Monday, July 10, 2000

mksn 1982 Firman Tuhan dalam Pertemuan Umat

FIRMAN TUHAN DALAM PERTEMUAN UMAT
Oleh: alm C. Groenen OFM

Pendahuluan

Tujuhbelas tahun yang lalu, pada tahun 1965, konsili Vatikan II menegaskan: "Pewartaan gerejani serta agama katolik mesti diberi makan oleh Kitab Suci dan dikuasai olehnya .... Demikian besar daya kekuatan firman Allah, sehingga bagi Gereja menjadi titik penyangga serta daya kehidupan, sedang bagi anak-anaknya menjadi intisari iman, makanan bagi jiwa dan sumber jernih bagi hidup rohani mereka" (Konstitusi Dei Verbum no 21). Boleh dipertanyakan, apakah penegasan tersebut sesudah tujuhbelas tahun, menjadi kenyataan di antara umat Katolik di Indonesia? Syukurlah kalau demikian. Namun agaknya masih berguna untuk mencoba mengusahakan, agar firman Allah semakin berperan dalam seluruh kehidupan kita, semakin mempengaruhi dan mengarahkannya.
Kali ini hendak dikemukakan:
+ peranan Alkitab dalam kehidupan jemaat atau umat setempat.
+ bagaimana firman Allah itu dapat membantu jemaat untuk secara kristiani mengatur dan menyemangati hubungannya dengan lingkungan sekitar, dengan masyarakat yang kerap kali berlainan aspirasi dan keyakinan agamanya.

1. Umat di Perantauan

Jika kita layangkan pandangan pada umat katolik dewasa ini, khususnya di wilayah Indonesia, maka kita sadari bahwa situasi dan kondisi umat itu sangat mirip dengan keadaan umat kristiani pada abad-abad pertama, umat yang menghasilkan sebagian dari Kitab Suci, yaitu Perjanjian Baru. Dengan istilah mahal situasi dan kondisi itu boleh diringkas sebagai "diaspora ".
Umat Kristiani berkelompok-kelompok kecil terserak-serak dalam masa umat manusia, bangsa Indonesia, yang tidak dengan jelas mengakui Tuhan Yesus Kristus beserta Bapa-Nya sebagai satu-satunya Juruselamat umat manusia. Kebanyakan orang menaruh pengharapannya pada sesuatu atau seseorang yang lain.
Sensus penduduk Indonesia terakhir kembali menyingkapkan, bahwa umat Kristen, Protestan bersama Katolik, suatu minoritas kecil. Mereka yang berjumlah 10 juta tidak berarti banyak di tengah jumlah 147 juta. Apalagi umat Katolik hanya berjumlah sekitar 3 juta. Meskipun di salah satu daerah umat Katolik merupakan mayoritas penduduk, namun mereka berupa kelompok-kelompok yang relatip kecil dan tersebar di dalam masyarakat, agak jauh satu sama lain, terpencar-pencar di daerah pedalaman.
Masyarakat di sekitar jemaat-jemaat Katolik (dan Protestan) bermacam-macam sikapnya. Sebagian besar bersikap acuh tak acuh, tidak peduli, dan bergaul dengan orang-orang Katolik seperti dengan orang-orang lain di sekitarnya. Sejumlah lain - dan di beberapa daerah Indonesia jumlahnya agak besar - bersikap agak simpati dengan orang-orang Katolik. Tetapi ada juga daerah-daerah di Indonesia, tempat sejumlah besar masyarakat merasa curiga dan malah bermusuhan dengan umat Katolik kecil yang hidup di tengah-tengah mereka.
Maka muncul pertanyaan dan masalah ini: bagaimana jemaat-jemaat Katolik yang terpencar-pencar dalam masyarakat Indonesia dapat tetap beriman, menghayati imannya, memberi wujud nyata kepadanya dan menjalin hubungan dengan masyarakat sekitarnya, dengan lingkungan sosialnya? Sebab di sana mereka hidup dan mengadu nasib. Nah, justru bagi jemaat-jemaat di 'perantauan' itulah Kitab Suci dapat menjadi semacam pegangan, sumber inspirasi dan pola kehidupan. Sebab keadaan umat Kristiani semula, sebagaimana kita jumpai dalam Perjanjian Baru, tidak banyak berbeda dengan keadaan umat Kristiani dewasa ini di Indonesia. Mereka juga tersebar dalam wilayah kerajaan Roma dan berkelompok-kelompok kecil menggumuli penghayatan imannya yang masih baru.
Tidak tanpa makna surat pertama Petrus dialamatkan kepada "orang-orang pendatang" yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia dan Bitinia (1Petrus 1:1). Kalau nama-nama tersebut diganti dengan: Jawa, Sumatra, Kalimantan, dsb, maka surat itu seolah-olah dialamatkan kepada "orang-orang pendatang" Kristiani di Indonesia. Demikian juga Yakobus menyampaikan salamnya kepada "ke-12 suku (umat Allah) di perantauan" (Yakobus 1:1).
Boleh ditambahkan bahwa di zaman Perjanjian Lamapun umat Allah sebagian besar tinggal di perantauan, di luar negerinya sendiri, di tengah-tengah masyarakat luas yang bermacam-macam sikapnya terhadap mereka. Beberapa karangan Perjanjian Lama berasal dari umat Allah di perantauan itu atau ditulis bagi mereka, misalnya: kitab Daniel, Tobit, Ester, Kebijaksanaan Salomo, Barukh, Surat Yeremia. Kitab Ezra-Nehemiapun ditulis bagi umat yang di negerinya sendiri seolah-olah merantau di tengah masyarakat dan negara asing.
Bahkan seluruh Perjanjian Lama disusun waktu sebagian umat Allah tinggal terserak-serak dalam masyarakat luas berbeda iman kepercayaannya. Kitab Suci diterjemahkan bagi mereka sebagai sumber kebijaksanaan dan pengajaran guna mengatur kehidupannya sesuai dengan iman sejati. Begitupun ditegaskan oleh cucu bin Sirakh yang menterjemahkan karya neneknya, supaya semua orang di perantauan mendapat pengajaran, membetulkan tingkah lakunya, hidup sesuai dengan Taurat (bdk. Sirakh, pendahuluan dari penterjemah).


2. Dibina oleh Kitab Suci.

Mengingat kesamaan situasi umat di Indonesia dengan situasi umat Kristiani semula, maka justru umat itulah yang dapat menjadi contoh jitu untuk belajar menghayati dan mewujudkan iman sejati di perantauan. Umat itu lebih cocok daripada umat Katolik sebagaimana kemudian misalnya berkembang di Eropa. Adapun umat Allah yang menjadi con-toh itu kita kenal hanya lewat Kitab Suci. Di situ kita dapat membaca bagaimana umat itu menggumuli berbagai masalah, mencari jalannya dan membina dirinya sebagai umat Allah dan jemaat Yesus Kristus.
Ternyata bahwa sarana pembinaan iman jemaat-jemaat yang terpencar-pencar dalam dunia Yunani-Romawi itu terutama ialah Kitab Suci. Kitab Suci bagi umat Kristiani-semula ialah Perjanjian Lama, sebagai-mana dipakai umat Allah yang lama di perantauan. Karangan-karangan Perjanjian Baru mengutip atau memakai Perjanjian Lama tidak kurang dari sekitar 1.600 kali. Memang mengherankan, bahwa Perjanjian Baru begitu sering memakai Perjanjian Lama untuk mendukung dan meneguhkan pewartaan Injil dan iman kepada Yesus Kristus. Bahkan menurut Lukas 4:16-22 Yesus sendiri melandaskan InjilNya tentang Kerajaan Allah pada Perjanjian Lama. Begitu pula pewarta-pewarta Injil setelah Yesus pergi berpangkal pada Alkitab Perjanjian Lama. Boleh dilihat misalnya pewartaan pertama pada hari Pentakosta (Kisah 2:14-40). Santo Pauluspun biasanya berpangkal pada Alkitab itu waktu memberitakan Tuhan Yesus ke mana-mana (Kisah 17:2-4;17:11;28:23-29). Penginjil Filipus mewartakan Yesus berdasarkan Alkitab (Kisah 8:29-35).
Baiklah diingat bahwa umat Kristiani-semula baru saja masuk Kristiani. Banyak di antaranya bukan keturunan Yahudi yang sudah biasa dengan Kitab Suci. Kebanyakan mereka itu orang-orang biasa, sederhana, tidak mendapat pendidikan tinggi. Namun demikian semua karangan Perjanjian Baru mengandaikan saja bahwa mereka semua baik-baik mengenal Kitab Suci Perjanjian Lama. Misalnya: di kota pelabuhan Korintus terdapat suatu jemaat Kristiani kecil dari kalangan rendahan. Namun Paulus dalam surat-suratnya mengandaikan mereka semua sudah biasa dengan Alkitab dan secara mendalam berkat Roh Kudus memahami isinya, yang mendukung dan membina iman kepercayaannya (lih. 2 Korintus 3:12-18). Sebab semua tertulis untuk menjadi peringatan bagi jemaat beriman yang hidup pada waktu di mana zaman akhir hampir tiba (1 Korintus 10:11). Bagi semua jemaat Kitab Suci menjadi pelajaran supaya mereka teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci, begitulah tulis Paulus kepada jemaat di Roma (Roma 15:4).
Kalau ditanyakan: bagaimana jemaat-jemaat kecil dan sederhana sampai benar-benar mengenal Alkitab dan bagian-bagiannya, maka jawabannya: Waktu mereka berkumpul. Alkitab sering dibacakan dan dengan baik dibacakan bagi mereka oleh pemimpin atau pemuka jemaat.
Waktu itu belum ada banyak buku tersedia. Dan bila ada terlalu tebal, harganya sangat mahal. Banyak juga yang tidak dapat membaca. Tetapi Alkitab sering dibacakan bagi mereka semua, disertai keterangan yang perlu. Membacakan Alkitab memang salah satu tugas utama bagi para pemuka jemaat.
Salah satu contoh bagus: Timotius. Ia mengurus suatu jemaat di kota Efesus, sebuah kota besar dan pusat pemujaan dewi Artemis. Timotius mendapat nasehat begini dari Paulus: "Beritakanlah dan ajarkanlah semuanya itu. Jangan seorang pun menganggap engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang yang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu. Sementara itu ... bertekunlah dalam membacakan kitab-kitab suci, dalam membangun dan mengajar" (1 Timotius 4:11-13). Timotius sendiri memang baik-baik mengenal Alkitab (1 Timotius 3:15-17). Dalam menunaikan tugasnya sebagai ketua jemaat di Efesus yang masih muda, ia mendasarkan pimpinannya pada Alkitab, sehingga seluruh jemaat mendapat manfaat dari kemahirannya.
Dari Alkitab itulah jemaat mengambil inspirasinya, oleh karena di sana tercantum firman Allah sendiri. Seluruh jemaat diajak dan didorong untuk memperhatikan firman, yang telah disampaikan para nabi (dan tercantum dalam Kitab Suci). Mereka diajak memperhatikannya, sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat gelap, sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar dalam hati mereka. Yang terutama harus mereka ingat, bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh mereka tafsirkan menurut kehendak sendiri; sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah (2Ptr 1:19-21).

3. Swasembada berkat Kitab Suci

a. Umat Kristiani-semula

Jemaat-jemaat Kristiani yang terpencar-pencar dalam dunia Yunani-Romawi membina dirinya dengan Alkitab. Jemaat-jemaat itu swasembada dan swadaya, mampu mengurus dirinya. Para pemberita Injil seperti rasul-rasul, tidak menetap, melainkan berkeliling ke mana-mana. Mereka menabur benih Injil yang berisikan pokok-pokok utama dari peristiwa Yesus. Kemudian jemaat-jemaat itu sendiri dengan pemuka dan pemimpinnya menumbuhkan dan mematangkan benih Injil itu.
Kadang-kadang mereka masih dikunjungi penginjil atau rasul dan barangkali disurati kalau perlu dan ada soal penting. Tetapi umumnya mereka mengurus dirinya sendiri. Tidak ada "katekismus" atau buku-buku pelajaran agama. Dan itupun tidak dirasa perlu. Sebab bersama dengan pemberitaan Injil mereka mendapat Kitab Suci. Firman Allah itu mencukupi. Setelah mendengar dan menerima Injil mereka menyelidiki Kitab Suci, tidak hanya keturunan Yahudi, tetapi juga yang berbangsa lain (bdk. Kisah 17:11-12). Dalam Alkitab mereka menemukan segala yang perlu untuk mewujudkan imannya yang baru dalam situasi yang nyata.
Dalam Kitab Suci jemaat-jemaat itu menemukan contoh-contoh yang serasi untuk menggumuli masalah-masalah yang mereka hadapi, dalam mencari tempatnya sebagai orang beriman dalam masyarakat luas. Menarik perhatian betapa sering dalam Perjanjian Baru dikemukakan tokoh-tokoh Perjanjian Lama sebagai teladan dan pola hidup orang Kristiani yang menghadapi macam-macam masalah yang antara lain ditimbulkan oleh lingkungan tempat mereka hidup
Beberapa contoh:

  • Surat kepada orang Ibrani bab II menyajikan daftar lengkap tokoh-tokoh dari sejarah penyelamatan, mulai dari Abel sampai dengan para pahlawan dari jaman Makabe.
  • Dalam 1 Petrus (3:1-7) Sara, isteri Abraham, menjadi contoh bagi isteri Kristiani yang suaminya barangkali belum/tidak percaya.
  • Nuh beserta bahteranya melambangkan hidup orang Kristiani di tengah masyarakat yang bermusuhan (1 Petrus 3:13-22), Kitab Suci menjadi pegangan bagi kelakuan jemaat yang dicaci maki (1 Petrus 3:8-12). Tentu saja Yesus menjadi teladan utama, tetapi Yesus digambarkan dengan pertolongan Kitab Suci (1Petrus 2:18-25).
  • Surat Petrus yang kedua menampilkan Lot (2 Petrus 2:7) dan Yakobus menyodorkan tokoh-tokoh Kitab Suci sebagai teladan dan pegangan bagi orang beriman: para nabi (Yakobus 5:10), Ayub (Yakobus 5:12), nabi Elia (Yakobus 5:16-17) dan khususnya Abraham (Yakobus 2:21-22).
  • Pengalaman buruk umat dahulu dipakai sebagai peringatan bagi jemaat-jemaat Kristiani supaya jangan diikuti. Lihat saja Ibrani 3:7-19; 1 Korintus 10:1-10; 2 Petrus 2:1-6; Yudas 11.


b. Umat Kristiani-kini
Kalau situasi jemaat-jemaat Katolik Indonesia cukup serupa dengan situasi jemaat yang tampil dalam Perjanjian Baru, alangkah baiknya jemaat-jemaat itu secara swasembada membina iman serta peng-hayatannya dengan sarana ampuh yang sama, yaitu Kitab Suci.
Seperti dulu tidak ada rasul atau penginjil yang menetap pada kelompok-kelompok untuk mengurus mereka, demikianpun sekarang tidak ada pejabat-pejabat Gereja seperti uskup atau imam yang dapat mengurus semua jemaat-jemaat yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Jemaat-jemaat itu boleh dan harus mampu mengurus dirinya sendiri. Sarana yang ampuh tiada taranya yang tersedia ialah Alkitab.
Berbeda dengan jemaat-jemaat dahulu, jemaat-jemaat sekarang dapat memanfaatkan Perjanjian Baru di samping Perjanjian Lama. Dan itu sangat bermanfaat. Sebab dalam Perjanjian Baru ditemukan jemaat-jemaat Kristiani-semula yang bergumul untuk menghayati imannya dalam situasi yang nyata.
Tetapi Perjanjian Lama tetap sangat bernilai dan berharga bagi jemaat-jemaat sekarang. Sebab Perjanjian Baru tidak mau mengganti Perjanjian Lama, melainkan hanya meneruskannya dan di beberapa segi melengkapinya. Bahkan boleh dikatakan: Perjanjian Lama jauh lebih dekat dengan kehidupan nyata di dunia dini dan dalam masyarakat manusia daripada Perjanjian Baru, yang kadang-kadang agak mengawang. Kalau kita mencari Kitab Suci sebagai semacam pegangan bagi macam-macam soal kongkrit dan nyata, maka sebaiknya membuka Perjanjian Lama.
Alangkah baiknya kalau para pemuka jemaat, ketua kring/ lingkungan/wilayah, pemimpin stasi dan lain-lainnya: tidak hanya sering membaca seluruh Alkitab, tetapi juga kerap membacakannya bagi jemaatnya yang barangkali kurang mahir membaca atau dalam memakai bahasa Indonesia.
Alangkah baiknya kalau pemimpin mempunyai bakat untuk mementaskan isi Kitab Suci bagi umatnya, khususnya anak-anak, atau mencari orang lain (guru) untuk mementaskannya dengan macam-macam cara.
Janganlah berkata: Saya tidak belajar, saya tidak mampu. Kitab Suci terlalu sulit dll.nya. Apa yang perlu untuk memahami Alkitab dan menghidupkannya bagi jemaat bukanlah "ilmu" yang diperoleh di sekolah, melainkan Roh Kudus yang dikaruniakan Tuhan Yesus. Dalam Injil (Matius 23:34) terbaca bahwa Yesus mengutus, menampilkan nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Kitab. Ahli-ahli Kitab itu bukanlah orang yang belajar di sekolah, tetapi yang dikaruniakan oleh Yesus yang serentak memberi kemampuan menyerap firman Allah dan menerangkannya bagi orang-orang lain. Menurut keterangan Yesus tersebut tugas untuk menyemangati jemaat dengan Alkitab tidak tanpa bahaya baginya. Sebab firman Allah yang dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari serentak menjadi kecaman atas keburukan manusia yang mewarnai masyarakat. Di Amerika Selatan akhir-akhir ini terjadi bahwa kelompok-kelompok umat Katolik yang membaca Kitab Suci untuk mendapat dorongan dan inspirasi bagi imannya diganggu Polisi. Polisi menyita Alkitab dan menangkap pemuka jemaat yang dengan firman Allah membina jemaatnya. Firman itu dirasakan sebagai ancaman bagi masyarakat yang tidak sesuai dengannya. Dan begitu sudah terjadi di zaman Perjanjian Lama. Alat-alat negara menyita, menyobek dan membakar Kitab Suci dan para pemakainya dihukum mati (1 Makabe 1:56-57).
Alangkah baiknya kalau pemuka jemaat mencari dan membacakan bagi jemaatnya bagian-bagian Alkitab yang justru menerangi keadaan nyata jemaat, mampu memberi semangat dan dorongan untuk mengulurkan tangan guna menyerap iman sejati dalam hidup sehari-hari dan masyarakat umum sekitar jemaat. Keadaan dan situasi sekitarnya barangkali tidak sesuai dengan iman yang dibina oleh firman Allah. Mereka semua, entah petani, pedagang, buruh, nelayan, pegawai atau tentara dapat berbuat seperti jemaat yang diajak Petrus: " Milikilah cara hidup yang baik ditengah-tengah bangsa yang tidak percaya, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanMu" (1Petrus 2:12).
Nasehat itu diteruskan: "Sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan bahagia. Sebab janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan jangan gentar. Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan. Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggunganjawab kepada setiap orang yang meminta pertanggunganjawab dari kamu, tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka" (1Petrus 3:14-16).

4. Melibatkan diri dalam masyarakat.

Meskipun jemaat-jemaat yang percaya kepada Yesus dan terpencar-pencar dalam masyarakat luas mempunyai cirinya sendiri, namun mereka tidak terasing dari lingkungannya. Sebaliknya berdasarkan iman yang dipupuk oleh Firman Allah mereka rela melibatkan diri untuk turut membangun seluruh masyarakat supaya semakin sesuai dengan rencana Allah, sebagaimana terungkap dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama diperkenalkan macam-macam tokoh yang sepenuhnya terlibat dalam masyarakat. Dan mereka ini tetap setia pada Allah serta tetap percaya kepada-Nya. Memang sebagian besar Perjanjian Lama banyak bicara tentang masyarakat manusia dengan segi baik dan buruknya. Ada juga tokoh-tokoh yang tampil dalam perantauan dan di sana melibatkan diri dalam masyarakat sekitarnya yang tidak percaya.
Misal: Daniel serta teman-temannya digambarkan sebagai pegawai tinggi dalam kerajaan asing (Daniel 3:30; 2:48; 6:29). Begitu pula Tobit dilukiskan sebagai pejabat negara asing (Tobit 1:13-14). Mordekhai menjadi pegawai istana raja Ahasyweros (Ester 2:19.22-23;8:2) dan anak angkatnya, yaitu Ester, menjadi permaisuri (Ester 2:6). Tokoh pembangun masyarakat Yahudi sesudah pembuangan, yakni Nehemia, dahulu pejabat istana raja Persia dan kemudian diangkat menjadi kuasa raja Persia di daerah Yudea. Ia seorang negarawan yang sungguh cakap. Nah, tokoh-tokoh macam itulah yang tetap menjadi teladan orang beriman yang seharusnya melibatkan diri sepenuh-penuhnya pada segala tingkat masyarakat. Sebab di sanalah mereka mesti memberi wujud nyata di dunia ini kepada imannya demi kesejahteraan sesama manusia, lingkungannya.
Dalam Perjanjian Barupun tampil tokoh-tokoh yang sebagian Kristiani sepenuh-penuhnya terlibat dalam hidup masyarakat umum. Ada sepucuk surat yang dialamatkan Santo Paulus kepada seorang Kristiani yang bernama Filemon. Filemon itu ternyata seorang hartawan yang memiliki budak-budak seperti lazim di masa itu. Rupanya ia seorang usahawan (Filemon 1:17-19). Sepasang suami isteri, yakni Akwila dan Priskila (Priska) adalah usahawan yang besar peranannya pada jemaat-jemaat Kristiani (Kisah 18:2-3.26; 1Korintus 16:19; Roma 16:34). Ada bendahara negeri bernama Erastus (Roma 16:23) dan usahawati Lidia (Kisah 16:14) serta sejumlah pegawai negeri, entah apa kedudukannya (Filipi 4:22). Meskipun menjadi kristiani waktu itu ada kesulitannya, namun mereka tidak mengasingkan diri dari masyarakat, tetapi mewujudkan imannya justru di tempat mereka hidup. Paulus malah mencegah orang-orang beriman dari mengundurkan diri (1Korintus 7:17-24). Yakobus membakar semangat buruh petani yang diperas oleh tuan-tuan tanah (Yakobus 5:1-6) dan dengan tegas menasehati kaum pedagang pada jemaat (Yakobus 4:13-17). Di antara jemaat ada orang kaya dan miskin dan jemaat ditegur karena mengutamakan yang kaya (Yakobus 2:1-4). Jelaslah di antara jemaat ada ma-cam-macam orang yang tetap terlibat dalam hidup masyarakat sekitarnya, Meskipun mereka orang Kristiani yang secara teratur berkumpul dalam rumah masing-masing (Kisah 2:46; 1 Korintus 16:19; Roma 16:5; Kolose 4:15; Filemon 2) namun mereka mewujudkan imannya di tempat masing-masing dalam masyarakat. Mereka berbuat baik kepada semua orang, walaupun terutama kepada kawan-kawan seiman (Galatia6:10).

5. Sumber semangat sejati & pola dasar hidup

Sebagai sumber inspirasi dan pola dasar untuk mewujudkan imannya di tempat tinggalnya, bagi umat Katolik yang tersebar dalam masyarakat Indonesia tersedialah firman Allah yang tertulis. Tentu saja di sana tidak terdapat resep tinggal pakai untuk memecahkan segala masalah kongkrit yang timbul dalam situasi nyata. Jemaat-jemaat secara bertanggungjawab mesti mencari sendiri bagaimana menghayati dan mewujudkan imannya dengan cara yang sesuai dengan lingkungannya. Alkitab memang bukan suatu kamus resep siap pakai. Namun justru Alkitablah yang membina semangat dan memberi keberanian untuk langsung menghadapi masalah-masalah hidup sehari-hari di segala bidang. Kitab Suci tentu saja bukan hanya semacam kita ibadat, melainkan buku kehidupan. Buku itu menyajikan suatu pola dasar bagaimana caranya orang beriman menggumuli masalah-masalah yang nyata terdapat.
Waktu umat Israel kembali dari pembuangan, mereka hanya berjumlah sedikit dalam masyarakat dan negara asing. Soalnya bagaimana membangun dirinya dalam keadaan yang serba baru itu? Lalu mereka berkumpul untuk mendengarkan firman Tuhan dibacakan dan dijelaskan serta diterapkan bagi mereka, supaya ada pegangan bagi tindakan-tindakan nyata (Nehemia 8). Waktu umat Allah terlibat dalam perjuangan sengit guna mempertahankan identitasnya, mereka menimba semangat dari contoh-contoh yang disediakan Kitab Suci (1 Makabe 4:9; 2 Makabe 8:19; 15:8-9.22). Dalam keadaan terhimpit umat mendapat penghiburannya dari Kitab Suci (1 Makabe 12:9). Kalau orang yang tidak percaya mencari petunjuk-petunjuk dari dewa-dewinya, dari dukun dan tukang sihir, maka umat Allah mencari petunjuk-petunjuknya dari Alkitab, yang memuat firman Allah bagi mereka (1 Makabe 3:48). Pejabat negara tertinggi, yaitu raja, diajak untuk membalik-balik Kitab Suci supaya pemerintahannya baik dan tepat (Ulangan 17:18-19). Jelaslah firman Allah yang tertulis tidak hanya merepotkan diri dengan soal-soal "agama", tetapi juga, bahkan terutama, dengan masalah kehidupan nyata di dunia ini.
Kalau menurut kepercayaan Kristiani sagala hikmat dan pengetahuan ilahi tersembunyi dalam Kristus (Kolose 3:2), maka hikmat dan pengetahuan tersembunyi itu tersingkap dalam Alkitab, sebagaimana ditegaskan Sirakh 24:23 dan Barukh 4:1. Sebab di dalamnya tercantum pengalaman umat beriman sepanjang sekian abad dan dalam bermacam situasi dan kondisi. Maka bagi umat sekarang tersedia suatu perbendaharaan yang tiada habis-habis hartanya. Seluruh umat sampai dengan jemaat kecil dan terpencil di pedalaman Indonesia, dapat dan mesti berlaku sebagai "ahli kitab yang terpelajar dalam hal Kerajaan surga" (bdk Matius 18:18), yang dengan leluasa dapat mengeluarkan dari perbendaharaan itu harta yang baru dan yang lama (bdk Matius 23:52).

6. Membina Pemuka Jemaat.

Meskipun jemaat-jemaat Katolik tersebar dalam masyarakat luas dan masing-masing mewujudkan imannya dalam lingkungannya sendiri, namun mereka membentuk suatu persekutuan di mana berlangsunglah tukar-menukar terus-menerus, Menurut istilah 1Petrus 5:9 mereka membentuk suatu persaudaraan, di mana terwujud cinta-kasih sebagaimana dianjurkan surat Yohanes yang pertama (1Yohanes 2:7-11;3:11-18; 4:11-12.20-22). Jemaat-jemaat di zaman Perjanjian Baru mempunyai "penatua", pemuka dan ketuanya sendiri-sendiri, sedangkan persekutu-an satu sama lain dilayani dan dipupuk oleh rasul-rasul dan penginjil-penginjil yang menanam bibit hidup Kristiani. Dewasa ini pun di Indonesia persekutuan dan persaudaraan antara jemaat-jemaat yang terpencar-pencar sebaik-baiknya dipupuk dan dilayani oleh pejabat-pejabat Gereja yang disebut uskup dan iman.
Alangkah baiknya kalau pejabat-pejabat Gereja itu membina kelompok-kelompok kecil sedemikian rupa sehingga untuk keperluan-keperluan setempat dapat swasembada sebagai jemaat orang-orang beriman di tengah-tengah masyarakat setempat dan dalam kaitan dengan masyarakat itu. Dan kalau Kitab Suci benar-benar menjadi "intisari iman, makanan bagi jiwa dan sumber jernih serta tetap bagi hidup rohani" (DV 21) jemaat-jemaat itu dan sarana ampuh untuk membina dan mewujudkan iman, maka pejabat-pejabat itu bertugas membina pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok itu sedemikian rupa, sehingga dengan baik dan tepat dapat memakai, menghidupkan dan menerapkan firman Allah yang tertulis. Untuk membina jemaat tidak perlu banyak buku atau suatu perpustakaan lengkap yang sulit dan tidak dapat dibayar dan dipakai umat sederhana. Cukuplah satu buku saja yaitu Alkitab yang dengan percuma disediakan oleh pemerintah Indonesia. Hanya perlu pemimpin setempat dibantu sebentar untuk memakai kitab yang satu dan murah itu. Dengan demikian firman Allah terus diwartakan sesuai dengan keadaan lingkungan masing-masing jemaat dan iman yang sehat terus dibina. Dan apa yang paling penting bagi kehidupan jemaat serta imannya justru pewartaan terus-menerus dan kena itu. Kalau selama beberapa waktu tidak ada pewartaan, maka iman jemaat pasti mati. Kalau beberapa lamanya misalnya tidak ada Misa, iman tetap dapat hidup dan meresap di dalam hidup sehari-hari demi pembinaan seluruh lingkungan. Dan dengan Alkitab yang memuat firman Allah dan dibantu oleh Roh Kudus yang menyingkapkan artinya, juga "umat biasa" dan sederhana dapat mewartakan sabda dan memupuk iman jemaat yang memberinya wujud sesuai dengan lingkungan tempat mereka mengadu nasib. Maka tugas utama para pejabat Gereja di Indonesia, uskup dan iman, ialah menjamin bahwa Alkitab, firman Allah yang tertulis, berperan pada jemaat-jemaat umat beriman.