Thursday, July 12, 2001

mksn 1994 EB Keluarga

Mksn 1994 keluarga berevangelisasi baru

KELUARGA

DAN

EVANGELISASI BARU

Oleh: P.C. Groenen OFM

PRAKATA

Sejak beberapa tahun terakhir ini, Kekristenan, yang berpangkal di kawasan Barat - baik versi Reformasi maupun versi Roma Katolik - berusaha melancarkan suatu aksi massal dan mondial yang disebut sebagai “pekabaran Injil”, “penginjilan” (Reformasi) atau “Evangelisasi” (Roma Katolik). Tahun 1994 ini oleh Perserikatan Bangsa-bangsa diproklamasikan sebagai “Tahun Keluarga”. Ini mengandaikan bahwa dewasa ini keluarga membutuhkan perhatian khusus, karena ada beberapa masalah sekitar keluarga. Prakarsa dan aksi PBB tersebut didukung oleh pimpinan Gereja Katolik, yang juga memproklamasikan tahun 1994 (mulai hari Pesta Keluarga Kudus, tanggal 26 Desember 1993) sebagai “Tahun Keluarga”. Keprihatinan Gereja tentang keluarga terakhir kali dikemukakan dalam Ajakan Apostolik Familiaris Consortio, tahun 1981.

Sebagai instansi Gereja, Lembaga Biblika Indonesia mau ikut serta. Sebagai tema Hari Minggu Kitab Suci Nasional tahun 1994 dipilih KELUARGA DAN EVANGELISASI BARU, sehingga dua pokok keprihatinan Gereja, yakni “Evangelisasi” dan “Keluarga” diperhatikan. Dalam karangan pendek ini mau dibahas - menurut pendekatan Alkitab - mana peranan keluarga Katolik dalam Evangelisasi, pekabaran Injil? Sejauh mana Kitab Suci dapat mendukung keluarga sebagai pangkal Evangelisasi, yang diberi kata sifat “baru”?

I. EVANGELISASI BARU

Akhir-akhir ini (sejak Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, tahun 1975) di kalangan Gereja Katolik muncul istilah yang relatif baru (di kalangan Reformasi sudah lama dipakai), yaitu “evangelisasi”, mengganti istilah tradisional “misi” atau “karya misioner”, yang masih dipakai oleh Konsili Vatikan II (Ad Gentes, mengenai karya, aktivitas misioner Gereja). Sejak tahun 1990 (Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Missio), istilah “Evange­lisasi” dihiasi dengan kata sifat “baru”. Sejak itu istilah “Evangelisasi Baru” terus menerus diulang menjadi slogan. Dan seperti biasanya terjadi dengan slogan, ada bahaya bahwa “Evangelisasi Baru” juga menjadi slogan yang serba kabur dan kehilangan bobotnya. Maka perlulah diusahakan, agar faham tersebut benar-benar dihayati dan dipraktekkan.

A. Evangelisasi/Penginjilan

Istilah “Evangelisasi” (nomen actiones) dapat diambil dari Kitab Suci Perjanjian Baru. Mengabarkan, mewartakan, memberitakan Injil, biasanya disebut dengan kata kerja “euanggelizein/euanggelesthai”, yang dapat diterjemahkan dengan “menginjil” atau “menginjili”. Namun demikianlah di kalangan Gereja Katolik istilah “evangelisasi” tidak tradisional. Isti­lah yang lebih lazim dipakai ialah “misi/misioner/misionaris”, entah “misi intern” (tertuju kepada umat Kristen/Katolik sendiri) entah “misi ekstern” (tertuju kepada orang luar, khususnya mereka yang belum pernah “diinjili”. “Misi” ialah perutusan untuk secara tegas eksplisit mewarta­kan Injil pertobatan dan Injil penyelamatan kepada orang lain, khususnya orang di luar lingkup umat Kristen/Katolik.

Ayat Injil yang biasa dikutip untuk mendukung “misi” itu ialah Matius 28:19: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptiskanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Dan ayat itu diteruskan (ay 20): “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperin­tahkan kepadamu.” Seolah-olah digariskan tiga langkah dalam proses menjadi Kristen:

<1> Pemberitaan Injil, yang ditanggapi dengan iman dan pertobatan

<2> Upacara Inisiasi yang menggabungkan orang dengan paguyuban Kristen;

<3> Katekese yang memperdalam iman dan perwujudannya.

Sungguhpun berbeda sedikit, nas-nas yang sejalan dengan Matius 28:19-20 ditemukan dalam Markus 16:15-18; Lukas 24:27; Kisah 1:8.

Apa yang sedikit menarik perhatian ialah: Pesan misi yang tegas itu diletakkan di mulut Yesus yang dibangkitkan. Perjanjian Baru sadar, bahwa Yesus selagi hidup di bumi hampir tidak pernah pergi memberitakan Injil kepada orang di luar umat Israel (meskipun mereka berkediaman di Palestina, bandingkan Yohanes 7:35). Yesus juga tidak mengutus murid-muridNya kepada bangsa-bangsa lain (Matius 10:5-6; 15:24). Di akhir jaman barulah bangsa-bangsa lain akan bergabung dengan umat Allah (Israel) (bandingkan Matius 8:11; Lukas 13:29). “Misi universal” sebe­narnya adalah hasil dan kesimpulan dari seluruh kehidupan dan karya Yesus, termasuk wafat dan kebangkitanNya, yang membuka akhir jaman, jaman akhir.

Tentu saja istilah “evangelisasi” yang relatif baru itu tidak mau menyangkal “misi” tersebut, tetapi mau menggarisbawahi segi tertentu pada pemberitaan Injil. Injil tidak hanya perlu diterima dengan otak dan hati pribadi atau perorangan, serta pertobatan tidak boleh dipersempit menjadi perkara batiniah belaka. Injil semestinya meresap ke dalam dan turut menentukan seluruh keberadaan manusia (beriman), baik secara perorangan maupun dalam kebersamaan. Dan selanjutnya melalui umat beri­man Injil perlu meresap ke dalam “kebudayaan” dan masyarakat pada umum­nya (bandingkan Evangelii Nuntiandi no 18; Redemptoris Missio, no 44).

Kiranya bukan maksud Evangelisasi mau menciptakan suatu “kebudayaan Kristen”. Sebab memang tidak ada suatu “kebudayaan Kristen”. Bila dewasa ini orang banyak berkata mengenai “inkulturasi” dan “kontekstualisasi” Injil (dan Gereja), maka cara bicara itu sudah mengimplikasikan bahwa Injil dan iman Kristen tidak menciptakan suatu kebudayaan baru, Kristen, yang seragam. Bahkan kebudayaan Barat di jaman pertengahan, waktu kek­ristenan di atas angin, tidak boleh disebut “kebudayaan Kristen”. Iman Kristen hanya salah satu unsur, meski unsur pra-dominan sekalipun, dalam kebudayaan itu. Apalagi suatu “kebudayaan Kristen” mustahil adanya dalam suatu dunia dan masyarakat yang pluralistik, seperti antara lain ditemu­kan di Indonesia. “Mengevangelisasi kebudayaan” hanya dapat berarti: Melalui orang dan umat beriman - yang keberadaannya turut ditentukan oleh iman Kristen dan Injil Pertobatan dan Injil penyelamatan - membuat injil itu sebagai salah satu unsur yang turut menentukan kebudyaan dan masyarakat pada umumnya. Iman Kristen dan Injil memang pertama-tama perkara pribadi dan perorangan, tetapi - tanpa menjadi ideologi totali­ter yang menentukan segala sesuatu - iman dan Injil mempunyai segi dan sosio politis dan bahkan ekonomis.

Perjanjian Lama memang bertendensi menjadi “totaliter” dan mencipta­kan suatu kebudayaan khusus, kebudayaan nasional-Israel. Dalam Perjanji­an Lama tercantum “Hukum Taurat”, sebenarnya beberapa kitab hukum yang mengatur seluruh masyarakat, mirip dengan syariat umat Islam. Salah satu perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru justru terletak dalam kenyataan bahwa Perjanjian Baru tidak memuat semacam “Hukum Taurat Kristen”. Dan umat Kristen, yang menerima Perjanjian Lama sebagai firman Allah, agak segera tidak merasa diri terikat oleh Hukum Taurat yang tercantum di dalamnya dan dinilai firman Allah. Khususnya Santo Paulus menyadari bahwa firman Allah yang berupa Hukum Taurat sebagai tata hukum nasional Israel tidak berlaku untuk bangsa-bangsa lain yang percaya kepada Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat.

B. Baru

Boleh dipertanyakan: Apa maksud kata sifat “baru”: yang sejak tahun 1990 suka dibubuhkan pada kata “evangelisasi”? Barunya terletak di mana? Apakah maksudnya: Kembali mengevangelisasi bangsa-bangsa yang pernah dievangelisasi, tetapi entah tidak cukup mendalam, entah bekasnya sudah hilang, atau sedang menghilang (bandingkan Redemptoris Missio, no 33)? Misalnya: Amerika Selatan (Latin) dan kepulauan Filipina sudah kurang lebih 500 tahun “dievangelisasi” dan secara formal dan menurut statistik penduduknya boleh dikatakan: Kristen-Roma-Katolik. Tetapi sebagian besar hanys secara statistik. Banyak orang Katolik di kedua tempat itu tidak mempraktekkan iman Kristennya. Di bawah payung Gereja teruslah hidup dan subur berkembang macam-macam agama asli, agama kosmis. Gejala yang sama terdapat juga di Indonesia. Di wilayah tertentu disinyalir, bahwa rakyat memang secara massal menjadi Kristen (entah Katolik entah Protestan), tetapi tidak sedikit di antara mereka dengan tenang meneruskan dan menghayati agama nenek moyang, agama tradisional yang melebur dengan adat. Orangpun boleh berpikir pada kawasan Eropa Barat, yang ratusan tahun secara formal Katolik dan kemudian entah Katolik entah Kristen-Protestan. Tetapi akibat gejala “sekularisasi” (yang nyatanya memang “sekularisme”) Eropa semakin kehilangan ciri KRistennya, menjadi atheis praktis (ataupun teoritis). Maka dirasakan Eropa perlu dievangelisasi kembali, meskipun pimpinan Gereja di sana rupanya belum tahu juga bagai­mana caranya.

“Evangelisasi Baru” juga dapat diartikan sebagai: mengobarkan kembali semangat misioner umat Kristen-Katolik, yang antara lain oleh Paus Yohanes Paulus II dinilai merosot dan lesu (Redemptoris Missio no 2,4). Dewasa ini kekristenan Roma Katolik, secara proporsional (persentual) terus menciut dan merosot. Di Amerika selatan puluhan juta orang yang secara formal “katolik”, masuk Protestan (Pentekosta). Sementara itu agama-agama besar lain mengalami suatu kebangkitan. Bila dulu berciri regional, kini mulai merambat ke mana-mana dan mendapat penganut. SAtu-satunya agama yang menjelang akhir abad XX ini mencatat suatu kemajuan real ialah agama Islam. Sebaliknya, rasa-rasanya kekristenan gerejani, paling tidak pada umat Kristen di kawasan barat, mengalami suatu krisis identitas, merosot dan semangatnya lesu. Dalam rangka itu “evangelisasi baru: dapat diartikan: Membendung kemerosotan, mengobarkan semangat misioner (dan rasuli) guna membuat Injil (dan Gereja) kembali meluas dan mempengaruhi kebudayaan dan masyarakat sedunia. Rupa-rupanya Paus Yo­hanes Paulus (Redemptoris Missio no 2).

Hanya boleh dipertanyakan: apakah “evangelisasi baru”: yang digerak­kan oleh semangat tradisional yang kembali berkobar-kobar akhirnya dapat berhasil. Untuk sementara waktu kegiatan misioner itu barangkali dapat ditingkatkan, tetapi apakah akan berlangsung lama dan menghasilkan apa yang diharapkan? Konsili Vatikan II (Ad Gentes, 1965), Paus Paulus VI (Ecclesiae Sanctae, 1966; Evangelii Nuntiandi, 1975) berusaha menyalakan semangat dan kegiatan misioner tradisional. Begitu juga Paus Yohanes Paulus II (Redemptoris Missio, 1990). Apakah usaha-usaha dari pemimpin Gereja itu menunjukkan hasil yang positip?

Perlu diselidiki mengapa “semangat misioner”, seperti dipahami sejak abad XVI, mundur dan merosot. Di balik kelesuan tersebut mungkin tersem­bunyi sesuatu yang lain yang lebih dasariah.

“Misi/evangelisasi” sejak abad XVI (zaman kolonial) diartikan sebagai suatu kegiatan, aktivitas khusus yang terorganisasi dan ditangani oleh lembaga-lembaga khusus (terutama tarekat-tarekat kaum religius dalam Gereja) untuk memberitakan Injil sampai ke ujung bumi. Kekristenan di kawasan barat bersama tentara, pelaut dan pedagang dan didukung oleh negara (raja-raja) mengutus “misionaris-misionarisnya”, guna mentobat­kan, mengkristenkan dan (seringkali) “membudayakan” (ala barat) bangsa-bangsa “kafir” (yang dianggap masuk neraka kalau tidak dibaptis). Biasa­nya kiatnya sebgai berikut: mentobatkan dahulu para penguasa (raja-raja, kepala suku, tuan-tuan feodal, yang kerap juga secara politis-militer ditaklukkan oleh penguasa politis negara asal misionaris). Para penguasa ini lalu mentobatkan (dengan paksaan) bawannya. Memang kiat itu sudah dipakai sejak agama Kristen menjadi agama negara (Roma) pada abad IV. Setelah secara demikian “dikristenkan” (sering tanpa keyakinan pribadi dan mendalam) rakyat selanjutnya “digarap” oleh para petugas Gereja. Hasil penggarapan itu tidak selalu amat menggembirakan, akibat “kekuran­gan imam” (keluhan tradisional). Kiat semacam itu sampai pertengahan abad XX masih tersebar luas: mentobatkan orang berkuasa (dan berduit) yang kemudian “mentobatkan” mereka yang kurang lebih bergantung pada mereka.

“Misi” dengan cara demikian, yang ditangani oleh tarekat-tarekat kaum religius (atau organisasi, lembaga khusus di kalangan Reformasi), yang barangkali justru didirikan untuk “missio ad gentes” (penginjilan kepada “orang-orang kafir”) sudah muncul pada abad XIII-XIV. Di jaman itu bangsa Mongol dari Asia tengah menyerbu ke Timur (sampai Cina) dan Barat (th 1211-1368), mengancam baik umat Islam maupun umat Kristen di kawasan Eropa. Umat Islam yang sudah ratusan tahun mengepung Eropa untuk semen­tara waktu dapat dilumpuhkan. Kekristenan di kawasan Barat, tidak segan berusaha bersekutu dengan bangsa Mongol untuk menghancurkan umat lain secara politis-militer. Serbuan bangsa Mongol itu membuka isolasi Eropa baik untuk perdagangan internasional maupun unuk “misi”. Fransiskus Asisi pada th 1221/1223 sebagai yang pertama mencantumkan Pedoman Hidup para pengikutnya untuk memberitakan Injil dengan perbuatan dan perka­taan. Maka para “misionaris” (Fransiskan, disusul Dominikan, Karmelit) menyebar ke kawasan timur sampai di daratan Cina, tempat ditegakkan hirarki lengkap Gereja. Tentu saja di kawasan itu, sampai di Cina, Kekristenan sudah lama tersebar. Tetapi oleh karena Kekristenan itu berupa Nestorian, oleh “misionaris” dinilai “bidaah”, “skismatik”, yang sebaiknya disingkirkan. Tetapi oleh karena “misi” itu bertumpu pada para penguasa (asing) politis (Mongol), maka semua hancur berantakan waktu bangsa Mongol secara politis-militer kehilangan kuasa dan peranannya.

“Misi”, yang dilaksanakan tanpa duungan dari pihak penguasa politis-ekonomis dapat menemukan modelnya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Sungguhpun ada tokoh-tokoh lain (seperti Filipus, Kisah 8; Barnabas, Kisah 13:3-14.23; 15:39; Apolos, 1 Korintus 1:12; 3:4 dst; 16:12; Kisah 18:27 dan rasa-rasanya Petrus sedikit; Galatia 2:9-11; 1 Korintus 1:12; 3:22; 9:5), orang yang paling menonjol dalam Perjanjian Baru ialah Paulus. “Rasul misionaris” itu berkeliling ke mana-mana di kawasan negara Roma di sekitar Laut Tengah tanpa kenal lelah atau istirahat. Cukuplah orang membaca kesaksian Paulus sendiri dalam Roma 15:16-24; 1 Korintus 9:19-22; 2 Korintus 11:23-26.

Apa yang dalam rangka itu cukup mengherankan ialah: Menurut Kisah 8:1.14; 9:27; 15:2, para rasul (12) kecuali Petrus (dan Yohanes) tidak pergi ke mana-mana memberitakan Injil. Seolah-olah mereka tidak mentaati perintah Tuhan (Matius 28:19-20). Mereka tinggal di Yerusalem menunggu kedatangan Tuhan menjelang akhir jaman.

Jadi “misionaris” dengan arti kata tradisional dalam Perjanjian Baru agak langka (bandingkan Kisah 12:2-3). Namun kekristenan pada abad I (jaman Perjanjian Baru) ternyata dengan pesat merambat ke mana-mana. Dalam Perjanjian Baru disebutkan sejumlah besar jemat yang tidak dihu­bungkan dengan kegiatan “misioner” khusus, tetapi seolah-olah secara kebetulan muncul, misalnya: Lida (Kisah 9:32), Yope (Kisah 9:36), An­tiokhia (KIsah 11:19-20), Damsyik (Kisah 9:2.3.10; Galatia 1:17; 2 Korintus 11:33), Tiruts (Kisah 21:4), Ptolomais (Kisah 21:7), Sidon (Kisah 27:3), PUtiopoli di Italia (Kisah 28:14), Roma (Kisah 28:14-15). Memang jauh sebelum Paulus, apalagi Petrus, sampai di Roma kekristenan sudah berakar dalam metropol itu dan membentuk (beberapa) jemaat. Kitab Wahyu 2:8.12.18; 3:1 berkata tentang jemaat di Smirna, Pergamus, Tiatira dan Sardis. Tidak lama kemudian Ignasius, uskup Antiokhia, masih menye­but jemaat di Magnesia, Tralia dan Philadelphia. Darimana semua jemaat (hampir semua) di Asia Depan itu? Dalam Perjanjian Baru tidak ada satu­pun berita bahwa jemaat-jemaat itu berasal dari kegiatan para rasul atau “misionaris” seperti Aplos, Barnabas atau Paulus. Nanti akan menjadi jelas, bahwa kaum awam yang berkeluarga kerap menjadi pangkal sebuah jemaat dan itu cukup menjelaskan duduk perkaranya.

Orang mendapat kesan bahwa selama pertengahan kedua abad XX ini (akhir jaman kolonial dan awal jaman “mondial”) semakin disadari bahwa “misi” seperti ditangani khususnya di jaman kolonial tidak lagi sesuai dengan situasi nyata dan tidak mungkin begitu saja diteruskan. Perlu dicari sesuatu yang baru untuk melaksanakan “pesan misi”, yang tercantum dalam iman Kristen. Suatu gejala yang berkaitan dengan situasi ini ialah munculnya gagasan “dialog antar umat/agama”. Gagasan itu turut dilontar­kan oleh pimpinan tertinggi Gereja Katolik. Hanya mesti diakui, bahwa belum serba jelas apa yang oleh pimpinan itu dimaksudkan dengan istilah “dialog”. Gagasan itu dianggap sesuai dengan pendirian konsili Vatikan II yang berusaha secara positip menilai dan mendekati agama-agama lain. Tampaknya sebuah dialog yang sungguh-sungguh dialog yang jujur sedikit sukar didamaikan dengan kegiatan misioner agresip seperti yang menjadi tradisional. Jangan sampai terjadi bahwa “dialog” hanya suatu siasat yang kurang lebih mengelabui penganut agama-gama lain, oleh karena dialog itu sebenarnya hanya sebuah monolog dari pihak umat Kristen. Kalau demikian, “evangelisasi baru: sebenarnya “misi lama” yang memakai nama baru dan wajah yang lebih manis, tetapi tidak merubah ciri corak­nya. “Kelesuan semangat misioner” yang dikeluhkan kiranya tidak akan berkurang.

Tentu saja “pesan misi” tetap termaktub dalam Alkitab, umat KRisten terus wajib memberikan kesaksian, memberitakan Injil dan mengevangelisa­si dunia. Soalnya ialah: bagaimana caranya, bagaimana kiatnya yang sesuai dengan situasi nyata? Jika orang berkata mengenai “evangelisasi baru”, maka sifat “baru” dari evangelisasi itu mesti dicari dalam me­tode, cara, kiat mengabarkan Injil dan meresapkannya ke dalam masyarakat manusia yang pluralistik, macam-macam agama dan ideologi serta bentuk dan rupanya. Dalam dunia dan masyarakat itu Injil yang secara tegas diterima dan kurang lebih utuh diwujudkan oleh umat Kristen katolik hanya dapat menjadi salah satu unsur dalam kebudayaan dan masyarakat pluralistik. Pengaruhnya dapat kurang atau lebih luas mendalam, tergan­tung pada bobot orang dan umat Kristen dan perannya dalam masyarakat luas. Suatu dunia yang seluruhnya Kristen-Katolik kiranya suatu utopia yang tidak realistik, tetapi mesti mendorong umat Kristen untuk tetap berusaha dengan sadar bahwa tidak pernah sepenuh-penuhnya dapat berha­sil.

II. KELUARGA DAN EVANGELISASI BARU

Dapat diduga bahwa di masa mendatang evangelisasi dunia tidak lagi terutama mesti ditangani oleh lembaga dan organisasi misioner yang khusus (tarekat-tarekat kaum religius di kalangan Gereja katolik, lembaga-lembaga penginjilan di kalangan Reformasi). Dan pendekatan “baru” itupun didukung oleh Alkitab.

A. KAUM AWAM YANG BERKELUARGA TULANG PUNGGUNG JEMAAT KRISTEN

1. Paham Keluarga

Orang tidak melanggar kebenaran historis dengan mengatakan, bahwa selama tiga abad pertama keberadaannya di dunia ini Injil terutama disebarkan dan kekristenan merambat berkat kaum awam, mereka yang biasanya berkeluarga. Memang, kecuali Mat 19:12; 1 Korintus 7:25 dst dan 1 Timotius 5:9 dst, Lukas 20:35, yang mengenal suatu bentuk hidup Kristen bujangan atau wadat, Perjanjian Baru pada umumnya mengandai­kan bahwa orang Kristen menikah dan berkeluarga seperti orang-orang lain. Cara hidup itu dinilai “normal” dan positip; oleh Matius 19:12 malah dinilai sebagai tanda kehadiran Kerajaan Allah di dunia ini. Boleh dibaca misalnya beberapa nas khusus yang menyajikan semacam pedoman atau “tata tertib” keluarga Kristen (Efesus 5:22-6:9; Kolose 3:18-4:6; Titus 2:1-10; 1 Petrus 2:18-3:7). Para petugas jemaat diandaikan berkeluarga (1 Timotius 3:2.4.12; Titus 1:6; 1 Korintus 9:5).

Kalau Perjanjian Baru dan Alkitab pada umumnya berkata tentang “keluarga”, maka apa yang dimaksud adalah: keluarga besar, bukan keluarga inti (mencakup suami isteri serta anak-anak yang belum dewasa). Keluarga inti semacam itu barulah muncul pada abad XVII terutama di kawasan Barat. Yang biasa dalam Alkitab justru “keluarga besar”, yang mencakup suami-isteri, anak-anak, kakek-nenek, pembantu dan orang lain yang bergantung pada keluarga itu. Tatanan keluarga demikian adalah patriarkhal: Bapa/kepala keluarga laki-laki mempunyai wewenang untuk mengatur segala. Tentu saja model keluarga semacam itu yang melatarbelakangi Kitab Suci tidak boleh dinilai sebagai satu-satunya model yang dapat diterima oleh umat beriman. Model lain, seperti keluarga inti tersebut, mungkin pula. Keluarga bukan ciptaan iman Kristen-Katolik, yang menerima keluarga sebagaimana ditemukan dalam masyarakat dan yang sedikit banyak turut dikristenkan.

2. Keluarga sebagai tulang punggung jemaat

Kaum awam berkeluarga selama tiga abad pertama kekristenan menja­di penyalur utama tradisi iman Kristen, penyebar Injil dan penganjur evangelisasi. “Misionaris” profesional, mubalig Kristen, seperti Paulus tetap langka sekali. Suatu lembaga atau organisasi “misioner”, mirip dengan tarekat-tarekat kaum religius sejak abad XVI belum ada dan belum dipikirkan. Para “apologet” selama tiga abad pertama itu lebih sebagai “pembela” kekristenan terhadap kritik yang dilontarkan para cendekiawan kafir serta rasa curiga negara ataupun pengecam kekafiran, daripada penyebar Injil ke dalam masyarakat. Mereka bukan­lah “misionaris”.

a. Keluarga Menerima Evangelisasi

Beberapa kali dalam Perjanjian Baru ditemukan ungkapan: “Jemaat di rumah orang tertentu” (Roma 16:5; 1 Korintus 16:19; Kolose 4:15; Filemon 2). Terjemahan Latin mengalihbahasakan ungkapan itu dengan “ecclesia domestica” (gereja rumah!). Dari situ berasallah pandangan (yang sebenarnya tidak tepat) bahwa suatu keluarga Kristen menjadi suatu “gereja kecil” (ecclesiola). Gereja besar atau kecil berdasarkan iman dan bukan hubungan wajar yang menjadi dasar suatu keluarga, termasuk keluarga Kristen. Konsili Vatikan II dan khususnya Paus Yohanes Paulus suka memakai istilah “keluarga sebagai Gereja kecil”.

Yang dimaksudkan Perjanjian Baru dengan ungkapan tersebut, ialah: jemaat setempat, yang kurang lebih besar, berkumpul di rumah/keluarga anggota (terkemuka dan berada). Keluarga besar itulah yang menjadi pusat dan poros seluruh jemaat itu. Tuan rumah kiranya kurang lebih bertindak sebagai pemimpin perkumpulan jemaat itu. Bacalah khususnya Filemon 2, yang paling jelas men­gungkapkan hal itu.

Demikian pula beberapa kali tercatat dalam Perjanjian Baru, bahwa salah seorang dengan “seisi rumahnya” menjadi percaya, masuk Kristen. Seisi rumah ialah keluarga besar, yang disebut di muka: suami-isteri, anak, saudara-saudara, budak, pembantu dan sebagainya (bandingkan Kisah 10:2.24.48; 11:14; 16:15.31; 18:8 1 Korintus 1:16). Diandaikan bahwa, bila kepala keluarga masuk Kristen semua bawahannya ikut masuk Kristen, sebagaimana sesuai dengan struktur patriarkhal keluarga Yunani. Tentu saja orang juga secara pribadi, lepas dari salah satu keluarga, dapat masuk Kristen. Lalu sebagai orang Kristen menggabungkan diri dengan jemaat yang berpusatkan salah satu keluarga.

Keluarga Kristen macam itulah yang menjadi pusat, poros dan tulang punggung jemaat setempat. Dan dengan demikian kaum awam yang berkeluarga mesti disebut sebagai “tenaga inti jemaat” dan bukan “imam, suster dan bruder” seperti biasa dikatakan tentang peranan mereka dalam Gereja Katolik di Indonesia.

b. Keluarga yang “berevangelisasi”

Dalam surat-surat “katolik” (7 karangan yang agaknya muncul menjelang akhir abad I dan tercantum dalam Perjanjian Baru: surat Yakobus, surat Petrus pertama dan kedua, surat Yohanes pertama, kedua dan ketiga dan surat Yudas) tidak ada bekas dari semangat misioner agresip yang menggerakkan Santo Paulus. Jemaat-jemaat yang dituju oleh karangan-karangan itu mengalami situasi sulit baik di dalam maupun terutama dalam masyarakat luas: diskrimina­si, fitnahan, gangguan dan lain-lain. Jemaat-jemaat itu diajak untuk memberikan kesaksian tentang Injil, menyebarkannya serta meresapkannya ke dalam kebudayaan melalui cara hidup orang Kris­ten sambil mempertahankan jati dirinya sebagai orang dan jemaat Kristen. Khususnya dapat dibaca 1 Petrus 2:9.12.15.17; 3:1-2.9.13-16; 4:4.5.15-16. Surat-surat pastoral (1 dan 2 Timoti­us, titus) tentu saja tahu akan Paulus, sang misionaris (1 Ti­motius 2:7; 2 Timotius 2:9). Tetapi tidak ditemukan suatu anjuran untuk meneruskan karya misioner dengan cara demikian. Apa yang dianjurkan ialah: membina jemaat menjadi semacam mercu suar yang memancarkan kebenaran Injil ke dalam masyarakat sekitarnya.

1 Timotius 3:15-16 memakai suatu gambaran bagus. Jemaat Kris­ten disebut “rumah/keluarga Allah”. Rumah/keluarga Allah itu dibandingkan dengan suatu tugu tinggi (tiang) yang bertumpu pada suatu landasan lebar dan kokoh kuat. Pada landasan itu - menurut 2 Timotius 2:19 - terpahat suratan: “Tuhan (Yesus) mengenal siapa kepunyaanNya”, dan “Setiap orang yang menyebut nama Tuhan (=orang Kristen) hendaklah meninggalkan kejahatan”. Di puncak tugu itu bertenggerlah “Kebenaran”, ialah Injil yang diringkas dalam 1 Timotius 3:16. Dengan demikian jemaat Kristen merupakan semacam mercu suar serentak kenisah Allah, yang dengan Injil bagai lampu sorot, menyinari masyarakat dan menarik orang luar untuk berga­bung dengan Kristus (bandingkan Yohanes 12:32) dan dengan paguyu­ban Kristen, sama seperti jemaat Perdana di Yerusalem yang digam­barkan dalam Kisah 2:46-47 dan yang “disukai semua orang”. Tentu saja agar dapat berperan sebagai mercu suar jemaat mesti terus mempertahankan dan memperkokoh identitasnya sebagai jemaat KRis­ten (1 Timotius 6:2-4:20; 2 Timotius 1:13-14; 2:2; 4:14; Titus 2:9 dst), agar justru sebagai jemaat Kristen berdampak dalam masyarakat. Boleh juga dibaca 1 Timotius 2:2; 5:8.14; Titus 2:8; 3:1-2.8. Tampak bagaimana dengan gaya hidupnya jemaat mempenga­ruhi masyarakat.

Meskipun surat-surat Katolik dan surat-surat Pastoral tersebut tahu akan adanya petugas jemaat, namun jemaat yang menjadi mercu suar itu terbentuk oleh kaum awam yang berkeluarga. Kebudayaan Yunani-Romawi di jaman perjanjian Baru berpusat pada kota dan kota berpusatkan keluarga (besar) terkemuka. Demikianlah pula kekristenan di jaman Yunani-Romawi (sampai abad V) menjadi berpu­satkan kota. Selama kekristenan merupakan suatu minoritas dan kurang lebih dicurigai dalam masyarakat, jemaat-jemaat Kristenpun berpusatkan pada keluarga (terkemuka). Artinya: jemaat-jemaat (yang biasanya tidak mempunya “gereja”, bangunan dan fasilitas lain) terorganisasikan sekitar salah satu keluarga (besar) terke­muka yang mempunyai rumah besar dan mampu menyediakan fasilitas lain yang perlu. Apa yang dikatakan dalam 1 Korintus 11:17 dst tentang jemaat (ataupun boleh jadi beberapa jemaat) yang berkum­pul di satu tempat (bandingkan ayat 20) untuk mengadakan perja­muan Tuhan mempunyai latar belakang semacam itu. Seluruh umat Kristen di kota Korintus datang berkumpul di rumah seorang anggo­ta terkemuka (dan kaya) yang mempunyai rumah cukup besar untuk menampung segenap umat dan yang mampu menyediakan apa yang perlu, termasuk makan dan minum. Paulus mengecam jemaat oleh karena dalam pertemuan itu menyusuplah perbedaan dan diskriminasi sosial (kaya-miskin; merdeka-budak dan sebagainya). Karena itu ia menyu­ruh, agar acara makan-minum (pesta) dihentikan. Perbedaan dan diskriminasi semacam itu tidak sesuai dengan cara inti pertemuan itu, yaitu perjamuan Tuhan.

B. KELUARGA SEBAGAI PENYALUR TRADISI DAN PANGKAL EVANGELISASI

1. Menyalurkan Tradisi.

Sampai abad XX ini keluarga (entah keluarga besar entah keluarga inti) menjadi penyalur utama dan pertama tradisi, khususnya tradisi religius. Keluarga juga merupakan penyalur yang paling mantap dan awet. Pimpinan Gereja Katolik sudah biasa menekankan peranan keluarga itu (bandingkan misalnya Paus Yohanes Paulus II, Catechesi tradendae, no 68 tahun 1979). Perjanjian Lama sudah menonjolkan peranan dan kewajiban keluarga (kepala keluarga) itu untuk meneruskan tradisi religius (bandingkan Yohanes 4:6-7.21-24). Sungguhpun para imam bertugas “mengajar” umat (Imamat 10:11; Ulangan 31:9-10; Hagai 12:11-12; Maleakhi 2:6-7) dan kemudian para ahli Kitab/Taurat menjadi guru rakyat, penentuan Hukum Taurat tetap berlaku dan diutamakan, yaitu Ulangan 6:6-7.12-25. Nas itu menyajikan semacam “pengakuan iman”, yang oleh kepala keluarga mesti diajarkan kepada keturunannya. Kecua­li itu Mazmur 78 menyajikan - berupa lagu - suatu contoh katekese keluarga semacam itu.

2. Pangkal evangelisasi

Umat Israel di jaman Perjanjian Lama tidak melancarkan “misi” dengan arti suatu aktivitas khusus untuk “mentobatkan” orang luar. Di kemudian haripun jarang ada kegiatan misionar khusus (di perantauan), yang biasanya disebut “proselitisme”. Di jaman Perjanjian Baru “da’wah” Yahudi agak intensif dan sedikit banyak berhasil juga, namun oleh Perjanjian Baru dikecam (bandingkan Matius 23:15). Tetapi umat Israel, umat Allah, melalui keluarga selalu dapat saja memasukkan orang luar ke dalam umat Allah dan menyerap mereka sehingga orang luar menjadi setingkat dengan orang Israel asli, keturunan Abraham, Ishak dan Yakub, ahli waris perjanjian. Aturan mengenai upacara (perjamuan) Paskah dalam Keluaran 12:43-49 (bandingkan Bilangan 9:14) jelas mengandaikan bahwa orang bukan Israel setelah bersunat dapat ikut serta dalam upacara kekeluargaan itu. Boleh jadi “orang asing” itu menjadi budak dalam keluarga atau dengan dasar lain menggabungkan diri. Dan dengan demikian orang luar menjadi setingkat dengan orang Israel asli. Dalam selama sejarahnya umat Israel, umat Allah, nyata­nya dengan cara demikian mengasimilasikan cukup banyak orang dan suku asing.

Perjanjian Barupun memberikan kesaksian betapa penting dan memu­tuskan penerusan (tradisi) iman melalui keluarga. Menurut Kisah 16:1 Timotius, teman dan pembantu Paulus, hasil perkawinan campur. Ibunya Kristen keturunan Yahudi dan ayahnya orang Yunani, kafir. Tetapi 2 Timotius 1:5 menegaskan: “Aku (=Paulus) teringat akan imanmu yang tulus iklas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakini hidup juga dalam diri­mu”. Jadi Timotius menjadi percaya berkat tradisi iman yang disalur­kan kepadanya dalam keluarga, tegasnya oleh ibu keluarga, sudah selama dua angkatan, tidak terhalang oleh kepala keluarga (ayah) yang tidak menjadi percaya.

Menarik pula apa yang dikatakan Paulus mengenai keluarga Stefanus di Korintus sebagai berikut: Kamu (=jemaat di Korintus) tahu bahwa Stefanus dan keluarganya adalah orang-orang yang pertama bertobat di Akhaya (propinsi Romawi di Yunani selatan) dan bahwa mereka telah mengabdikan diri kepada pelayanan orang-orang kudus. Karena itu taatilah orang-orang yang demikian (jadi tidak hanya Stefanus) yang turut bekerja keras dan berjerih payah (1 Korintus 16:15-16). Orang mendapat kesan bahwa keluarga Stefanus di kota Korintus menjadi awal dan pangkal segenap jemaat bukan Yahudi, yang memelihara dan menerus­kan dalam keluarganya iman yang diterimanya berkat Paulus, yang hanya “misionaris”, yang singgah sebentar tetapi tidak membangun sebuah jemaat. Peranan yang sama rupanya dipegang sepasang suami isteri Yahudi, Akwila dan Priska, bagi jemaat orang Kristen Yahudi di kota Korintus (1 Korintus 16:19; Roma 16:3; 2 Timotius 1:19; Kisah 18:2.28), dan yang menurut Kisah 18:26 aktif dalam evangelisasi juga.

Dapat juga dibaca Kolose 3:5-6. Setelah disajikan semacam “pedoman rumah tangga Kristen” (Kolose 3:18-4:1) menyusullah ajakan ini: “Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakan­lah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang”. Maka begitulah keluarga Kristen “bercahaya di antara mereka (bukan Kristen) seperti bintang-bintang di dunia” (Filipi 2:15).

Dengan demikian jelas pula bahwa keluargalah yang (dapat) menjadi pangkal penginjilan dan tidak hanya penerus tradisi iman rasuli di dalam lingkup keluarga saja. Di muka sudah dikatakan bahwa kerapkali sebuah jemaat berkembang sekitar salah satu keluarga (Stefanus, Akwila/Priska di Korintus; Filemon di Kolose (Filemon 1-2.5), barang­kali Aristobolus dan Narsisus (Roma 16:10.11), Patrobus, Hermes dan Olimpas (Roma 16:14.15).

Tiga abad lamanya Injil disebarluaskan dan merasuki masyarakat melalui kaum awam yang berkeluarga semacam itu. Memang masyarakat Yunani-Romawi di jaman Perjanjian Baru dan sesudahnya cukup mobil. Negara Roma menjamin keamanan dan menyediakan sarana komunikasi (pelayaran di Laut Tengah, jalan-jalan raya). Ada suatu kebudayaan bersama (Yunani) yang memayungi berbagai kebudayaan setempat, dan ada satu bahasa (Yunani) yang kurang lebih dimengerti di mana-mana. Terjadi banyak perpindahan: tentara, pegawai negeri, pedagang, pe­laut, budak pindah dari satu kota ke kota lain. Melalui mereka serta keluarganya injil diam-diam masuk ke mana-mana dan mulai merubah masyarakat.

3. Keadaan berubah.

Pada abad IV (312, sejak kaisar Konstantinus) situasi berubah. Negara Roma menjadi sadar bahwa masa depan terbuka bagi agama Kris­ten, yang sudah menjadi suatu unsur sosio-politis serta ekonomis yang tidak dapat disingkirkan, bahkan sebaik-baiknya dijadikan “asas tunggal” negara dan masyarakat Roma. Maka negara menjadi pendukung agama Kristen, yang menjelang akhir abad IV dijadikan “agama negara”. Lalu negara mengambil alih karya penyebaran Injil dan Evangelisasi masyarakat. Orang-orang dan bangsa-bangsa “ditobatkan” dengan sarana yang sesuai dengan negara, yaitu: tekanan sosio-politis serta ekono­mis, paksaan militer dan diplomasi. Peranan keluarga dalam penyebaran Injil dan evangelisasi mundur dan hampir-hampir saja hilang.

Hal ini disebabkan antara lain oleh karena terlalu banyak orang masuk Kristen tanpa keyakinan pribadi, tetapi demi kepentingan poli­tis, sosial dan ekonomis. Orang yang tidak Kristen dianggap menjadi warga negara kelas dua atau kelas tiga. Orang tidak hanya oleh negara diharuskan beragama, tetapi beragama Kristen “ortodoks”. “Disiden” (=pembangkang) tidak ditoleransi oleh negara yang melebur dengan Gereja. Dan mereka yang kurang lebih terpaksa masukKristen (dibaptis) tentu saja tidak membangun suatu keluarga yang dalam masyarakat dapat berperan sebagai “mercu suar” yang memancarkan terang Injil dan tidak menjadi pangkal evangelisasi dan dalam Gereja tidak menjadi inti dan poros seluruh jemaat.

Maka karya “evangelisasi” diambil alih oleh “aparat”, para petugas Gereja merangkap pegawai negeri, yaitu selama Gereja dan masyarakat/negara melebur menjadi satu. Muncul suatu prinsip yang bisa mempertahankan diri sampai dengan jaman Reformasi, yaitu: Cuius religio, illius est religio. Rakyat/bawahan menganut agama penguasa politis. Sejak mulai abad XVII Gereja dan negara semakin terpisah, aparat Gereja (khususnya tarekat-tarekat kaum religius dan di kalan­gan Reformasi lembaga-lembaga Misioner khusus), menangani karya misioner/evangelisasi. Baiklah diingat bahwa lembaga misi di pusat Gereja Katolik (Congregatio de Propaganda Fide) baru didirikan pada tahun 1622. Sebelumnya “misi” menjadi urusan negara.

C. KEMBALI KEPADA KELUARGA?

Di muka sudah diutarakan bahwa jaman “misi seperti khususnya dilan­carkan sejak abad XVI agaknya sudah berakhir. Untuk sementara waktu karya misioner gaya lama kiranya masih akan diteruskan, paling tidak di sebagian dunia ini (antara lain di Indonesia). Bahkan ada usaha mengga­lakkan semangat misioner yang menjadi motor karya misioner tersebut, yang mempertaruhkan amat banyak orang dan dana dengan hasil yang relatif kecil. Walaupun karya misioner itu kini disebut menjadi “karya evange­lisasi”, namun pada dasarnya tidak berubah. Maksudnya, karya misioner cukup agresif ditangani oleh “misionaris profesional” dan lembaga/orga­nisasi khusus. Situasi dunia, masyarakat dan umat Kristen selama abad XX mengalami perubahan yang begitu besar dan mendalam, sehingga karya misioner tersebut begitu saja tidak dapat diteruskan dan mesti ditinjau kembali.

Boleh ditanyakan apakah keluarga Kristen kembali (seperti selama tiga abad pertama) dapat menjadi penyebar Injil dan pangkal evangelisa­si? Ada tokoh penting yang berpikir ke arah itu.

1. Dukungan moril

Baiklah kami kutp apa yang pada tahun 1992 dikatakan oleh Batrik Antiokhia, kepala sebuah Gereja Kecil di kawasan tempat agama Islam pradominan, yaitu Gereja Suriah-ortodoks. Nama Batrik itu ialah Ignasius Zakka I Iwas. Beliau berkata: “Memang kita biasa berkata bahwa Santo Petrus mendirikan Gereja di Antiokhis seperti ia mendiri­kan Gereja di Roma. Tetapi sebenarnya kaum awam (yang berkeluarga) yang terlebih dahulu menyebarkan iman Kristen di sana. Kemudian barulah rasul-rasul menyusul. Petrus hanya memberkati karya kaum awam itu. Demikianpun halnya dengan karya penginjilan dewasa ini. Terutama kaum beriman ‘biasa’ yang menginjili dan Gereja (hirarki) memberkati karya mereka’.

Memang benar juga. Sebagai lembaga dan organisasi dengan seluruh aparatnya Gereja kurang lebih terpisah dari “dunia”, dari masyarakat ramai dan tampak sebagai suatu badan tersendiri dan agak tertutup. Gereja itu tetap tinggal di luar “dunia”. Sebaliknya, kaum awam dengan keluarga serta profesinya yang beranekaragam tetap tinggal di tengah dunia dan sepenuhnya terlibat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bila “aparat” Gereja mampu dan kompeten “memberitakan Injil”, kaum awamlah yang melalui kehidupan nyata bersama keluarganya meresapkan Injil ke dalam dunia sebagai suatu unsur yang turut menentukan segala sesuatu.

Paus Yohanes Paulus II (bandingkan Familiaris Consortio no 52.65.71) sepakat dengan Batrik Ignasius Zakka I Iwa. Sri Paus pun menegaskan bahwa evangelisasi di masa mendatang sebagian besar ber­gantung pada “Ecclesia domestica”, keluarga yang benar-benar keluarga Kristen. Suami isteri Kristen beserta keluarganya, entah keluarga inti entah keluarga besar, mendapat pengutusan (missio) khusus seba­gai rasul yang oleh Kristus diutus sebagai pekerja di kebun anggur­Nya. Keluarga Kristen menjadi suatu paguyuban penginjil yang meman­carkan cahaya Injil ke dalam dunia. Jika ensiklik mengenai misi (Redemptoris Missio) seolah-olah begitu saja mau meneruskan karya misi yang lazim di jaman kolonial dan yang - hemat kami - kurang sesuai dengan situasi rela, maka uraian Sri Paus mengenai peranan kaum awam yang berkeluarga seolah-olah mau menghidupkan kembali karya evangelisasi sebagaimana secara berhasil ditangani selama tiga abad pertama kekristenan.

2. Berbagai Tantangan

Hanya usul tersebut tidak terluput dari masalah. Realistiskah kembali kepada keluarga sebagai pangkal evangelisasi pada abad XX dan seterusnya?

Yang dimaksud bukan masalah (besar) insidental dan situasional yang menyangkut sejumlah besar keluarga Kristen. Yakni, akibat situa­si sosio ekonomis yang terlalu buruk, banyak orang KRisten tidak sanggup membangun dan membina sebuah keluarga sehat dan sungguh-sungguh Kristen, yang sedikit banyak mendekati keluarga ideal, yang bias a menjadi penyalur tradisi iman dan pangkal evangelisasi. Sema­kin mengherankan dan mengagumkan bahwa masih ada juga keluarga yang dalam kemiskinan ekstrim dapat berperan secara demikian, sebagaimana terbukti di Amerika Selatan dalam paguyuban basis yang berkembang di sana, walupun “paguyuban basis” itu seringkali dari ibu dan anaknya perempuan, sedangkan bapak dan anak laki-laki sibuk dengan sesuatu yang lain.

Masalah yang kini dimaksud ialah masalah yang sudah atau akan meliputi semua keluarga, baik Kristen maupun bukan Kristen. Soalnya begini: Akibat industrialiasi, urbanisasi, teknologi dan perkembangan sarana komunikasi sosial (radio, televisi, video, tape recorder, film, surat kabar, majalah dll) keluarga tradisional masuk ke dalam suatu krisis yang cukup payah dan menjadi tergoncang (misalnya nampak dalam jumlah perceraian, yang juga di kalangan Katolik bertambah terus). Ternyata keluarga semakin kurang mampu mengalihkan tradisi, baik tradisi religius maupun tradisi kultural, dari generasi ke generasi. Orang tua, nenek dan kakek sendiri kerapkali kebingungan dan merasa diri tidak mampu lagi mendidik anak-anaknya serta menanam dalam hati mereka nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh nenek mo­yang, termasuk iman Kristen-Katolik. Di dalam dan diluar rumah gener­asi muda menjadi sasaran pengaruh yang sering bertolak belakang satu sama lain. Sejak keicl, antara lain di sekolah yang “sekular” (tidak terkecuali di sekolah yang disebut “katolik”), anak-anak mesti meng­hadapi pelbagai tata nilai yang ditawarkan dengan menggunakan macam-macam sarana yang dipinjam dari sosiologi dan psikologi yang pada dasarnya “tidak religius”. Tata nilai yang ditawarkan orang tua hanya salah satu dan tawarannya kerapkali kurang berdaya guna oleh karena orang tua tidak dapat memakai sarana canggih tersebut. Maka orang-orang muda seolah-olah dapat dan boleh memilih apa yang pada saat tertentu disenangi dan pada hari berikutnya boleh saja diganti dengan sesuatu yang lain yang lebih menggairahkan.

Suasana tersebut semakin meluas ke seluruh dunia sampai ke pelosok yang paling jauh. Bagaimana di jaman pasca modern” semacam itu ke­luarga dapat menjadi penyalur tradisi iman dan pangkal evangelisasi dalam masyarakat? Saingannya banyak dan hebat. Mungkin ada orang yang tahu bagaimana keluarga Kristen dapat menghadapi tantangan serba baru itu dan bagaimana keluarga itu kembali dapat menjadi pangkal evange­lisasi yang benar-benar baru. Kami hanya menyebut soal berat dan tidak berani mengusulkan suatu pemecahan. Suatu tantangan bagi ke­luarga-keluarga Katolik untuk bersama mencari cara dan upaya yang realistik, serasi dan cocok.

C. GROENEN OFM