyelamatan yang mempersiapkan penyelamatan yang sempurna melalui Yesus Kristus. Sama seperti karya penyelamatan Allah dalam dan melalui Yesus Kristus menghasilkan sederetan tulisan yang terkumpul dalam Perjanjian Baru, demikian juga karya penyelamatan persiapan dalam umat terpilih (= Israel) menghasilkan tulisan-tulisan yang terkumpul dalam Perjanjian Lama. Menurut keyakinan Gereja karya penyelamatan Allah dalam Perjanjian Lama tidak diganti, melainkan disempurnakan oleh, dalam dan melalui Yesus Kristus. Dengan demikian tulisan-tulisan Perjanjian Baru juga tidak mengganti atau meniadakan Perjanjian Lama. Karya penyelamatan dalam dan melalui Yesus Kristus hanya dapat dipahami atas dasar karya penyelamatan Allah dalam sejarah Israel.

2. Karya Allah dalam sejarah Israel dan tanggapan Israel terhadap karya Allah itu terbentang dalam sejarah yang mulai sekitar abad kesembilan belas sebelum Masehi sampai kedatangan Yesus di dunia ini. Sejarah itu dapat dibagi menjadi beberapa tahap:

a. Bapa-bapa Bangsa (1800-1600 sM)
Karya Allah di tengah-tengah umat manusia diawali dengan beberapa titik tolak yang sangat sederhana. Seorang pengembara, Abraham, beserta keluarganya tidak dapat lagi hidup di daerah Mesopotamia karena terlalu padat penduduknya. Maka atas dasar alasan-alasan sosial-ekonomis ia pergi ke daerah Palestina dengan berani menempuh segala resiko. Namun menurut keyakinan dan pengakuannya sendiri, di dalam hatinya ada suatu dorongan lain yang sulit dirumuskan. Samar-samar dalam hatinya ia merasa bahwa kepergiannya ke Palestina direstui bahkan dikehendaki oleh Allah. Peristiwa-peristiwa dan pengalamannya selanjutnya menguatkan keyakinan itu: ia mampu bertahan bahkan berhasil dalam kehidupannya yang sukar di wilayah yang baru. Tampak dalam peristiwa ini bahwa Allah menyesuaikan diri dalam memperkenalkan (= menyatakan, mewahyukan) diriNya kepada seorang Abraham, pengembara. Ternyata Abraham sanggup mempercayakan diri dan masa depannya kepada Allah Pelindung yang setia. Allah Pelindung yang setia ini disebut Allah Abraham. Selanjutnya Ia diyakini sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Periode Bapa-bapa Bangsa ini berakhir di Mesir. Pada waktu itu Yakub dan keluarga besarnya menetap di sana, karena seorang anaknya berhasil mencapai kedudukan tinggi di negeri itu.

b. Kelompok budak menjadi suatu bangsa (1250-1000 sM)
Sekitar tiga setengah abad sesudah Yakub kita berjumpa dengan sekelompok budak di Mesir Utara. Mereka menganggap diri mereka keturunan Yakub. Mereka diperlakukan sebagai budak, sesudah kehilangan kedudukan mereka yang enak dalam pergolakan politik di Mesir. Keadaan mereka buruk. Dalam keadaan seperti itu mereka merindukan kembali cara hidup yang bebas. Kerinduan itu terungkap dalam kebaktian kepada Allah leluhur yaitu Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Kepada Allah leluhur itu mereka berdoa dan mengeluh. Allah menanggapi keluhan mereka dengan memanggil seorang dari mereka untuk menjalankan karya pembebasan yang telah direncanakanNya. Maka tampillah Musa. Pada langkah ini Allah memperkenalkan diri secara lebih mendalam baik melalui tindakanNya maupun melalui nama baru, Yahwe. Nama Yahwe berarti Yang Ada - yang berada di tengah-tengah umatNya dan terlibat dengan kehidupan dan perjuangan umatNya. Keterlibatan ini tampak dalam tindakanNya menghantar umat Israel keluar dari Mesir. Sejak saat itu Israel menyebut Allah dengan sebutan Yahwe yang telah membebaskan kita dari Mesir’. Sekeluarnya dari Mesir, umat Israel sampai ke Sinai. Di tempat ini mereka dikaruniai suatu pengalaman rohani yang sangat mendalam. Allah yang telah membebaskan mereka menyatakan: ‘Aku akan menjadi Allahmu, kamu akan menjadi umat kesayanganKu’. Pengalaman-pengalaman mereka dibebaskan dari Mesir dan di Sinai itu dirumuskan dalam yang disebut Perjanjian Sinai. Sesudah meninggalkan Sinai, mereka menuju tanah Kanaan. Usaha untuk masuk tanah Kanaan bukanlah perjuangan yang mudah. Waktu Musa wafat, umat Israel baru menguasai suatu daerah kecil di sebelah timur sungai Yordan. Akhirnya di bawah pimpinan Yosua yang menggantikan Musa, umat Israel menyeberangi sungai Yordan dan mulai mencari tempat di tanah Kanaan Tengah. Selanjutnya dalam suatu proses yang lama dan berbelit-belit kelompok bekas budak ini berkembang menjadi suatu bangsa yang kuat di bawah pimpinan raja Daud, dua abad sesudahnya. Umat Irael menjadi bangsa Israel, tanah Kanaan menjadi tanah Israel. Dalam karya pembebasan dari Mesir Yahwe memakai Musa sebagai alatNya, sedangkan dalam proses perebutan Tanah Terjanji banyak orang lain yang digerakkan oleh Tuhan, seperti Yosua, Gideon, Simson, Debora. Mereka membangkitkan semangat keagamaan dan mengembangkan penghayatan agama dalam kalangan suku-suku Israel serta memajukan persatuan suku ke arah terbentuknya bangsa. Menurut keyakinan Israel, seluruh proses sejarah ini berjalan menurut rencana Allah.

c. Dari jaman Kerajaan sampai kehancuran (1000-500 sM)
Setelah peralihan yang sulit di bawah raja Saul kerajaan Israel langsung mencapai puncak gemilang di bawah pimpinan raja Daud dan Salomo. Bangsa Israel memandang keberhasilan ini sebagai pemenuhan janji Yahwe kepada bapa Abraham dan umat Israel di Sinai. Namun ternyata jaman keemasan tidak berlangsung lama. Sesudah Salomo kerajaan terpecah menjadi dua kerajaan kecil yang lemah: kerajaan Utara (= I-srael) dan kerajaan Selatan (= Yehuda). Kedudukan Tuhan dan kemurnian agama Yahwe mengalami kemunduran besar selama jaman kerajaan, baik karena kejahatan pribadi raja maupun karena pengaruh politik-religius dari luar yang dibiarkan masuk. Di lain pihak pada jaman ini terus menerus muncul utusan Allah yang disebut nabi. Para nabi sebagai penyambung lidah Tuhan mengutarakan penilaian Tuhan terhadap umatNya dan cara Israel menghayati perjanjian Sinai dengan mendukung yang baik dan menghantam serta membetulkan yang jahat, menubuatkan keselamatan atau hukuman sesuai dengan sikap umat terhadap Tuhan. Ternyata usaha para nabi ini tidak berhasil. Atas nama Tuhan nabi-nabi menubuatkan penghancuran kerajaan Israel dan Yehuda - hal yang terjadi untuk Israel pada tahun 722 sM (dihancurkan oleh Asyur) dan untuk Yehuda pada tahun 587 sM (dihancurkan oleh Babel). Hancurnya kedua kerajaan itu merupakan titik akhir kehidupan politik, tetapi sekaligus juga merupakan titik awal pembaruan rohani.

d. Umat Allah yang terjajah (500-1 sM)
Sampai akhir jaman Perjanjian Lama bangsa Yahudi tetap hidup di bawah penguasa-penguasa asing, silih berganti (Persia, Mesir, Siria, Roma). Tampaknya peranan bangsa Yahudi semakin jelas pindah dari bidang politik ke bidang rohani. Karya Tuhan terhadap umatNya tidak tampak lagi dalam peristiwa-peristiwa lahiriah yang hebat, melainkan membangun iman umat agar mereka dapat memberikan sumbangan yang amat penting bagi umat manusia. Dalam kalangan beberapa ratus ribu orang Yahudi muncul monoteisme (= kepercayaan akan Allah yang Tunggal) di dunia. Mereka inilah yang akan mengembangkannya, memelihara dan membela dengan mempertaruhkan hidup mereka. Seluruh warisan keagamaan masa lampau, seluruh kisah karya Allah sejak leluhur Abraham, pewartaan para nabi, permenungan para bijak - semuanya disimpan, disatukan, direnungkan dan dikembangkan oleh orang-orang Yahudi. Semua itu diyakini sebagai hal yang terjadi di bawah bimbingan Allah. Perlindungan terhadap orang-orang Yahudi yang secara politik tidak berdaya lagi adalah cara karya Allah yang khas pada tahap terakhir Perjanjian Lama.
Dengan melihat secara singkat sejarah umat Israel, kita dapat mengatakan bahwa karya Allah di tengah-tengah Israel sejak Abraham sampai tahap terakhir menjelang kedatangan Yesus dapat dipandang sebagai suatu karya yang berlangsung terus. Dari lain pihak, Israel, juga sejak Abraham sampai kelompok Yahudi yang hidup di ambang Perjanjian Baru, menanggapi karya dan prakarsa Allah tadi. Kadang-kadang tanggapannya positif, menunjukkan kesetiaan, tetapi tidak jarang juga negatif, tidak setia. Tanggapan Israel ini kembali ditanggapi oleh Allah dalam karya penyelamatanNya. Dengan demikian Perjanjian Lama Dapat kita mengerti sebagai Sejarah Allah Dengan Israel, atau Dialog Allah - Israel, bukan sekedar dialog verbal (= dengan kata-kata), melainkan dialog karya penyelamatan.

3. Karya Allah di tengah-tengah Israel dan tanggapan Israel atas karya itu terungkapkan dan diendapkan dalam tulisan-tulisan yang bersama-sama disebut Perjanjian Lama. Asal-usul, gaya, isi dan bentuk tulisan-tulisan itu berbeda satu sama lain, akan tetapi semua muncul dari dan dihasilkan oleh dialog antara Allah dan Israel dalam sejarah penyelamatan itu. Tulisan-tulisan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

a. Kitab-kitab Sejarah
Yang dimaksudkan dengan Kitab-kitab Sejarah adalah tulisan-tulisan yang membahas, merenungkan sejarah Allah dengan Israel. Sebelum ditulis, lama sekali informasi tentang leluhur, segala permenungan tentang hubungan Allah dengan mereka dan tentang hubungan mereka dengan Allah, tersimpan dan diteruskan turun-temurun dalam bentuk cerita dan nyanyian. Begitu juga Musa, karya pembebasan dari Mesir, peristiwa di Sinai hidup terus diantara mereka melalui cerita-cerita yang diteruskan dari mulut ke mulut. Pada tahap selanjutnya, ketika di lingkungan kerajaan mulai muncul yang dapat disebut kelompok cendekiawan, cerita-cerita itu mulai dipilih, disadur dan ditulis. Yang penting bukannya peristiwa sendiri, melainkan peristiwa atau pengalaman sebagai medan pertemuan antara Allah dan manusia. Demikian sejarah Israel sepanjang hampir dua ribu tahun merupakan suatu medan yang sangat luas untuk refleksi atau permenungan iman. Dalam sejarah itu para teolog Israel dapat menimba terus menerus pengetahuan dan pengertian yang semakin mendalam tentang Allah, tentang manusia, tentang hubungan timbal balik antara Allah dan manusia. Dengan demikian kata sejarah harus dimengerti dalam arti yang sangat luas. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-hakim, Rut, 1-2 Samuel, 1-2 Raja-raja, 1-2 Tawarikh, Ezra, Nehemia, Tobit, Yudit, Ester, dan 1-2 Makabe.

b. Kitab Mazmur
Kitab Mazmur secara khusus mencerminkan tanggapan Israel atas karya Tuhan, baik yang dialami dalam sejarah bangsa maupun dalam kehidupan pribadi. Dalam Mazmur Pujian Israel mengagungkan karya dan kasih-setia Tuhan dan dengan demikian menghayati kedudukannya sebagai umat terpilih yang disayangi Tuhan. Ada juga Mazmur Keluhan dan Permohonan. Pengalaman akan kasih setia Tuhan di masa lampau mendorong Israel untuk dengan kepercayaan tanpa batas mengarahkan doa permohonan kepada Tuhan, khususnya dalam keadaan terhimpit atau bahaya. Kepercayaan akan Tuhan yang mengasihi dan setia membuat orang berani tetap berharap dan berdoa ketika menurut perhitungan manusia tidak ada harapan lagi. Dalam Perjanjian Lama tersimpan 150 mazmur, yang merupakan suatu sekolah doa bagi manusia dari segala jaman.

c. Kitab-kitab Hukum
Sejak peristiwa di gunung Sinai, Israel mencoba merumuskan sejumlah petunjuk dan pengarahan yang dapat mengkonkretkan kedudukan Israel sebagai umat kesayangan Tuhan dan menghayati tuntutan untuk membalas kasih setia Tuhan. Petunjuk dan pengarahan itulah yang disebut Hukum atau Hukum Taurat. Beberapa saat sesudah perjanjian Sinai, rumus pendek seperti sepuluh perintah dapat dianggap cukup untuk mengungkapkan penghayatan semangat perjanjian Sinai. Akan tetapi tujuh atau delapan abad sesudah itu, daftar pendek itu berkembang menjadi beberapa kumpulan tertulis dengan ratusan petunjuk, peraturan dan larangan. Proses itu terjadi perlahan-lahan, dan Israel selalu mencoba untuk setiap kali bertitik tolak dari semangat Sinai dengan harapan setiap peraturan mengarahkan dan mengkonkretkan tindakan sehari-hari sebagai umat kesayangan dalam usaha membalas kasih setia Tuhan. Dengan demikian Hukum bukan beban yang memaksa dari luar, melainkan “pelita bagi kakiku; terang bagi jalanku” (Mzm 119:105).

d. Kitab Nabi-Nabi
Tuhan menyapa umatNya melalui perantaraan para nabi. Melalui pewartaan mereka pula Tuhan menilai, mengoreksi, mengancam, menyemangati atau menghibur umatNya sesuai dengan tanggapan umat atas karya penyelamatanNya. Deretan panjang para nabi yang menanggapi situasi konkret umat Allah atas nama Tuhan, mewariskan kepada umat Yahudi dan kepada kita suatu harta yang tak ternilai harganya. Seorang nabi melihat dengan mata Tuhan, menilai dengan ukuran Tuhan. Melalui tulisan-tulisan mereka para pembaca dapat melihat, memahami pandangan dan penilaian Tuhan terhadap manusia, tindakan manusia dalam keadaan konkret yang seringkali sangat mirip dengan tindakan, keadaan kita.. Yang termasuk dalam Kitab Nabi-Nabi adalah: Yesaya, Yeremia, Ratapan, Barukh, Yehezkiel, Daniel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia dan Maleakhi.

e. Kitab-Kitab Kebijaksanaan
Dalam kitab-kitab ini diungkapkan kazanah pengalaman manusia, untuk membangun hidup manusia supaya ia bersikap bijaksana dan tepat dalam setiap keadaan hidup, dalam hubungan dengan Allah, atasan, rekan, bawahan, ciptaan lain. Namun di dalamnya juga terungkap permenungan sebagai umat Allah. Berbeda dengan kitab-kitab sejarah yang memusatkan perhatian pada karya Allah dalam sejarah penyelamatan Israel, kitab-kitab kebijaksanaan merenungkan karya Allah yang lebih umum sebagai Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah: Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan, Sirakh.

4. Kitab Suci Perjanjian Lama merupakan endapan dari suatu proses panjang dialog Allah dengan umat Israel. Pertanyaan yang dapat muncul ialah, apa arti Perjanjian Lama bagi kita orang beriman di jaman ini? Secara singkat dapat dikatakan begini: melalui Perjanjian Lama kita dapat mengenal Allah, mengenal diri kita dan mengenal keadaan hidup kita.

a. Mengenal Allah
Dalam Kitab Suci kita berjumpa dengan Allah yang memperkenalkan diri kepada sekian banyak orang yang berbeda, melalui berbagai macam peristiwa dan pengalaman. Dapat disebut salah satu, misalnya pengalaman Ayub. Selangkah demi selangkah melalui suatu proses yang sangat ngeri dan sulit Ayub dituntun sehingga akhirnya sampai kepada keyakinan: Allah adalah Misteri. Ia tidak dapat dimengerti, tindakanNya melampaui daya tangkap manusia. Bersama Ayub setiap orang beriman diajak untuk mempercayakan diri kepada Allah, yang kasih setiaNya seringkali tidak dapat dimengerti. Secara umum dapat dikatakan, dalam pengalaman para ‘bapa iman’ dan dalam kata-kata mereka kita dapat bertemu dengan Allah yang sama.

b. Mengenal Diri Kita
Dalam Kitab Suci kita juga bertemu dengan orang-orang yang mendahului kita dalam perjalanan iman. Kisah pasang dan surut mereka menerangkan kisah perjalanan kehidupan kita sendiri. Abraham berani percaya kepada Tuhan (Kej 12:1-9), tetapi kemudian merasa takut (ayat 10-20), tidak sabar menunggu Tuhan melaksanakan janjiNya (Kej 16). Baru sesudah perjalanan dan pengalaman panjang ia rela mempercayakan diri seutuhnya kepada Allah (Kej 22:1-19). Atau siapa yang tidak pernah merasa tak berdaya dalam keadaan sulit seperti Daud ketika berhadapan dengan Goliat? (1 Sam 17). Demikian tokoh-tokoh lain dalam Perjanjian Lama seperti Yakub, Yusuf, Amos, Hosea, Yeremia dapat menunjukkan jalan bagi kita dan membentuk sikap-sikap dasar iman kita.

c. Mengenal Keadaan Kita
Dalam sejarah hidupnya yang dituntun oleh Allah Israel berhadapan dengan berbagai macam keadaan dan menghadapi keadaan itu dengan cara yang sesuai dengan keyakinan iman mereka. Renungan tentang keadaan-keadaan itu dan tentang tanggapan Israel atas keadaan-keadaan itu, dapat memberikan beberapa pedoman atau patokan bagi kita untuk menilai keadaan hidup kita sekarang. Penilaian yang disampaikannya pada Yer 2; Yeh 16; 20; 23 dapat membantu kita untuk menilai sejarah kita sendiri dari sudut pandangan Allah.
5. Untuk kesekiankalinya harus dikatakan bahwa dalam Perjanjian Lama berisi dialog Allah dengan Israel, atau menurut judul catatan ini, kesaksian umat terpilih yang disapa oleh Allah. Allah sedikit demi sedikit menyatakan diri, sesuai dengan tingkat kemampuan yang menerima. Sedikit demi sedikit gambaran Allah berkembang, semakin dalam dan tanggapan manusia semakin jelas dan utuh pula. Semua yang tertulis, semua yang dikatakan dalam Perjanjian Lama harus ditempatkan dalam kerangka ini. Kalau demikian kisah penciptaan (Kej 1-2) tidak akan dimengerti sebagai pemberitahuan bahwa dunia ini diciptakan selama enam hari. Yang mau dikatakan ialah bahwa seluruh dunia, semua yang ada diciptakan oleh Allah dengan maksud baik. Keyakinan ini diungkapkan dalam kisah penciptaan, sesuai dengan cara berpikir orang pada waktu itu. Demikian juga peraturan nyawa ganti nyawa, gigi ganti gigi, mata ganti mata (Kel 21:23-24 bdk. Im 24:20; Ul 19:21; Mat 5:38) tidak harus dimengerti sebagai suatu perintah yang berlaku selama-lamanya. Dalam lingkungan hidup orang yang cenderung membalas lebih kejam daripada perlakuan yang diterima (kalau dipukul dengan kerikil, dibalas dengan batu), peraturan itu sudah merupakan suatu langkah maju - langkah yang sedikit demi sedikit akan menuju ke perintah Kristus sendiri .... “kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu ....” (Mat 5:44).

6. Akhirnya inilah yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II mengenai arti Perjanjian Lama untuk umat Kristiani: “.... Buku-buku Perjanjian Lama .... menampakkan kepada semua pengertian tentang Allah dan manusia serta bagaimana Allah yang adil dan rahim bergaul dengan manusia. Buku-buku ini walaupun mengandung hal-hal yang tidak sempurna serta sementara, toh memperlihatkan cara pendidikan ilahi yang sejati. Maka buku-buku itu, yang mengungkapkan kesadaran yang hidup akan Allah yang mengandung ajaran luhur mengenai Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang hidup manusia, dan perbendaharaan doa yang mengagumkan, dimana akhirnya tersembunyi rahasia keselamatan kita, harus diterima dengan khidmat oleh kaum beriman Kristiani” (DV 15).

Diringkas dari Wim vd. Weiden MSF, Membaca Kitab Suci Perjanjian Lama oleh I. Suharyo Pr.