mksn 1983 FT Keluarga
SERI MKSN 1983
FIRMAN TUHAN
DALAM
KELUARGA
BAHAN: GAGASAN PENDUKUNG
OLEH : P.C. GROENEN OFM
LEMBAGA BIBLIKA INDONESIA
arsip dari
Pelayanan Kerasulan Kitab Suci Kevikepan
PENDAHULUAN
"Firman Allah hidup dan kuat, lebih tajam daripada pedang bermata dua manapun. Ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum. Ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapannya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia yang kepadaNya kita harus memberikan pertanggunganjawab" (Ibr
Firman Allah yang kuat kuasa itu mula-mula sebagiannya disampaikan secara lisan, melalui orang yang dipanggil Tuhan menjadi juru-bicaraNya. Bagi kita firman itu tersimpan dalam Alkitab. Hanya di situ firman Allah membeku dan seolah-olah mati, tidak berdaya. Supaya kembali berdaya, firman yang membeku itu perlu dihidupkan kembali. Dan itu terjadi apabila Kitab Suci dibaca, terutama dibacakan, dengan iman kepercayaan sejati. Dan kalau dengan iman kepercayaan yang sama diserapkan ke dalam hati, maka firman itu kembali menjadi firman hidup bagi pembaca atau pendengar. Sebab hanya Allah dan Kristus yang dipercayai sanggup dengan Roh KudusNya menyingkapkan selubung yang menghalang mereka yang tidak percaya dari benar-benar mendengarkan dan menerima firman Allah yang membeku dalam Kitab Suci (bdk 2 Kor
Maka semua orang beriman dapat menghidupkan kembali firman Allah yang kuat kuasa. Di segala tempat, lingkup dan situasi hidup mereka dapat kembali mengaktualkan firman Allah, membuat Allah kini berfirman bagi dirinya maupun bagi semua saudara beriman atau bakal beriman. Itulah kekuatan iman yang memindahkan gunung (bandingkan Mat
Kali ini kita mau memikirkan sedikit peranan firman Allah, tegasnya firman Allah dari Kitab, dalam lingkup keluarga.
I. Macam-macam Keluarga
Bagi pokok pemikiran tersebut cukup penting orang menyadari bahwa kata "keluarga" mencakup beberapa kenyataan yang cukup berbeda satu sama lain. Kami menyingkirkan saja apa yang misalnya disebut "keluarga besar" salah satu sekolah, kantor, perusahaan dan sebagainya. Isi kata "keluarga" dalam pemakaian semacam itu sudah terlalu meluntur.
Apa yang sekarang mau dipikirkan ialah "keluarga" dalam arti biasa, katakan saja: arti wajar dan alamiah. Keluarga ialah sekelompok orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain, orang yang seketurunan. Keluarga itu menjadi kesatuan dasar masyarakat, baik masyarakat sipil maupun masyarakat Gereja.
Tetapi dalam rangka itu perlu dibedakan baik-baik antara apa yang kadang-kadang disebut sebagai "keluarga inti" dan "keluarga besar". Keluarga inti mencakup suami-isteri/ayah-ibu dengan sejumlah anak mereka (boleh jadi: anak angkat). Tetapi "keluarga besar" mencakup semua sanak saudara: Kakek, nenek, suami isteri/ayah ibu, anak-anak, cucu, cicit, keponakan, bibi dan sebagainya, malah termasuk juga pembantu-pembantu dan lain-lain orang yang bergantung pada kelompok sanak saudara yang keturunan.
Kalau orang memperhatikan masyarakat Indonesia pada umumnya, maka bukan "keluarga inti" yang menjadi kesatuan dasar. Ini baru mulai muncul di kota-kota besar dan di kalangan atas saja. Kesatuan dasar masyarakat Indonesia sipil (seharusnya juga: masyarakat Gereja) ialah "keluarga besar". Itu terasa misalnya kalau orang melihat betapa gampang orang menitipkan anak-anaknya pada nenek, paman atau bibi, betapa mudah keponakan, anak-anak sepupu, saudara sepupu diterima sebagai anggota penuh "keluarga". Kadang-kadang orang malah tidak tahu lagi siapa anak siapa, siapa ayah/ibu siapa. Perceraian suami-isteri yang jumlahnya di Indonesia banyak sekali, tidak dirasakan sebagai musibah bagi anak-anak. Mereka toh terutama dididik dan dipelihara oleh keluarga besar, bukan oleh suami-isteri. Kepala keluarga besar itu belum pasti ayah/ibu. Boleh jadi paman atau anak sulung (kakak) berperan demikian Dalam hal itu ada aturan adat yang cukup ketat.
II. Keluarga penyalur firman Allah
Latar belakang Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru justru keluarga besar (luasnya tentunya dapat bermacam-macam). "Keluarga inti" di masa itu kurang penting. Keluarga macam itu sebenarnya baru berkembang dalam kebudayaan barat selama dua abad terakhir.
Selama zaman Perjanjian Lama "keluarga" umat Allah selalu lebih berpolakan keluarga para bapa bangsa. "keluarga" Abraham mencakup Abraham serta isteri-isterinya (Kej 16:1-2;25:1), saudara sepupu (Kej 13:1), sanak saudara lain yang bergantung padanya dan budak sahaya (Kej
Begitu pula di zaman Perjanjian Baru, berarti: di dunia Yunani-Romawi, kesatuan dasar masyarakat bukanlah keluarga inti melainkan keluarga besar. Dalam Kol 3:18-4:1 digambarkan suatu keluarga (Kristen). Tampil dalam ayat itu suami-isteri/ayah-ibu, anak-anak (yang boleh jadi beristeri) dan budak-budak. Begitu pula 1 Tim 5:8 menyinggung suatu keluarga yang cukup dan luas. Seorang anak ternyata memikul tanggung jawab atas "keluarga". Dan itu dianggap suatu kewajiban iman sejati. Ini boleh dikatakan suatu keluarga "Kloe", potongan biasa saja. Sebab sering suatu "keluarga" Yunani-Romawi mencakup juga sejumlah pembantu (bukan budak), buruh/pekerja (dengan isteri dan anak-anak) yang bekerja dalam bengkel atau perusahaan keluarga. Keluarga kaya masih menampung sejumlah orang (dengan keluarga kecilnya) yang bergantung pada tuan rumah yang sama. Mengingat keadaan itu maka dapat dipahami mengapa 1 Tim 3:4 begitu saja dapat menganggap seorang kepala keluarga cakap menjadi pemimpin "keluarga Allah", seluruh jemaat. Dalam 1 Tim 3:12 juga dibedakan antara suami serta anak-anaknya dan "keluarganya" yang lebih luas. Kalau Paulus dalam 1 Kor 1:11 berkata tentang keluarga "Kloe", maka yang dimaksudkan suatu keluarga besar. Kloe agaknya seorang usahawati dan semua yang bekerja dalam perusahaannya termasuk keluarganya.
Adapun Kitab Suci Perjanjian Lama sebagiannya berasal dari keluarga. Firman Allah berupa tradisi lisan turun temurun disalurkan melalui keluarga, sebelum dituliskan dalam buku. Umpamanya: Kisah penting, boleh dikatakan kisah pusat seluruh Perjanjian Lama, mengenai keluaran umat Allah dari Mesir dan pembebasan dari perbudakan, terpelihara dalam keluarga. Dalam Kel
Maka Mzm 44:2 penuh rasa syukur berdoa:
"Ya Allah, dengan telinga kami sendiri telah kami dengar, nenek moyang kami telah menceritakan kepada kami perbuatan yang telah Kaulakukan pada zaman mereka, pada zaman purbakala."
Setelah dibukukan menjadi terbeku, firman Allah setiap kali oleh kepala keluarga dicairkan dan dihidupkan kembali menjadi firman Allah yang kini menyapa keluarga-keluarga umatNya.
Dengan lain perkataan: Keluargalah yang menjadi tempat berkatekese. Disana firman Allah dihidupkan kembali, didengar dan diresapkan ke dalam hati. Dan itu dirasakan sebagai suatu kewajiban berat dan tanggung jawab kepala keluarga. Perintah keempat dari kesepuluh firman Tuhan dalam Ul
III. Umat Kristen berpangkal pada keluarga.
Sudah dicatat di muka bahwa juga dalam dunia Yunani-Romawi keluarga yang paling penting bukan keluarga inti, melainkan keluarga besar. Keluarga itu tidak hanya kesatuan dasar masyarakat, tetapi juga kesatuan dasar keagamaan. Berarti: keluarga besar suatu keluarga yang beribadat. Terpimpin oleh kepala keluarga kelompok itu secara teratur menyelenggarakan ibadatnya sendiri kepada dewa-dewi kesayangan keluarga itu. Ibadat resmi yang diselenggarakan oleh negara dan dipimpin oleh imam-imam, pegawai negeri, lebih bersifat politis dari pada keagamaan. Secara emosional ibadat resmi itu kurang memikat bagi orang banyak. Di "rumah" (kadang-kadang dalam sebuah gedung tersendiri, semacam kapel keluarga) mereka merayakan kebaktian keluarga.
Dalam dunia Yunani-romawi itulah umat Kristen mulai berkembang. Kerap kali perkembangan itu bertitiktolak kelompok-kelompok Yahudi yang terserak-serak dimana-mana. Tidak dapat tidak umat Kristen (yang belum mempunyai organisasi ketat) menyesuaikan diri dengan keadaan sosio-keagamaan tersebut. Bagi masalah kami penting, bahwa umat Kristen berpangkal pada keluarga besar, sama seperti masyarakat umum berpangkal padanya.
Dalam Perjanjian Baru beberapa kali tercatat bahwa seorang masuk Kristen dengan "seisi rumahnya". Itu berarti bahwa seluruh keluarga luas bersama dengan kepalanya ikut masuk Kristen. Begitu orang bukan Yahudi pertama yang masuk Kristen, yaitu Kornelius, bersama "seisi rumahnya" dibaptis oleh Petrus (Kis 11:14-17). Penjaga kepala penjara di kota Filipi "memberi dirinya dibaptis bersama dengan keluarganya, seisi rumahnya (Kis 16:33-34). Di kota Korintus seorang bernama Kristus yang menjabat kepala sinagoga Yahudi dengan seisi rumahnya masuk Kristen (Kis 18:8). Dan sekali lagi di kota Filipi seorang usahawati, Lidia, dengan seisi rumahnya dibaptis (Kis 16:15). Seorang kepala keluarga di Korintus, bernama Stefanas, dengan seisi rumahnya dibaptis oleh Paulus sendiri, sebagai suatu kekecualian. Keluarga itulah keluarga besar, sanak-saudara, budak-sahaya, hamba-hamba, buruh, pekerja, dan lain-lain orang yang bergantung pada orang tertentu. Semua yang disebutkan namanya dalam Perjanjian Baru ternyata tokoh-tokoh yang cukup berada dan penting, jadi keluarganya cukup besar juga. Dianggap wajar bahwa semua ikut pindah agama kalau kepala keluarga masuk Kristen. Tidak ada seorang yang dipaksakan. Buktinya Onesimus, budak dalam keluarga Filemon yang masuk Kristen. Budak itu tidak turut masuk, tetapi kemudian barulah oleh Paulus dikristenkan (bdk Flm 10.11.15-16).
Keluarga macam itulah yang menjadi pangkal dan inti pusat jemaat-jemaat Kristen yang berkembang di dunia Yunani-romawi. Beberapa kali dalam Perjanjian Baru ditentukan ungkapan "Gereja/jemaat di rumah si Anu". Paulus mengalamatkan sepucuk surat kecil kepada "Filemon, Apfia, saudara kita Arkhipus, teman seperjuangan, dan kepada jemaat (ekklesia) di rumah Filemon" (Flm 1-2). Filemon itu ialah seorang berada di kota Kolese. Ia mempunyai budak (seperti Onesimus yang melarikan diri). Filemon kepala keluarga besar. Kurang jelas kedudukan Apfia dan Arkhipus. Hanya jelas mereka termasuk jemaat di rumah Filemon. Agaknya ungkapan "jemaat di rumah Filemon" tidak pertama-tama berarti bahwa rumah Filemon (yang cukup besar) dipakai jemaat di Kolese sebagai tempat berkumpul. Jemaat itu kiranya pertama-tama seisi rumah Filemon sendiri. Tetapi boleh dianggap pasti bahwa orang-orang lain dari keluarga (besar) yang tidak Kristen bergabung dengan keluarga Filemon yang menjemaat. Filemon sebagai Kepala Keluarga serentak kepala jemaat itu.
Di Korintus ada Stefanas yang sebagai yang pertama di
Kecuali Stefanas di
Sebab ternyata di Korintus masih ada jemaat lain, yaitu di rumah Akwila dan Priska (1 Kor
Pokoknya: orang berkesan bahwa jemaat Kristen kerap kali berkembang sebagai berikut. Di salah satu tempat seorang yang cukup berada dan mempunyai rumah masuk Kristen Seluruh keluarga besar ikut masuk. Lalu lain-lain orang, entah secara perorangan entah dengan keluarga kecilnya bergabung dengan keluarga utama itu. (bandingkan Kis 18:8) Sebab lain di zaman Perjanjian Lama kebangsaan dan agama tidak bertepatan lagi di zaman Perjanjian Baru.
Orang tidak lahir sebagai orang Kristen dan anggota keluarga (luas) Kristen. Orang mesti masuk Kristen. Tidak selalu seluruh keluarga masuk, tapi salah seorang saja. Contohnya Timotius. Ia berasal dari perkawinan campur (Yahudi-bukan Yahudi) (Kisah 16:1). Neneknya dan ibunya (yang bernama Lois dan Eunike, 2 Tim 1:5) masuk Kristen dan mendidik Timotius secara Kristen (2 Tim 1:5). Maka untuk menghayati kekristenannya ibu Timotius dan Timotius sendiri bergabung dengan salah satu jemaat di rumah orang lain, Kis 16:2 berkata tentang saudara-saudara di Listra dan Ikonium yang kenal baik dengan Timotius .
Begitulah dengan berpangkal pada salah satu keluarga besar jemaat Kristen berkembang dan meluas. Boleh jadi di salah satu kota besar, seperti misalnya di Korintus atau Roma, ada beberapa jemaat yang bertumpu pada salah satu keluarga yang dapat menyediakan fasilitas yang perlu (ruang untuk berkumpul) .Tuan rumah yang menyediakan fasilitas itu pun menjadi kepala jemaat keluarganya dan mereka yang bergabung dengannya.
IV. Keluarga yang berkatekese dan beribadat.
Keluarga yang menjemaat itulah yang menjadi tempat utama untuk berkatekese dan beribadat. Berarti: menghidupkan kembali dan mengaktualkan firman Allah (katekese) dan menanggapinya (ibadat)
Menarik perhatian betapa sering Yesus dalam injil-injil "mengajar" kepada murid-muridNya bertempat di salah satu rumah. Kepada orang banyak Yesus memberitakan injilNya, tetapi di rumah Ia menjelaskannya lebih lanjut kepada mereka yang percaya. Jadi apa yang (kemudian) disebut "pemberitaan/kerigma dan berkatekese". Contoh yang paling bagus terdapat dalam Mrk 4:1-20. Kepada orang banyak Yesus menceritakan perumpamaan tentang penabur (Mrk
Latar belakang cerita-cerita itu ialah adat kebiasaan jemaat-jemaat Kristen. Di situ "katekese" diberi "di rumah", berarti dalam keluarga (bandingkan Kis
Keluarga macam itupun menjadi "misioner", pangkal pewartaan injil kepada lain-lain orang. Itu yang melatarbelakangi Mrk 5:18-20 Seorang di Gerasa dibebaskan dari roh jahat (berarti: seorang kafir menjadi percaya kepada Yesus). Kemudian ia diutus oleh Yesus memberitakan Injil kepada keluarganya. Dari situ Injil tersebar di seluruh daerah Dekapolis, yang kebanyakan penduduknya bukan orang Yahudi. Dan hidup berkeluarga secara Kristen menurut Tit 2:5, mendukung pewartaan firman Allah.
Di muka sudah dicatat bahwa keluarga Yunani-Romawi adalah keluarga yang beribadat. Dengan adat itupun umat Kristen menyesuaikan diri. Dalam Kis
Dalam 1 Kor 14:26-33 Paulus berkata tentang sidang jemaat-jemaat di
Dalam Injil Lukas terdapat beberapa cerita tentang Yesus yang di salah satu rumah memberikan wejanganNya dalam rangka perjamuan pesta. Misalnya Luk 7:36-50; 14:1-6. Dalam Luk 24:13-32 disajikan sebuah cerita bagus. Yesus yang sudah bangkit dari antara orang mati "berkatekese" kepada kedua muridNya dengan menghidupkan kembali dan menjelaskan firman Allah yang membeku dalam Alkitab. Katekese itu ditutup dengan sebuah perjamuan di sebuah rumah, tempat Yesus sendiri berlaku sebagai tuan rumah. Cerita-cerita Lukas semacam itu mencerminkan ibadat jemaat dalam keluarga-keluarga mereka.
V. Firman Allah dalam keluarga
Setelah kita membaca Alkitab sedikit dan melihat betapa pentingnya keluarga, boleh dipertanyakan apakah umat katolik di
Sudah dikemukakan bahwa ada dua macam "keluarga". "Keluarga inti" dan "keluarga besar". Menurut pengamatan kami, "keluarga besar" di Indonesia pada umumnya lebih penting daripada "keluarga inti". Alangkah baiknya kalau keluarga, entah "keluarga inti" entah "keluarga besar" kembali dapat menjadi tempat berkatekese dan beribadat.
Keluargalah yang menjadi tempat terpilih untuk mencairkan firman Allah yang membeku dalam Alitab dan menanggapinya dalam ibadat. Alkitab menjadi sarana terpilih, melebihi sarana-sarana lain. Sebab bilamana iman keluarga mengaktualkan firman Allah itu, maka Allah secara kedengaran menjadi hadir dalam keluarga itu, langsung menyapa keluarga dengan firmanNya yang berdaya. Kalau firman itu ditanggapi dengan iman yang terungkap dalam ibadat, maka terjalinlah suatu dialog hidup antara Tuhan dengan keluarga. Keluarga itu berkenalan dengan sejarahnya sendiri sebagai keluarga yang percaya dan menempatkan diri dalam tradisi umat Allah yang menyajikan firman Tuhan yang pernah dan terus menerus mau berbicara dengan masing-masing keluargaNya. Menjadi pengalaman setiap keluarga apa yang difirmankan Tuhan dalam 2 Tim 3:15-16. Kitab Suci tetap berdaya membuat engkau berhikmat menuju keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus. Segala tulisan yang bernafaskan Roh Allah bermanfaat untuk mengajar, menyatakan apa yang salah dan memperbaiki kelakuan. Ia bermanfaat untuk mendidik orang sehingga bereslah hubungannya dengan Allah dan sesama. Maka tiap-tiap orang yang menjadi milik Allah mendapat perlengkapan guna setiap pekerjaan yang baik.
Dalam perkembangan sejarah sesudah zaman Perjanjian Baru baik katekese maupun ibadat semakin diserahkan kepada petugas Gereja, para uskup, iman serta pembantu-pembantu di berbagai tingkat. Perkembangan itu diwariskan kepada umat katolik di
Alangkah baiknya kalau sejarah tersebut di Indonesia dapat dibalikkan. Konsili Vatikan II (LG 11) mendukung perkembangan sejarah yang terbalik itu. Sebab tentang keluarga dikatakan: "Dalam keluarga seolah-olah dalam Gereja Rumah (ecclesia domestica) orang tua dengan perkataan dan contoh bagi anak-anaknya menjadi pewarta iman yang pertama". Konsili jelas sekali berpikir kepada keluarga potongan barat dan kurang menonjolkan peranan keluarga besar di Indonesia, yang sebenarnya jauh lebih penting. Tanggung jawab atas katekese dan ibadat sebaik-baiknya dikembalikan kepada kepala keluarga (entah keluarga inti entah keluarga besar), yaitu orang yang nyatanya berperan sebagai kepala kelompok "keluarga".
Maka toh yang paling penting dan "tenaga inti" justru kepala keluarga, bukan petugas-petugas Gereja, imam, bruder, dan suster. Kesatuan dasar Gereja Kristus bukan keuskupan atau paroki atau biara, melainkan keluarga, baik dalam katekese maupun dalam ibadat. Kalau kesatuan dasar itu kuat, dan sehat, maka Gereja kuat dan sehat. Kalau pernah terjadi bahwa "struktur atas" (para petugas Gereja) dibongkar dan dihancurkan, Gereja tetap dapat hidup dan melanjutkan dirinya. Contoh sudah terjadi di negeri Cina. Hirarki, suster, bruder, tidak ada lagi. Namun Gereja masih hidup terus, berpangkal pada keluarga. Malah Gereja terus dapat merambat dengan bertumpu pada keluarga. Bukan imam, suster, bruder, yang menyelamatkan iman dan Gereja Kristus, melainkan kepala keluarga Kristen yang tahu tugas dan tanggung jawabnya.
Dewasa ini orang berkesan bahwa usaha yang utama ialah mem-perbanyak "tenaga inti", memburu "panggilan imam, bruder, suster". Apakah ini akan menyelamatkan Gereja? Satu generasi yang lampau di pelbagai daerah Eropa jumlah "panggilan" macam itu berlimpah. Namun demikian di daerah yang sama dewasa ini "Gereja" dan "iman" mendekati ajalnya. Mengapa? Oleh karena keluarga-keluarga Kristen nyatanya tidak sanggup menghadapi krisis yang melanda masyarakat dan Gereja di situ. Jangan proses itu diulang di Indonesia, oleh karena keluarga Kristen tidak dibina untuk menerima dan melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawabnya. Dan itu terletak pada kepala keluarga, entahlah siapa dia.
VI. Katekese dan ibadat keluarga yang sesuai
Tugas dan tanggung jawab kepala keluarga Kristen ialah menghidupkan kembali dan mengaktualkan serta mengoperasionalkan firman Allah yang membeku dalam Alkitab. Dengan membacakan, menjelaskan dan merayakan firman Allah dalam lingkup keluarga, maka Allah sendiri menjadi hadir sambil berdialog dengan keluargaNya. Begitulah terjadi bahwa iman Kristen yang sejati serta penghayatannya dalam keluarga benar-benar bersumberkan firman Allah yang berdaya untuk membina dan menguatkan iman sejati itu. Hanya katekese dan ibadat keluarga mesti sesuai dengan keadaan keluarga yang nyata. Satu segi dari kesenian dapat diperdalam sedikit.
Irama katekese keluarga dan irama ibadat keluarga mesti sesuai dengan irama hidup keluarga. Dewasa ini baik irama katekese maupun irama ibadat kerap kali tidak sesuai dengan irama keluarga. Sebab hanya ditangani oleh petugas resmi untuk umum. Padahal irama hidup keluarga dapat berbeda dari keluarga ke keluarga dan dari daerah ke daerah, malah dari musim ke musim. Apalagi perbedaan antara hidup keluarga di desa dan irama keluarga di kota.
Keluarga inti mempunyai irama hidup yang biasanya ditentukan oleh waktu dan irama kerja kepala keluarga. Kecuali itu ada irama hidup yang ditentukan oleh peristiwa penting dalam keluarga inti. Kelahiran anak, pernikahan, kematian, kena sakit atau musibah, pindah tempat tinggal, pindah kerja, penyekolahan anak dan lulus tidaknya anak. Kepala keluarga yang bertanggung jawab dapat menyesuai-kan irama katekese dan ibadat dengan irama hidup keluarganya.Irama hidup keluarga besar (di Indonesia sering kali paling penting) tentunya berbeda dengan irama hidup keluarga inti.
Dalam rangka irama hidup keluarga besar irama hidup kelompok-kelompok lebih kecil disesuaikan dengan irama hidup keluarga besar. Keluarga inti kerap kali sama sekali tidak teratur..apalagi "tertutup" Kepala keluarga besar perlu mengatur irama serta ciri-corak katekese dan ibadat keluarga begitu rupa sehingga sesuai dengan irama hidup keluarga. Di dunia pertanian irama hidup keluarga ditentukan oleh irama alam. Kecuali itu (atau bersangkutan dengan itu) ada pelbagai pesta, dimana semua anggota keluarga besar atau paling tidak sebanyak mungkin berkumpul. Katekese dan ibadat perlu dipasang dalam rangka irama hidup itu.Melalui penyesuaian katekese dan ibadat dengan irama hidup keluarga, imam sejati yang ditimbulkan dan dipupuk oleh firman Allah yang dicairkan, dapat meresap ke dalam hidup sehari-hari. Relevansinya akan dialami dan begitu menjadi lebih nyata.
VII. Keluarga Indonesia yang " MISIONER".
Dari Kitab Suci, firman Allah yang hidup digali bahwa keluarga pada umat Kristen perdana berperan sebagai pangkal penyebaran Injil. Keluarga itupun berperan sebagai tempat menampung orang yang secara perorangan dan berkelompok-kelompok kecil menjadi percaya. Hal itu dapat dibaca dalam Kis 18:7-8; 24-26. Sebuah contoh lain ialah ibu Febe di Kengkrea, Yunani, yang "melayani" jemaat di situ dan pembantu banyak orang, antara lain Paulus (Rom 16:1-2). Dalam sejarah selanjutnya tugas misioner semakin diambil dari keluarga. Disalurkan melalui banyak lembaga hebat (sekolah, rumah sakit, universitas, dan sebagainya dan sebagainya) dan ditangani oleh petugas Gereja, yang sekarang mau dianggap "tenaga inti" Alangkah baiknya kalau tugas misionerpun dikembalikan kepada keluarga di Indonesia. Umat Kristen di Indonesia tetap kiranya masih lama suatu minoritas, terpencar-pencar dalam masyarakat yang tidak Kristen. Dalam situasi itu keluarga pun dapat menjadi tempat penampung bagi mereka yang secara perorangan masuk Kristen dan dengan demikian di bidang keagamaan keluar dari keluarganya. Mereka perlu diterima sebagai "saudara seiman" dalam keluarga yang sudah menjadi seluruhnya percaya.
VIII. Dan para petugas Gereja ?.
Kami dapat memahami bahwa jalan pikiran dan usul konkrit kami tersebut menimbulkan perlawanan. Sebab tidak berpijak di bumi, tegasnya pada keluarga (entah keluarga inti entah keluarga besar seperti terdapat di Indonesia. Banyak keluarga yang sangat sederhana. Ada yang buta huruf atau hanya sedikit dapat membaca. Bagaimana mereka dapat "berkatekese" dan "beribadat" dan begitu menghidupkan firman Allah yang tertulis?.
Tetapi apakah di zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru umat "biasa" lebih "pinter", lebih terdidik? Namun kepala keluarga diserahi tanggung jawab itu dan rupanya cukup mampu menunaikan tugasnya. Selama dua tiga ratus tahun pertama umat Kristen dengan pesat berkembang ke mana-mana Firman Allah tentunya tersimpan dalam buku, tetapi terutama secara lisan disampaikan. Dan firman Allah dalam Kitab Suci biasanya berupa cerita. Mengapa? Sebab mudah dihafalkan dan diceritakan. Dan kepala keluarga di Indonesia tidak punya ingatan dan tidak dapat berceritera? Orang Jawa semua tahu cerita-cerita wayang, meskipun tidak pernah membaca naskahnya Mengapa Kitab Suci tidak dapat disampaikan dengan jalan yang sama? Tentu saja sekarang umat Katolik yang sederhana, yang pernah menghafalkan katekismus, tidak tahu banyak tentang isi Kitab Suci, firman Allah yang hidup. Tetapi siapa yang bersalah, umat atau para petugasnya? Mereka berteologi spekulatip tetapi tidak tahu menahu tentang teologi naratip.
Karena itu alangkah baiknya kalau para petugas itu sekarang mengarahkan tugasnya kepada keluarga khususnya kepala keluarga dan bakal kepala keluarga. Mereka dapat digembleng, sehingga mempunyai persediaan cukup besar dari Alkitab, untuk secara lisan menyampaikannya kepada keluarga, (besar) Kalau sudah lebih terdidik, dapat ditolong untuk malah langsung memakai Alkitab sebagaimana mestinya. Syaratnya ialah: mereka sadar akan hak tugas dan kewajibannya untuk berkatekese dan beribadat bersama keluarga. Dan para petugas Gereja sebaik-baiknya terus mendampingi keluarga, bukan untuk "berkatekese dan beribadat disitu", melainkan untuk terus menolong keluarga untuk sendiri berkatekese dan beribadat dengan dijiwai firman Allah yang terus ingin menyapa umat yang berkeluarga.
Kalau petugas Gereja membina keluarga untuk berkatekese dan beribadat berdasarkan Alkitab, maka tercegah bahaya bahwa keluarga-keluarga yang menjemaat itu tidak bersatu satu sama lain. Paulus di kota Korintus sudah mesti menghadapi banyak perpecahan itu (1 Kor 3:1-9). Ada bermacam-macam kelompok di situ sekitar tokoh-tokoh tertentu (Petrus, Apolos, Paulus dan lain-lain orang lagi.) Kelompok-kelompok itu tidak bersesuaian satu sama lain. Latar belakang perpecahan itu tidak menjadi terlalu jelas dalam uraian Paulus. Tetapi boleh jadi duduknya perkara lebih kurang sebagai berikut: Petrus, Paulus, Apolos, dan sebagainya memberitakan Injil di Korintus. Ada orang (serta keluarganya yang menjadi percaya. Keluarga-keluarga itu menjadi "jemaat". Lain-lain orang bergabung dengan jemaat-jemaat itu. Keluarga yang menjemaat itu, berkembang sendiri-sendiri. Kalau semua berkumpul bersama perbedaan menjadi kelihatan dan muncul persaingan, iri hati, dan malah kebencian. Semuanya itu tentu saja tidak sesuai dengan iman kepercayaan kepada Injil yang satu dan Yesus Kristus yang satu serta Roh yang satu yang menjiwai semua. Paulus sebagai "petugas" resmi berusaha mempersatukan kembali keluarga-keluarga yang menjemaat itu. Tetapi ia tidak menghilangkannya. Dalam rangka ini "katekese" Paulus bersumberkan pada Injil yang disalurkan melalui tradisi dan Kitab Suci Perjanjian Lama.
Dan begitulah kiranya juga para petugas Gereja. Mereka mesti membina keluarga-keluarga yang menjemaat dalam pemakaian firman Allah yang tertulis bagi seluruh umat. Sekaligus mereka mesti mengusahakan dan mempertahankan serta memperdalam persekutuan hidup antara keluarga-keluarga yang menjemaat.
P E N U T U P
Dengan jalan demikian umat Kristen yang menjemaat dalam keluarga-keluarga dapat oleh firman Allah dibina dalam iman serta penghayatannya yang bagi mereka berarti. Dengan firman Allah yang dihidupkan kembali dan diaktualkan dalam keluarga, iman serta penghayatannya terus dapat disegarkan lagi. Petugas utama dalam pembinaan dan penyegaran itu ialah kepala keluarga. Maka mulailah berlaku apa yang difirmankan Tuhan dalam Alkitab:
"Jikalau bukan Tuhan (dengan firmanNya yang kuat kuasa) yang membangun rumah (tangga), sia-sialah usaha orang yang membangunnya. Jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga (Mazmur 127:1)
"Sebab firman Tuhan pelita bagi kaki dan terang bagi jalan (Mazmur 119:105)
"Memang firman Allah (dalam Alkitab) melimpahkan kebijaksanaan bagaikan sungai Pison, seperti sungai Tigris di musim buah anggur, ia melimpahkan pengertian seperti sungai Efrat, laksana sungai Yordan di musim panen; pengajaran dialirkannya bagaikan sungai Nil, seperti sungai Gihon dimusim petik anggur, Sebab lebih berisi dari pada lautlah pikiran-pikirannya,dan nasehatnya lebih dalam dari pada samudra besar" (Sirakh 24:25-27.29)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home