Wednesday, February 08, 2006

PAHAM WAHYU dan IMAN

BAB I
ALLAH MENYAPA MANUSIA SEBAGAI SAHABAT

1. Salah satu soal dalam tes pengetahuan Kitab Suci di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta adalah sebagai berikut: Menurut pendapat Anda, manakah rumus yang paling tepat di antara rumus-rumus di bawah ini, dan berilah pula alasan-alasannya:
a. Kitab Suci adalah wahyu Allah
b. Kitab Suci adalah hasil bisikan Roh Kudus
c. Kitab Suci adalah ungkapan iman Israel dan Gereja Awal
d. Kitab Suci adalah sabda Allah dalam bahasa/sastra manusia.
Daftar rumusan ini masih dapat diperpanjang lagi misalnya dengan bertanya: menurut Anda Kitab Suci adalah .... Jawaban yang biasanya muncul atas pertanyaan semacam itu adalah: Kitab Suci adalah ajaran ilahi yang diberikan kepada manusia; petunjuk untuk membangun hidup etis; sumber penghiburan, pegangan dan pelita dalam kegelapan. Bahkan dengan maksud tertentu Kitab Suci tidak jarang disebut surat cinta Allah kepada manusia. Adanya berbagai macam rumusan tersebut mencerminkan adanya berbagai macam pemahaman mengenai Kitab Suci yang pernah ada dan sekarang masih tetap ada. Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa pada umumnya di lingkungan orang-orang Kristen yang tidak/belum mendapat pendidikan dasar Kitab Suci, pandangan yang paling umum ialah yang dirumuskan pada nomor a dan b. Pandangan semacam itu mempunyai akar yang sangat dalam. Pertama adalah akar kebudayaan-religius setempat. Pandangan bahwa Kitab Suci adalah “wahyu yang diturunkan” atau “pedoman hidup” mencerminkan pandangan saudara-saudara kita orang Islam mengenai Kitab Suci mereka. Yang kedua adalah sejarah Gereja sendiri. Lama sekali dalam sejarah Gereja, pembicaraan tentang Kitab Suci bernada negatif, berupa misalnya pembelaan terhadap keragu-raguan tentang kebenaran yang terkandung di dalamnya; pembelaan terhadap penyalahgunaan atau untuk membenarkan pendapat-pendapat teologis tertentu. Sikap semacam ini masih sangat kuat ketika Konsili Vatikan II mulai membicarakan rencana naskah yang akhirnya menjadi Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi pada tahun 1962. Yang sekarang kita kenal sebagai Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi (= Dei Verbum, disingkat DV) adalah hasil suatu pengolahan panjang dan berbelit-belit dari suatu naskah yang pada awalnya berjudul “Tentang Sumber-Sumber Wahyu”, yang masih mencerminkan pandangan lama mengenai Kitab Suci. (Lihat T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis Dei Verbum - Tentang Wahyu Ilahi, Yogyakarta 1969, halaman 21-33; C. Groenen-Stefan Leks, Percakapan Tentang Alkitab, Yogyakarta 1986, halaman 130-152). Kedua akar ini sangat besar pengaruhnya bagi pemahaman umat Kristen mengenai Kitab Suci, dan dengan sendirinya juga sangat mempengaruhi bahkan menentukan cara umat mengartikan atau menggali isi Kitab Suci. Selama pemahaman Kitab Suci masih bernada ‘negatif’, akan tetap sulit untuk sampai kepada keyakinan bahwa Kitab Suci adalah kabar gembira keselamatan Allah. Dalam rangka membangun sikap positif terhadap Kitab Suci ini, Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi pada bab pertama berbicara mengenai wahyu dan iman.

2. Kamus Besar Bahasa Indonesia yang terbaru (1988) mengartikan wahyu sebagai ‘petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan sebagainya’. Kata kerja mewahyukan diberi arti memberi wahyu, menurunkan wahyu. Dengan kata lain ada yang memberi (= Allah), ada yang diberi (= Nabi, Rasul) dan ada yang diberikan (= Wahyu). Yang memberi dan yang diberikan adalah dua hal yang berbeda. Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi memberikan keterangan yang sangat berbeda. Pada artikel dua dikatakan: “Dalam kebaikan dan kebijaksanaanNya Allah berkenan mewahyukan DiriNya dan menyatakan rahasia kehendakNya .... Maka dengan wahyu ini Allah yang tak kelihatan karena cinta kasihNya yang melimpah ruah, menyapa manusia sebagai sahabat dan bergaul dengan mereka, guna mengundang dan menerima mereka ke dalam persekutuanNya. .... Melalui wahyu ini kebenaran yang paling mendalam, baik tentang Allah maupun tentang keselamatan manusia, menjadi jelas bagi kita di dalam Kristus yang sekaligus menjadi perantara dan kepenuhan seluruh wahyu”. Selanjutnya mengenai kepenuhan wahyu, yang adalah Kristus dikatakan: “Sesudah berulangkali dan dengan pelbagai cara Allah berbicara dengan perantaraan para nabi, akhirnya pada jaman sekarang, Ia berbicara kepada kita di dalam Putera .... supaya tinggal di antara manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang paling dalam ....” (artikel 4). Dari kedua kutipan di atas jelas bahwa wahyu adalah Allah sendiri yang menyapa manusia, yang berbicara dengan manusia, yang berhubungan secara pribadi dengan manusia. Wahyu bukan ajaran, bukan petunjuk, bukan pemberitahuan, melainkan Allah sendiri yang menyatakan rahasia penyelamatanNya. Dalam kedua kutipan tersebut hubungan pribadi yang berciri dialog sangat menonjol.
3. Kalau wahyu adalah Allah sendiri yang menyapa manusia, maka dari pihak manusia diharapkan tanggapan atas sapaan itu. Tanggapan ini disebut iman. Karena iman berhubungan langsung dengan wahyu, maka paham tentang iman pun tergantung pada paham tentang wahyu. Kalau wahyu adalah ‘kebenaran yang diturunkan’, maka iman adalah menerima kebenaran-kebenaran tersebut. Berdasarkan paham wahyu yang dikatakan dalam DV 2,4, Konsili mengatakan: “Kepada Allah yang mewahyukan diri, manusia harus menyatakan ketaatan iman. Dalam ketaatan iman tersebut manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah dengan kepenuhan akal budi dan kehendak yang penuh kepada Allah pewahyu ...” (DV 5). Maka sebagaimana dalam paham wahyu ditekankan ciri pribadi dan dialogal, demikian pula ciri itu tampak jelas dalam hal iman. Iman adalah sikap penyerahan diri manusia dalam pertemuan pribadi dengan Allah.

4. Paham mengenai wahyu dan iman yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II dengan sendirinya langsung berhubungan dengan paham tentang Kitab Suci. Allah menurut keyakinan Kristen, tidak menurunkan apa-apa langsung dari surga. Yesus pun tidak pernah menuliskan pesan-pesan atau ajaran-ajaranNya. Sekali Ia menulis di tanah! Para penulis Kitab Suci bukanlah orang-orang yang menerima wahyu. Mereka adalah orang beriman yang mengartikan peristiwa-peristiwa sejarah, khususnya peristiwa Yesus, sebagai sapaan Allah yang berkehendak menyelamatkan manusia. Arti atau kesaksian inilah yang akhirnya, setelah melalui liku-liku proses panjang, dituliskan. Maka salah satu rumusan yang ditawarkan berbunyi: Kitab Suci adalah kesaksian iman Israel dan Gereja Awal. Kitab Suci dapat juga disebut wahyu, dengan mengingat paham Kristen tentang wahyu. Wahyu bukan kitab, tetapi pribadi Allah sendiri yang menjadi nyata dalam diri Yesus.

5. Paham dasar mengenai wahyu, iman dan Kitab Suci ini sangat menentukan cara Kitab Suci, wahyu Allah dimengerti, dipahami serta diperankan dalam kehidupan. Kalau wahyu adalah Allah sendiri yang menyapa manusia, maka Kitab Suci juga harus ditempatkan dalam rangka relasi Allah dengan manusia. Maka membaca Kitab Suci tidak terutama bertujuan mencari informasi, melainkan membina relasi. Bahasa Kitab Suci bukanlah bahasa informasi, melainkan bahasa relasi. Kitab Suci adalah kabar gembira. Namun Kitab Suci tidak menggembirakan karena kita yang membaca atau mendengarnya memperoleh pengetahuan lebih banyak, melainkan karena ada relasi baru yang terbangun oleh sabda - tentu saja tanpa mengecualikan pengertian. Suatu contoh sederhana mungkin dapat menjelaskan maksud uraian ini. Seorang anak berkata kepada ibunya: “Ibu, saya haus”. Yang dikatakan oleh anak itu dapat ditangkap sebagai informasi tetapi juga dapat dipahami dalam rangka relasi. Kalau kata-kata itu ditangkap sebagai informasi, ibu itu akan mendengarkan dan mungkin berkata, “Oh ya?” dan selesai. Lain halnya kalau kata-kata itu ditempatkan dalam rangka relasi ibu - anak. Setelah mendengar anaknya berkata demikian, ibu itu akan mengambil gelas, mengisinya dan memberikannya kepada anaknya. Atau sebaliknya, ibu itu juga dapat marah dan berkata, “Baru saja minum sudah haus lagi!”. Kalau demikian relasi yang terjadi bercorak negatif.

6. Berikut ini akan diberikan satu contoh membaca Kitab Suci, dengan memberi perhatian khusus pada gagasan relasi. Teks yang dipilih adalah Markus 10:46-52, kisah penyembuhan Bartimeus. Yang akan diperhatikan adalah relasi antara tokoh-tokoh yang diceritakan dan dinamika relasi yang terjadi dalam proses cerita, dalam garis besar. Kalau demikian, kisah ini dapat menjadi tantangan atau tawaran bagi kita untuk membangun relasi yang sama - atau lebih tepat: membiarkan diri kita dimasukkan ke dalam relasi yang baru dengan Yesus.
Teks
46. Lalu tibalah Yesus dan murid-muridNya di Yerikho. Dan ketika Yesus keluar dari Yerikho, bersama-sama dengan murid-muridNya dan orang banyak yang berbondong-bondong, ada seorang pengemis yang buta, bernama Bartimeus, anak Timeus, duduk di pinggir jalan. 47. Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” 48. Banyak orang menegornya supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru: “Anak Daud, kasihanilah aku!” 49. Lalu Yesus berhenti dan berkata: “Panggillah dia!”. Mereka memanggil orang buta itu dan berkata kepadanya: “Kuatkan hatimu, berdirilah, Ia memanggil engkau.” 50. Lalu ia menanggalkan jubahnya, ia segera berdiri dan pergi mendapatkan Yesus. 51. Tanya Yesus kepadanya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Jawab orang buta itu: “Rabuni, supaya aku dapat melihat!”. Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalananNya.

Bartimeus
a. Yang menjadi pusat perhatian dalam kisah ini adalah Bartimeus. Lain halnya kalau dibandingkan dengan kisah yang mirip dalam Mrk 8:22-28. Dalam kisah tersebut yang menjadi perhatian utama adalah Yesus.
Sebagaimana setiap kisah, kisah penyembuhan Bartimeus pun ada awal dan akhirnya.
Awal: Bartimeus BUTA - DUDUK - DI PINGGIR JALAN (ay. 46)
Akhir: Bartimeus MELIHAT - MENGIKUTI - DALAM PERJALANAN
(ay. 52).
Di antara awal dan akhir itulah dapat kita lihat dinamika berkembangnya relasi.

b. Kadar relasi antara dua pribadi dapat dilihat dari sebutan yang dipakai untuk menyapa. Dalam kisah ini ada tiga sebutan yang dipakai untuk Yesus (Untuk memperdalam pengertian tentang sebutan-sebutan Yesus, lihat St. Darmawijaya, Gelar-gelar Yesus, Yogyakarta 1987).

(i) Pada ayat 47a Bartimeus diberitahu bahwa yang lewat adalah Yesus dari Nazaret. Sebutan ini netral, untuk membedakan Yesus yang berasal dari Nazaret dengan Yesus yang berasal dari tempat lain. Tampaknya pada waktu itu ada cukup banyak orang yang bernama Yesus. Dalam nama itu belum jelas terlihat relasi dengan warna iman. Namun hubungan yang masih netral ini pun ternyata menjadi batu loncatan untuk relasi yang semakin mendalam.
(ii) Selanjutnya Bartimeus berseru, “Yesus Anak Daud, kasihanilah aku” (ay. 47 b). Sesudah ditegur dan disuruh diam, semakin keras ia berseru, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku” (ay 48 b). Sebutan “Anak Daud” diserukan dua kali. Seruan itu adalah pernyataan iman akan kuasa Yesus sebagai Mesias (bdk. Mrk 11:10; Kis 2:29-32; 13:22-23; Rom 1:3-4). Kalau dibandingkan dengan relasi antara Bartimeus dengan Yesus yang terungkap dalam sebutan yang pertama, jelas bahwa kadar relasi yang terungkap dalam sebutan ‘Anak Daud’ jauh lebih mendalam.
(iii) Menjelang akhir kisah, sebutan yang dipakai berubah lagi menjadi ‘Rabuni’ (= Tuanku; dari kata rab yang berarti besar, agung). Sebutan ini menunjukkan rasa hormat, tetapi bukan hormat yang menjauhkan hubungan melainkan hormat yang mendekatkan secara pribadi (bdk. Mrk 9:5; 11:21; 14:44-45; Yoh 1:38; 20:16).
Dengan memperhatikan sebutan-sebutan yang dipakai, dapat dilihat perkembangan relasi antara Bartimeus dengan Yesus. Relasi itu menjadi semakin pribadi.

c. Setelah Bartimeus mengerti siapa yang dijumpai (= revelasi), maka ia membuat ketetapan hati dengan berseru dan semakin keras berseru (= resolusi). Ia tidak berhenti berseru saja, tetapi melangkah lebih jauh (= revolusi):
(i) Menanggalkan jubah (ayat 50). Jubah adalah milik orang miskin yang sangat berharga (bdk. Kel 22:25-26; Ul 24:12-13). Milik yang sangat berharga itu ia lepaskan untuk dapat berjumpa dengan Yesus, Anak Daud. Tindakan ini dapat juga dimengerti secara simbolis: orang yang dibaptis menanggalkan pakaian sebelum masuk ke air baptis. Kalau demikian Bartimeus menanggalkan manusia lama, mengenakan manusia baru yaitu hidup sebagai murid Yesus (bdk. Rom 13:12; Ef 4:22-25; Kol 3:9; Ibr 12:1; Yak 1:21; 1Ptr 2:1; 2Ptr 1:14). Yesus menilai tindakan Bartimeus sebagai tindakan iman, dengan berkata: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (ayat 52). Di tempat lain penyembuhan dikerjakan oleh Yesus (Mrk 8:23). Di sini penyembuhan terjadi karena iman Bartimeus (bdk. 5:29).
(ii) Bartimeus mengikuti Yesus (ayat 52). Tindakan mengikuti Yesus digambarkan sebagai tindakan yang berlanjut, terus menerus. Hubungan antara menanggalkan jubah dan mengikuti Yesus sama dengan yang dikisahkan dalam panggilan murid-murid pertama. “Mereka meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia” (Mrk 1:18). Kemudian juga dikatakan “mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, didalam perahu bersama orang-orang upahannya lalu mengikuti Dia” (Mrk 1:20). Sikap semacam ini tampak sangat istimewa kalau misalnya dibandingkan dengan sikap murid-murid dan orang-orang yang mengikuti perjalanan Yesus: “Yesus dan murid-muridNya sedang dalam perjalanan ke Yerusalem dan Yesus berjalan di depan mereka. Murid-murid merasa cemas dan juga orang-orang yang mengikuti Dia dari belakang merasa takut” (Mrk 10:32). Bartimeus dengan langkah tegap mengikuti Yesus dalam perjalananNya masuk ke kota Yerusalem. Di situ Ia menyelesaikan karya penyelamatanNya.

Yesus

a. Reaksi terhadap seruan Bartimeus (ayat 46-48) adalah berhenti (ayat 49a). Dengan berhenti Yesus memberi kesempatan kepada Bartimeus yang tidak dapat bergerak: kesempatan untuk menerima uluran membangun relasi.
b. Bartimeus tiga kali berseru, tiga kali pula Yesus memberi tanggapan:
(i) “Panggillah dia” (ayat 49a). Perintah ini langsung ditanggapi oleh orang-orang yang mengikutiNya (ayat 49b). Yesus mengubah sikap orang banyak yang pada mulanya memusuhi Bartimeus, dengan memberi perhatian kepada Bartimeus.
(ii) Pertanyaan Yesus yang diajukan kepada Bartimeus memperlihatkan bahwa Ia memperlakukannya sebagai subyek: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” (ayat 51). Perlakuan seperti ini membuat Bartimeus berani menyatakan permohonan dan mengungkapkan imannya. Dengan kata lain bentuk sapaan Yesus mencerminkan pula kadar relasi antara diriNya dengan Bartimeus. Bahkan harus dikatakan, sapaan itu bukan hanya mencerminkan kadar relasiNya, akan tetapi juga mengembangkan relasi.
(iii) “Imanmu telah menyelamatkan engkau” (ayat 52a). Kata-kata ini adalah pernyataan, sekaligus ajakan untuk melihat pengalaman penyembuhan sebagai tanda keselamatan.

c. Yesus tidak minta agar Bartimeus mengikutiNya (bdk. panggilan para murid dan orang kaya dalam Mrk 1:16-20; 10:17-22), sebaliknya menyuruhnya pergi. Namun ternyata Bartimeus mengikutiNya. Dengan cara ini ditunjukkan bahwa Bartimeus mengerti, kebaikan yang ia terima mengandung panggilan (panggillah dia ... mereka memanggil .... Ia memanggil engkau .... ayat 49). Anugerah inilah yang ditanggapi dengan bebas. Dia mengikuti Yesus bukan karena taat kepada perintah, akan tetapi karena diarahkan oleh pengalaman iman.

Orang-orang di sekeliling Yesus.

a. Dalam kisah ini dibedakan antara murid-murid Yesus dengan orang banyak. Perbedaan itu hanya tampak pada permulaan. Sesudahnya tidak ada pembedaan lagi. Mereka semua berperan sebagai perantara antara Yesus dan orang buta. Tiga kali peran itu ditunjukkan:
(i) Memberitahu dan mengatakan kepada Bartimeus bahwa yang lewat adalah Yesus dari Nazaret (ayat 47a).
(ii) Menunjukkan sikap bermusuhan (ayat 48; bdk. 10:13; Luk 19:3-4).
(iii) Bartimeus bertahan, Yesus mendengar seruan dan memberi perintah kepada orang banyak untuk memanggil dia. Kata-kata Yesus yang ditujukan kepada orang banyak mengubah relasi: orang banyak yang sebelumnya merupakan penghalang diajak oleh Yesus untuk berperan dan menjadi sangat bersahabat. Kepada Bartimeus mereka berkata, “Kuatkan hatimu, ....” (ayat 49b). Mereka akhirnya membantu orang buta sampai kepada Yesus.

b. Markus tidak menceritakan orang banyak pada akhir cerita (bdk. Luk 18:43). Bagi Markus yang menjadi pusat perhatian adalah Bartimeus yang mengikuti Yesus yang sebentar lagi akan masuk ke kota Yerusalem (Mrk 11:1-11). Saat ini adalah saat yang kritis, menentukan. Dalam keadaan seperti itu Bartimeus mengikuti Yesus. Ia adalah seorang beriman yang mempunyai relasi kokoh-kuat, pribadi dengan Yesus yang diagungkannya.

Bartimeus model iman
Kisah ini sekaligus merupakan pernyataan iman (= proklamasi) dan pengakuan iman (= aklamasi) akan Yesus Anak Daud. Bartimeus memberikan kesaksian imannya dengan berani. Kesaksian ini dapat mempengaruhi sikap bermusuhan orang banyak. Iman itu diungkapkan dengan doa seruan yang semakin keras. Iman juga membuahkan kebebasan: Bartimeus menanggalkan jubahnya agar dapat sampai kepada Yesus. Selanjutnya Bartimeus tidak membiarkan Yesus menghilang. Iman membawanya kepada sikap mengikuti. Bagi Bartimeus yang paling penting sekarang ialah mengikuti Yesus. Yang lain nanti belajar sambil berjalan (Mrk 8:34).

7. Silahkan mencoba membaca teks-teks berikut dengan cara sederhana seperti contoh di atas: Luk 5:1-11; 19:1-10; 24:13-25

I. Suharyo Pr
Seminari Tinggi St. Paulus
Yogyakarta.
1989

0 Comments:

Post a Comment

<< Home