Saturday, February 04, 2006

Memahami MANUSIA

BAB VI
MANUSIA BARU YANG MENUJU KEPENUHANNYA

1. Kitab Suci banyak berbicara tentang manusia; malah boleh dikatakan bahwa manusia merupakan pokok pembicaraan dalam Kitab Suci, sehingga Allahpun dibicarakan selalu dalam hubungan dengan manusia. Kita sekarang mengenal berbagai macam ilmu yang berbicara tentang manusia, seperti: Biologi, Psikologi, Anatomi, Antropologi, Sosiologi. Ilmu-ilmu itu mencoba menerangkan kenyataan hidup manusia dari salah satu seginya. Dengan penyelidikan-penyelidikan ilmiah, ilmu-ilmu itu mencoba menerangkan manusia yang hidup, yang dapat dilihat, yang dapat dibuktikan. Berbeda dengan ilmu-ilmu di atas, Kitab Suci berbicara tentang manusia seadanya dalam rangka keyakinan akan adanya Allah yang mengasihi manusia, mewahyukan Diri kepadanya dan campur tangan dalam kehidupannya. Segi-segi kehidupan manusia yang ditemukan para penulis Kitab Suci diterangkan dengan selalu mengaitkannya dengan Allah. Dan semua ini dimaksudkan supaya dalam diri pendengar/pembacanya tumbuh keyakinan, kepercayaan yang sama dengan para penulisnya.

2. Pandangan Kitab Suci tentang manusia bertolak dari keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Dibandingkan dengan makhluk ciptaan yang lain diyakini bahwa manusia diciptakan secara istimewa. Khusus dalam penciptaan manusia, tiga kali muncul kata menciptakan (Kej 1:27). Dan kata itu dipakai untuk menunjukkan tindakan Allah yang khas. Dan kalau mengenai ciptaan-ciptaan yang lain dikatakan ‘baiklah itu’, setelah menciptakan manusia dikatakan ‘amat baiklah itu’ (Kej 1:31). Keistimewaan manusia sebagai makhluk ciptaan tidak hanya tergambar pada kemampuan daya pikirnya (Keb 13:1; Rom 1:19-20), namun lebih jauh ada pada kuasa yang dianugerahkan Allah kepadanya untuk menjadi penguasa atas segala makhluk yang lain (Kej 1:29), yang sekaligus menunjukkan keluhuran manusia yang mengatasi segala makhluk yang lain (Mzm 8); bahkan manusia dikehendaki untuk menjadi anak Allah. Istilah ‘anak Allah’ ini kiasan saja. Maksudnya adalah bahwa manusia boleh masuk hubungan mesra dan akrab dengan Allah. Panggilan menjadi ‘anak Allah’ ini diungkapkan dalam kisah taman Firdaus (Kej 2:8-25), yang sekaligus mengungkapkan keharusan manusia untuk tetap taat dan mengabdi kepada Allah (Kej 2:16-17). Sebab demikianlah seharusnya manusia menyadari dan menghayati dirinya sebagai makhluk di hadapan penciptaNya. Manusia tidak dapat mengangkat dirinya sendiri sebagai tuan atas dirinya sendiri; dia tetap makhluk ciptaan Allah.
Teladan ketaatan itu tergambar dalam kisah tentang Abraham (Kej 12:1-25:11); khususnya dalam kisah panggilan Abraham (Kej 12:1-9) dan kisah Abraham yang hendak mempersembahkan Iskak, anak tunggalnya, sebagai kurban yang dikehendaki Allah (Kej 22:1-19). Ketaatan yang mutlak, penyerahan diri sepenuhnya, mempercayakan diri kepada Allah menjadi warna pokok kisah ini. Inilah iman yang sejati, yang membuat Abraham pantas disebut nenek moyang dan teladan kaum beriman. Ketaatan iman yang mendalam juga terungkap dalam kisah-kisah tokoh-tokoh besar Perjanjian Lama kendati seringkali tidak sesempurna yang dilaksanakan oleh Abraham; seperti misalnya Misa (Kel 2:10 dan seterusnya; Yos 1:1-24:5), Samuel (1Sam 6:1-13), Yesaya (misalnya Yes 6:1-13). Bukan hanya tokoh-tokoh besar, umat Allah pada umumnyapun dituntut untuk memilikinya. Ini tergambar dalam perjanjian yang diadakan antara Allah dengan umatNya (Kel 19:1-25) yang dalam pembaharuannya di Sikem (Yos 24:1-28) diperluas obyeknya: tidak lagi hanya antara Allah dengan umat terpilih, melainkan antara Allah dengan seluruh umat manusia.

3. Manusia yang diyakini sebagai makhluk ciptaan yang istimewa, ternyata tidak hanya memperlihatkan kebaikan, keluhuran dan kemuliaannya. Manusia juga mengalami kefanaan, kerapuhan, keterbatasan, kelemahan dalam hidupnya. Kefanaan itu paling nyata dialami dalam keharusan untuk mati. Lebih-lebih lagi umat Perjanjian Lama yang pada umumnya masih melihat kematian sebagai selesainya hidup manusia, sebagai kemusnahannya: lenyap samasekali. Samasekali tak ada gambaran tentang apa yang akan terjadi sesudah kematian (Pengk 3:18-21; 12:1-7; Ayub 13:38-14:22). Kefanaan itu juga dialami dalam kelakuan susilanya yang seringkali amat mengecewakan, buruk, jahat (Yes 5:1-2). Permenungan tentang sisi gelap kehidupan manusia antara lain tergambar dalam kisah penciptaan yang menggambarkan bahwa manusia diciptakan dari debu tanah (Kej 2:7). Namun tidak tepatlah kalau lalu disimpulkan bahwa Allah menciptakan kelemahan manusia, sebab justru kisah ini mau merefleksikan keadaan manusia yang malang. Kitab Suci tetap berkeyakinan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan baik. Namun kerapuhannya membuat manusia menyalahgunakan kebebasan yang diterimanya sebagai anugerah Allah. bukannya menerima harkat sebagai ‘anak Allah’, manusia malahan menentang dan menjauhi Allah. Bukannya taat dan takluk kepada penciptanya, manusia malahan menentang Allah. Kisah Adam dan Hawa yang makan buah terlarang lebih-lebih mau menunjukkan bagaimana manusia menentang Allah dengan menentang perintah-Nya (Kej 2:17). Kecenderungan untuk menentang, melawan Allah ini tidak hanya berlaku bagi Adam dan Hawa, melainkan juga ada pada setiap manusia.
Dalam keadaan melawan Allah manusia mengalami hukuman atas dosa. Hukuman ini dialami antara lain dalam sengsara dan kematiannya. Situasi dosa membuat manusia tidak dapat memahami arti dan tujuan hidupnya, tidak dapat memahami makna sengsara dan kematiannya. Akibatnya, sengsara dan kematian tidak menghantarnya kepada Allah, sumber kehidupannya, melainkan menjauhkannya. Inilah kematian yang menyedihkan dan menjadi hukuman atas dosa.
Meski dalam situasi dosa, manusia tidak lepas samasekali dari Allah. Manusia tetap makhluk ciptaan Allah yang wajib takluk dan taat kepadaNya. Maka, meskipun tidak dapat memahami hidupnya, manuisia tetap dengan rindu ingat akan firdaus yang kini tidak dialaminya lagi (Ayub 4:17; 14:4; 15:4; 25:4).

4. Kendati mengalami sisi gelap dan berada dalam kecenderungan berbuat dosa, manusia tidak ditinggalkan Allah yang mengasihinya dan tanpa henti berusaha mengangkatnya menjadi ‘anak’Nya. Harkat ‘anak Allah’ tetap ditawarkan kepada manusia.
Harkat ‘anak Allah itu kini dapat diperoleh dalam bentuk ‘kelahiran kembali dari Allah’. Istilah yang agak aneh ini menjadi terang artinya dalam kisah pertemuan antara Yesus dengan Nikodemus (Yoh 3:1-21). Dalam perikopa ini kelahiran kembali berarti hidup yang samasekali baru dan lain, yang dikerjakan oleh Allah sendiri. Gagasan tentang kelahiran baru ini sudah muncul dalam Perjanjian Lama yang diungkapkan sebagai salah satu janji Allah sendiri kepada umatNya (Yes 44:3; 59:21; Yeh 11:19; 36:26-27; Yoel 3:1-5). Kelahiran baru ini menjadi mungkin berkat wafat Yesus di kayu salib. Yesus menjalani sengsara dan kematian dalam ketaatan kepada Allah. Karena itulah wafatNya menjadi penebusan bagi umat manusia, dan Yesus menjadi tempat keselamatan. Seperti ketika umat Israel bersungut-sungut di padang gurun, lalu Allah mengirimkan ular-ular berbisa, umat Israel menyesal sehingga Allah menyuruh Musa membuat ular perunggu yang dipasang dan ditegakkan pada tiang, supaya siapapun yang memandangnya akan selamat, demikianlah sekarang orang akan selamat kalau memandang Dia yang disalib dengan penuh kepercayaan, akan memperoleh keselamatan. Artinya, hidup baru akan diterima oleh manusia yang percaya dan mempersatukan diri dengan Kristus.
Kenyataan ini dengan sederhana dan indah diungkapkan oleh Yohanes:
“Semua orang yang menerimaNya (= Kristus = Sabda)
diberiNya hak menjadi anak Allah
yaitu mereka yang percaya akan namaNya.
Mereka diperanakkan bukan dari darah,
dan bukan dari keinginan daging
dan bukan dari keinginan seorang laki-laki
melainkan dari Allah”. (Yoh 1:12-13).
Ditunjukkan pula bahwa hidup baru itu diperoleh dalam baptisan (Yoh 3:5; Tit 3:5).
Hidup baru itu sering juga digambarkan sebagai ‘ada dalam Kristus’ (1 Kor 6:12) dan ‘menjadi ciptaan baru’ (Gal 6:15; 2 Kor 5:17-18). Sebagai ciptaan baru, manusia harus berusaha supaya dapat tetap menaklukkan diri kepada Allah. Maka harus tetap waspada dan berjaga (Mat 7:13-14; Rom 6:12-14) dan dengan setia meninggalkan hidup yang lama (Ef 4:22-24; Kol 3:9-10). Maka hidup manusia baru ditandai dengan hidup serupa dengan Kristus, yaitu hidup yang mengasihi. Mengasihi berarti selalu memperhatikan kepentingan yang dikasihinya dan melayaninya (Mat 20:28; Mrk 10:45); Luk 22:27) yang dilaksanakan tanpa pamrih dengan keseluruhan dirinya (Rom 5:6-8) tanpa membedakan dari kelompok/suku bangsa apa saja (Luk 10:30-37).

5. Manusia yang hidup sebagai ciptaan baru dan bertahan dalam penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, mempersiapkan hidup kekal dalam kebahagiaan surgawi (Yoh 5:28-29). Maka hidup yang dialami sekarang menjadi persiapan bagi hidup kekal yang berbahagia (Rom 2:6-11.16; 2 Kor 5:10; Why 20:12). Ciri-ciri dan sifat hidup kekal itu sedikit banyak juga dilukiskan dalam Kitab Suci, namun semuanya hanyalah kiasan belaka, sebab memang masih samar-samar (1 Korintus 13:12). Namun, semuanya menuju perkembangan terakhir dan lengkap dari hidup baru yang telah dianugerahkan dalam Kristus. Manusia baru sedang dalam perjalanan masuk ke dalam kumpulan orang yang tak terbilang jumlahnya, yang dikumpulkan dari segala suku bangsa dan bahasa, dan berdiri di depan Anak Domba dengan berpakaian putih dan daun palma kememangan di tanganNya (Why 7:9).

Bahan Bacaan:
1. Lembaga Biblika Tjitjurug, Kuliah Tertulis mengenai adjaran Kitab Sutji, Bogor, 1967, hlm. 199-216.
2. Stefan Leks, Kejadian, Nusa Indah - Ende, 1977

Wates 1989
Rm. Willem

0 Comments:

Post a Comment

<< Home