Thursday, February 02, 2006

Memahami PERJANJIAN BARU

BAB VII
INJIL: KESAKSIAN UTAMA TENTANG HIDUP DAN AJARAN SANG SABDA

1. Kadang-kadang timbul pikiran dalam diri kita, seandainya kita mempunyai ‘potret’ Yesus, tulisan-tulisanNya serta rekaman sabda-sabdaNya, kita akan sungguh-sungguh mengenalNya. Tetapi nyatanya itu semua itu tidak ada. Yesus tidak pernah dipotret, tidak pernah menulis (pernah sekali, tetapi di tanah, Yoh 8:6), tidak pernah direkam juga. Syukurlah bahwa demikian. Seandainya Ia menulis dan sabda-sabdaNya direkam, kita akan tergoda untuk memandangNya dari sudut pengajaran dan pekerjaanNya saja. Namun karena Ia tidak meninggalkan tulisan-tulisan, kita diajak untuk melihat pribadiNya. Pribadi inilah yang mengesankan pengikut-pengikutNya yang pertama. Kesan inilah yang akhirnya sampai kepada kita dalam tulisan-tulisan Injil sebagai kesaksian. Dalam kesaksian itu, para pengikut Yesus yang mengenalNya, meneruskan kepada kita: Siapakah Dia, bagaimana sedikit demi sedikit mereka menangkap misteri pribadiNya dan bagaimana hidup mereka diubah oleh pengenalan ini. Jadi kesaksian yang kita temukan dalam Injil, memperkenalkan Yesus kepada kita, dalam taraf yang lebih dalam, lebih pribadi - bukan sekedar laporan peristiwa yang netral atau gambar ‘foto’ saja. Berikut ini akan diuraikan secara garis besar proses terjadinya Injil sebagai kesaksian, sebagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi artikel 19.

2. Pertama-tama ialah Yesus yang mengajar dan berkarya demi keselamatan kita. Tidak banyak yang dapat dikatakan mengenai masa sebelum Yesus tampil di depan umum. Ia lahir pada waktu Herodes Agung menjadi raja, kemungkinan besar pada tahun 6 sM. Ia hidup di Nazaret, dan sebagai seorang Yahudi yang saleh menaati hukum dengan penuh semangat (bdk. Mat 5:17). Sekitar tahun 27 atau 28 M Ia dibaptis oleh Yohanes dan mulai saat itu Ia tampil di depan umum. Ketika Yesus tampil, Palestina berada di bawah kekuasaan pemerintah penjajah romawi. Rasa benci terhadap penjajah tampak semakin memuncak dan tidak mengherankan kalau muncul pula gerakan-gerakan pembebasan. Gerakan-gerakan semacam itu bukan sekedar gerakan politik, akan tetapi selalu mempunyai warna keagamaan. Bangsa Yahudi percaya akan Allah yang selalu dekat, terlibat dalam kehidupan umatNya. Allah yang menyertai umatNya. Dalam keadaan dijajah, harapan akan campur tangan Allah sungguh-sungguh besar, khususnya diantara orang-orang yang paling menderita. Berdasarkan berbagai macam nubuat kenabian yang terdapat dalam Perjanjian Lama, orang semakin berpikir mengenai Mesias dalam rangka harapan keselamatan ini. Mesias itu digambarkan sebagai utusan Allah, seorang pahlawan yang akan menyelamatkan Israel, membebaskannya dari penindasan pemerintah penjajah dan antek-anteknya.
Dalam keadaan semacam ini muncullah suatu gerakan mesianisme yang lain coraknya, yang dirintis oleh Yohanes. Yohanes mewartakan bahwa Allah memang segera akan bertindak, tetapi untuk menghukum Israel yang tidak setia, kecuali kalau mereka bertobat sebagaimana dituntut oleh para nabi (bdk. Mat 3:1-12 dan selanjutnya). Orang-orang yang menanggapi seruan ini membiarkan diri mereka dibaptis (= dibenamkan) di Sungai Yordan, sebagai tanda pertobatan. Kecuali itu Yohanes juga menyatakan akan datangnya seorang yang akan melaksanakan pengadilan Allah atas Israel ini.
Setelah dibaptis Yesus meneruskan pesan yang sudah diserukan oleh Yohanes. Ia menyatakan bahwa Allah segera bertindak dan menuntut agar orang bertobat. Namun ada perbedaan besar diantara kedua tokoh ini. Yohanes menggambarkan campur tangan Allah akan terlaksana secara mengerikan, sedang Yesus menyatakannya sebagai kabar yang menggembirakan sebagaimana sudah dikatakan oleh para nabi (bdk. Yes 40:11; 52:7-10). Kecuali itu Yesus juga menyatakan bahwa campur tangan Allah itu sudah berlangsung dalam sabda dan karyaNya sendiri. Yesus berbicara kepada orang banyak menggunakan gambaran-gambaran yang diambil dari hidup sehari-hari, namun semuanya diucapkan dengan kewibawaan yang tinggi. Yesus tidak meminjam wibawa orang lain tetapi dengan wibawaNya sendiri bersabda, “Aku berkata kepadamu ....” Ia berkata-kata dengan kuasa (bdk. Mrk 1:27). Cara hidupNya seolah-olah tidak mengindahkan kaidah-kaidah umum yang berlaku: menyembuhkan orang pada hari Sabat, bergaul dan makan bersama dengan orang berdosa, berpihak pada orang-orang yang tidak bersih. Bagi orang-orang Yahudi yang saleh sepak terjang Yesus itu mengganggu rasa keagamaan mereka. Yesus terang-terangan menghujat Allah, menurut pola pikir mereka (bdk. Mrk 2:1-12 dan ayat-ayat sejajar). Mungkin sekali orang-orang yang dekat denganNya semakin mengagumi diriNya, akan tetapi tampaknya pribadi Yesus tetap merupakan rahasia bagi mereka. “Siapa Dia ini sebenarnya?” (bdk. Mrk 8:27-30 dan ayat-ayat sejajar).
Dengan gaya hidup semacam itu tidak mengherankan kalau semakin lama pertentangan, khususnya dengan orang-orang Farisi semakin tajam. Yesus mengecam mereka karena mereka merasa mempunyai hak istimewa di hadapan Allah dan menganggap orang lain berdosa dan terkutuk. Pendek kata pokok perselisihan terdapat pada pandangan mengenai Allah, yang dalam pewartaan Yesus nyata sebagai Allah yang mencintai semua orang. Perselisihan mencapai puncaknya ketika Yesus pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Kendati semakin banyak yang memusuhi, Yesus tidak takut dan terus mewartakan bahwa sekarang Israel diberi kesempatan yang terakhir. Ini dikatakan di Yerusalem menjelang Paskah. Dalam perayaan seperti ini suasana politik biasanya menghangat. Yerusalem penuh dengan orang-orang Yahudi yang datang dari segala penjuru. Apalagi Paskah bagi orang-orang Yahudi adalah semacam hari kemerdekaan. Pada hari itu mereka memperingati hari pembebasan Israel dari perbudakan Mesir. Dalam perayaan Paskah juga dinyatakan keyakinan bahwa akhirnya Tuhan akan membebaskan umatNya dari penjajah, untuk selama-lamanya. Pembebasan ini akan terjadi pada hari Paskah, dan dilaksanakan oleh seorang Mesias. Maka dalam perjamuan Paskah Yahudi, satu kursi kosong disediakan, siapa tahu Mesias yang mereka nantikan datang! Oleh karena itu wali negeri pada hari semacam itu datang ke Yerusalem dan memimpin sendiri pasukan yang ditempatkan di sana, dengan pasukan tambahan khusus. Dengan demikian seandainya timbul pemberontakan atau kerusuhan, ia dapat segera bertindak. Memang dalam suasana seperti itu sedikit api saja dapat membakar hati semua orang.
Keadaan seperti ini rupanya digunakan oleh musuh-musuh Yesus untuk melaksanakan niat mereka. Yesus akhirnya dihukum mati oleh pengadilan agama dan disalib atas ijin pemerintah Roma, kemungkinan besar pada tanggal 7 April tahun 30 M. Ketika pesta selesai, maka seluruh kota menjadi tenang lagi. Walinegeri berhasil menjaga keamanan dan musuh-musuh Yesus berhasil menyingkirkan seteru yang sangat mereka benci.

3. Yesus akhirnya mati. Dapat dibayangkan bahwa murid-murid yang dulu mengikutiNya kecewa dan bubar. Segala soal yang berhubungan dengan Yesus akan segera dilupakan orang. Tetapi ternyata tidak demikianlah yang terjadi. Yesus yang mati di salib, ternyata dialami sebagai Tuhan yang hidup, yang mengumpulkan kembali murid-murid yang telah melarikan diri dan memberi daya hidup baru kepada mereka. Oleh karena itu pengalaman ini dapat dilihat sebagai tahap baru juga dalam proses terjadinya Injil. Namun tahap ini tidak dapat digambarkan seperti hidup Yesus di depan umum, karena jenis pengalamannya memang lain yaitu pengalaman yang menyangkut batin orang. Oleh karena itu hanya akan ditunjukkan beberapa hal yang kemungkinan hidup dalam pengalaman batin para murid.
Yesus yang mati di salib ternyata dibangkitkan oleh Allah dan menampakkan diri kepada para murid. Inilah suatu awal baru. Kita tidak akan pernah tahu persis kapan, di mana dan bagaimana Yesus yang bangkit menampakkan diri. Yang jelas adalah bahwa para murid ini kemudian menjadi saksi-saksi kebangkitan Kristus (bdk. 1 Kor 15:3-8). Melihat Yesus yang menampakkan diri berarti mengalami karya Allah yang membuat orang percaya bahwa Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Bagi ‘orang-orang luar’ pengalaman seperti itu mungkin dianggap sebagai mimpi saja. Namun bagi para murid pengalaman itu bermakna dan berakibat jauh karena ditempatkan dalam kerangka yang luas, yaitu Kitab Suci (Perjanjian Lama). Tanpa latar belakang ini penampakan-penampakan Yesus tidak akan pernah dapat dimengerti.
Yesus dan murid-muridNya adalah orang Yahudi. Mereka adalah bagian dari tradisi Yahudi. Itu berarti bahwa hidup mereka diwarnai atau bahkan ditentukan oleh Hukum Musa, Nabi-nabi dan Tulisan-tulisan suci (= Kitab Suci Perjanjian Lama). Pengalaman-pengalaman hidup mereka baca dengan latar belakang tindakan Allah di masa lampau, khususnya pembebasan dari perbudakan Mesir (= dosa). Masa depanpun dibangun dalam terang Kitab Suci. Masa depan itu akan memuncak pada yang disebut Hari Yahwe. Pada saat itu kemuliaan Allah akhirnya akan menyatakan diri untuk selama-lamanya.
Entah bagaimana, rupanya pemahaman para murid mengenai Kitab Suci mendapatkan makna baru sesudah Yesus menampakkan diri kepada mereka. Mereka Mulai memahami hubungan-hubungan yang dulu ditunjukkanNya secara samar-samar. Mazmur-mazmur (misalnya Mzm 2:22; 80:110) dipahami secara baru, sebagai yang menerangkan peristiwa-peristiwa yang menyangkut Yesus. Tampaknya Kitab nabi Yesaya paling berperan untuk menerangkan pribadi dan hidup Yesus. Dalam Kitab itu disebut-sebut Immanuel, Allah beserta kita. Ia berasal dari wangsa Daud, raja damai yang akan memerintah segala bangsa penuh dengan Roh Tuhan. Ia akan menyelamatkan yang lemah dan menghukum orang-orang congkak (bdk. Yes 7:14; 9:5-6; 11:1-5). Itulah Yesus yang berpihak pada orang lemah dan mengecam pedas orang-orang Farisi. Dalam bagian yang disebut Nyanyian Hamba Yahwe (Yes 42:1-4; 49:1-6; 50:4-10; 52:13-53:12) para murid dapat melihat pribadi Yesus secara sangat jelas. Demikian pula dalam Yes 61:1. Seorang tokoh menyatakan bahwa Tuhan telah mengurapinya dan mengutusnya ‘untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara ....’. Murid-murid yang membaca atau mendengar kata-kata itu tentunya ingat bahwa kata-kata itu sering dipakai dan diucapkan oleh Yesus. Ternyata - demikian kiranya yang hidup dalam hati para murid - yang terjadi pada Yesus sudah dikatakan dalam Kitab Suci. Menjadi jelas bahwa kata-kata itu berhubungan dengan Yesus. Berdasarkan itu semua mereka mengerti siapa Yesus sebenarnya. Yang sebelum wafatNya merupakan teka-teki, sekarang menjadi jelas. Yesus adalah Mesias, namun bukan seperti yang mereka gambarkan sebelumnya.
Keyakinan baru ini ternyata kemudian menjadi sumber kekuatan baru. Kekuatan itu datang dari Allah dan dialami sebagai kuasa Roh. Roh ini mendorong mereka untuk memberi kesaksian iman mereka. Mereka diutus. Inilah pengalaman yang dirangkum dalam yang sekarang kita kenal sebagai kisah kedatangan Roh Kudus (bdk. Kis 2:1-13). Gerakan ini segera berkembang dan itupun diyakini sebagai karya Allah. Kesaksian itu diberikan dengan menyatakan inti warta gembira, misalnya ‘Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan’ (Rom 10:9). Atau, ‘Kristus telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci’ (1 Kor 15:3-4; bdk. Flp 2:9; Kol 1:18; 1 Ptr 3:18). Kesaksian ini bukanlah sekedar menceritakan peristiwa Yesus yang sudah lampau, tetapi pewartaan bahwa Yesus sekarang tetap hidup. Hal itu sangat jelas kalau kita membandingkan kotbah-kotbah yang terdapat dalam Kitab Para Rasul (bdk. Kis 2:14-41; 3:12-26; 4:9-12; 5:29-32; 10:34-43; 13:16-41). Tampak dari sana bahwa pewartaan yang paling awal berkisar sekitar wafat dan kebangkitan Yesus. Kotbah-kotbah itu kurang lebih mempunyai susunan yang sama:
a. Yesus diutus oleh Allah dihukum mati atas kehendak orang Yahudi
b. Peristiwa itu terjadi menurut rencana Allah sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci.
c. Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati
d. memberiNya nama dan kedudukan baru.
e. Semuanya ini juga menurut Kitab Suci.
f. Para murid adalah saksi atas semua itu.
g. Ajakan tobat agar mendapat bagian dalam hidup yang dinyatakan oleh Allah dalam diri Yesus.

Pewartaan itu tentunya semakin berkembang. Perkembangan ini khususnya menjadi sangat jelas dalam Kis 10:34-43. dalam teks ini tampak bahwa pewartaan tidak lagi hanya menyangkut wafat dan kebangkitan Yesus, akan tetapi sudah mencakup karyaNya di depan umum.
Mungkin keduabelas murid dan beberapa yang lain sudah mempunyai pengalaman bersama Yesus yang sebelum wafat mewartakan Kerajaan Allah. Namun sesudah kebangkitan semuanya menjadi lain. Mereka tidak hanya menyatakan bahwa Allah berkarya dalam sabda dan karya Yesus. Mereka melangkah lebih jauh. Peristiwa-peristiwa dan Kitab Suci menyatakan bahwa Allah telah menjadikan Yesus sebagai Mesias, Kristus, Tuhan, Hakim atas seluruh dunia. Dalam tanganNyalah terletak keselamatan manusia. Demikian tampaknya mulailah diteruskan bahan-bahan pewartaan yang paling dasar.

4. Para murid dengan penuh keyakinan mewartakan bahwa Allah telah menjadikan Yesus yang mati di salib sebagai Kristus, Tuhan, Hakim seluruh umat manusia. Dapat diandaikan bahwa segera saja muncul sanggahan-sanggahan dan pertanyaan-pertanyaan mengenai pokok pewartaan itu. Bagaimana mungkin orang yang dihukum mati itu diakui sebagai Mesias dan Tuhan? Sementara itu orang-orang yang menerima pewartaan rasul ingin juga mengerti lebih banyak mengenai Yesus, karya apa saja yang Ia lakukan, bagaimana pertengkaran dengan orang-orang Farisi sampai terjadi, apa yang dikatakanNya mengenai saat Allah menyatakan kekuasaanNya dan berbagai macam pertanyaan yang lain. Maka para murid mengingat kembali pengalaman-pengalaman mereka hidup bersama Yesus, yang mereka baca dan tafsirkan berdasarkan pengalaman Paskah.
Pewartaan semakin tersebar di Palestina, meluas sampai ke Syria, Asia Kecil bahkan Mesir. Dimana orang menerima pewartaan Yesus, di situ terhimpunlah kelompok murid. Di situ pula tradisi mengenai Yesus mulai tumbuh berakar. Kisah-kisah yang diceritakan oleh para pewarta dan keterangan-keterangan yang mereka berikan diulang terus menerus dan disimpan serta diteruskan. Hubungan yang ada diantara para pemimpin jemaat menjamin kesamaan tradisi dalam hal-hal yang paling pokok. Namun pengembanganpun terjadi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan jemaat yang nyata. Bentuk-bentuk pewartaan dapat berbeda-beda sesuai dengan kelompok yang dihadapi oleh para pewarta, apakah mereka itu orang Yahudi terpelajar, orang-orang kebanyakan atau orang-orang kapir; apakah mereka memahami cara berpikir Yahudi atau lebih condong kepada kebudayaan Yunani. Maka tidak mengherankan kalau kisah-kisah Yesus dan juga sabda-sabdaNya diteruskan dengan warna yang berbeda-beda.
Kalau suatu jemaat berhimpun, biasanya ada tiga kesempatan dimana seorang pewarta dapat berbicara mengenai Yesus. Kesempatan pertama ialah pengajaran. Para murid yang baru diajar secara lebih mendalam mengenai pesan iman yang baru mereka terima dan akibat-akibatnya bagi kehidupan mereka. Dalam rangka pengajaran inilah surat-surat Paulus ditulis bagi jemaat-jemaat yang ia dirikan (bdk. Kis 18:11; 19:9-10). Dalam pengajaran ini hubungan jemaat-jemaat dengan Gereja induk di Yerusalem terus dipertahankan (bdk. 1 Kor 7:10; Kis 15:1-34). Kesempatan kedua ialah perjamuan Ekaristi atau pemecahan roti. Dalam perjamuan ini sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus dikenangkan dan diterangkan dengan jalan menceritakan apa yang telah Ia buat dan katakan. Tampaknya inilah yang terjadi di Troas sebagaimana diceritakan dalam Kis 20:7-12. Kesempatan ketiga ialah diskusi, yang biasanya terjadi antara pewarta dengan orang yang ragu-ragu atau yang tidak mau menerima pewartaan. Dalam kesempatan seperti ini para pewarta dan orang beriman pada umumnya dipaksa untuk mengatakan segala sesuatu yang mereka ketahui mengenai Yesus, dengan berbagai cara dan warna. Dalam lingkungan dan untuk keperluan seperti itulah terbentuk kumpulan kisah-kisah dan sabda-sabda Yesus: kisah sengsara, wafat dan kebangkitan, kisah-kisah mukjijat, perumpamaan, dan sabda-sabda Yesus yang lain. Bahan-bahan ini disimpan dan diteruskan sebagai ‘yang dikatakan dan dibuat oleh Yesus kepada para pendengar mereka dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh karena dididik oleh peristiwa-peristiwa mulia hidup Kristus dan karena diterangi cahaya Roh Kebenaran” (DV 19).

5. Akhirnya ‘pengarang suci mengarang keempat Injil dengan memilih dari banyak bahan yang secara lisan atau tertulis telah diturunkan, dengan menyusunnya agak sintetis atau menguraikannya sesuai dengan keadaan-keadaan Gereja, .... namun sedemikian rupa sehingga selalu menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni mengenai Yesus’ (DV 19). Keempat penginjil (Markus, Matius, Lukas dan Yohanes) adalah pengarang bukan dalam arti sebagaimana sekarang kita ketahui dengan ‘hak cipta yang dilindungi undang-undang’. Dikatakan bahwa mereka memilih dan menyusun bahan-bahan yang ada dalam tradisi (= yang sudah hidup dalam jemaat dan diteruskan turun temurun). Dalam pilihan dan penyusunan bahan-bahan inilah terletak pandangannya yang khas. Unsur lain yang disebut ialah kebutuhan atau keadaan Gereja tertentu. Para penginjil menuliskan injil untuk untuk kepentingan (pada waktu itu) Gereja tertentu, yang tentu berbeda menurut keadaan tempat dan waktu. Matius menulis untuk Gereja yang sebagian besar warganya terdiri dari orang-orang Yahudi, sedang Lukas menulis kepada jemaat yang tidak begitu dekat dengan alam Yahudi. Maka tulisan-tulisan mereka tidak sama. Demikian juga Markus dan Yohanes mempunyai lingkungan penulisan yang berbeda. Namun ditegaskan oleh Konsili, bahwa kendati perbedaan-perbedaan itu smeua selalu menyampaikan kebenaran yang murni mengenai Yesus. Bukan kebenaran dalam arti positif saja, melainkan kebenaran ‘demi keselamatan kita’. Kalau demikian perbedaan-perbedaan yang kita temukan dalam keempat Injil, bukannya membuat kita bingung dengan pertanyaan ‘mana yang benar’, sebaliknya memperkaya kita dengan kesaksian akan pribadi Yesus yang mendalam dan kaya, serta mendorong kita untuk menggalinya lebih jauh lagi. Sebagai sekedar contoh dapat dibandingkan ayat terakhir penjelasan perumpamaan tentang penabur benih sebagaimana diceritakan oleh Markus, Matius, dan Lukas:
Mrk 4:20 Dan akhirnya yang ditaburkan di tanah yang baik, ialah orang yang mendengar dan menyambut firman itu lalu berbuah, ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat.
Mat 13:23 Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat.
Luk 8:15 Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan.
Ternyata kesimpulan akhir yang ditarik oleh ketiga penginjil berbeda: perbedaan yang memperkaya kita dan mengajak kita masuk lebih dalam ke dalam misteri pribadi Yesus Kristus dan pribadi kita. Anda dapat menyelidiki sendiri teks-teks yang lain. Selamat mencoba.

I. Suharyo Pr
Seminari Tinggi St. Paulus
1989

0 Comments:

Post a Comment

<< Home