Tuesday, April 10, 2001

mksn 1991 Menanggapi Sapaan Tuhan




MINGGU KITAB SUCI NASIONAL


MENANGGAPI
SAPAAN TUHAN


BAHAN: GAGASAN PENDUKUNG
untuk
SURAT GEMBALA PARA WALIGEREJA INDONESIA

OLEH: I. SUHARYO, Pr.


LEMBAGA BIBLIKA INDONESIA




HIDUP BERLANDASKAN FIRMAN

DAFTAR ISI

I. Masa Depan Penuh Harapan
1. Cita-cita Konsili Vatikan II
2. Kerasulan Kitab Suci di Indonesia

II. Kesulitan-kesulitan Yang Menantang
1. Paham dasar yang kurang tepat
2. Fundamentalisme Kitab Suci

III. Kitab Suci: Sakramen Allah yang berfirman
1. Wahyu: Allah menyapa manusia sebagai sahabat
2. Tradisi: meneruskan wahyu ilahi
3. Kebenaran dan keslamatan kita
4. Perjanjian Lama
5. Perjanjian Baru

IV. Menjadi Pendengar dan Pelaksana Sabda
1. Sabda Allah penuh kehidupan dan kekuatan
2. Menjadi pendengar dan pelaksana Sabda
3. Dengan pembacaan Kitab Suci, disertai doa.

Penutup
Daftar Kepustakaan

-o0o-

PENDAHULUAN

Usaha untuk mengembangkan kerasulan Kitab Suci di Indonesia sudah dimulai sejak lama, sekitar tahun 1960-an. Berbagai macam usaha dicoba dan dilakukan, dan sedikit demi sedikit usaha itu tampak juga hasilnya. Pada tahun ini untuk kedua kalinya para pemimpin Gereja di Indonesia mengeluarkan Surat Gembala mengenai Kitab Suci. Ini menunjukkan, bahwa para Uskup memberi perhatian yang besar dan kesempatan yang luas untuk berkembangnya kerasulan Kitab Suci, sebagai wujud tanggapan mereka yang dengan jelas dikatakann dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi: "Adalah tugas para Uskup, yang mengemban ajaran para Rasul, untuk membina dengan baik Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka, supaya dengan tepat menggunakan kitab-kitab ilahi..." (Dei Verbum 25).
Sementara itu semakin disadari pula berbagai macam hal yang menjadi halangan bagi Umat beriman pada umumnya, untuk menjadikan Kitab Suci sumber dan kekuatan bagi kehidupan mereka. Salah satu hambatan adalah belum dimilikinya paham dasar yang benar mengenai Kitab Suci. Paham dasar ini sangat menentukan, apakah sabda Allah dimengerti dengan benar atau tidak. Selanjutnya paham dasar ini akhirnya juga menentukan bagaimana sabda Allah berperan dalam kehidupan seseorang. Paham dasar ini dapat kita temukan dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi. Memang harus diakui bahwa dokumen ini, sesudah dua puluh lima tahun dikeluarkan, belum cukup diketahui dengan baik oleh umat pada umumnya.
Tulisan kecil ini mencoba untuk mengemukakan hal-hal yang paling pokok dari dokumen itu. Sebelumnya dikemukakan cita-cita Gereja yang selalu ingin membaharui diri. Dalam pembaharuan Kitab Suci mendapat tempat yang sangat penting, bahkan menentukan. Dicoba juga dengan singkat merumuskan kesulitan-kesulitan yang semakin dirasakan dan menantang. Akhirnya ditawarkan dua cara sederhana yang dapat dipakai untuk membuat Kitab Suci berperan baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan umat basis.
Semoga usaha ini dapat ikut mendorong gerakan yang sudah mulai subur berkembang di dalam Gereja di Indonesia.

***

I. MASA DEPAN YANG PENUH HARAPAN

1. Cita-cita Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II menandai tahapan baru dalam sejarah Gereja. Paus Yohanes XXIII menyebut Konsili ini sebagai peristiwa Pentakosta yang baru. Unsur yang paling penting dalam peristiwa itu adalah transformasi: Gereja yang tertutup mulai menyadari peranan dan perutusannya bagi dunia; murid-murid yang berkumpul ketakutan di ruangan terkunci menjadi pewarta-pewarta dan saksi-saksi kabar gembira keselamatan. Ini semua terjadi berkat daya kekuatan Roh Kudus yang dicurahkan. Roh yang sama menghendaki agar Gereja menjadi "Terang para bangsa" (=Lumen G!!entium) dan komunitas Kristiani yang ikut merasakan "kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar" (=Gadium et Spes). Untuk dapat menanggapi panggilan dan perutusan itu Gereja harus mendengar Sabda Allah (=Dei verbum) dan mengalami kehadiran Tuhan dalam hidupnya (=Sacrosanctum Concilum). Dengan demikian tampak dengan jelas tempat Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi dalam keseluruhan dokumen yang dihasilkan Konsili Vatikan II. Atau lebih penting lagi, peranan Sabda dalam seluruh usaha pembaharuan Gereja yang dicita-citakan oleh Konsili Vatikan II.
Konsili Vatikan II diadakan dalam rangka pembaharuan seluruh Gereja. Gereja ingin memahami dirinya secara baru, lebih mendalam dan utuh. Dari pemahaman yang baru itu diharapkan muncul kehidupan baru yang membuat Gereja mampu melaksanakan peranan sesuai dengan panggilannya di dunia ini, yang dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja dirumuskan sebagai "...di dalam Kristus sebagai sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia" (LG 1).
Sementara itu harus diingat pula, bahwa Gereja bukan pertama-tama suatu lembaga yang dulu didirikan oleh Yesus atau para rasul, akan tetapi adalah umat Allah yang dihimpun oleh sabda Allah yang hidup (PO 4). Gereja adalah umat Allah yang dipangggil dan dihimpun oleh Allah yang bersabda dan berkarya dalam sejarah. Sabda dan karya Allah dalam sejarah, atau dengan kata lain sejarah penyelamatan Allah yang secara sempurna terlaksana dalam diri Yesus Kristus, dinyatakan kepada kita dalam Kitab Suci, Sabda Allah. Dengan demikian jelas sekali bahwa Kitab Suci merupakan dasar bagi kehidupan Gereja dan diharapkan juga menentukan ciri-ciri keberadaannya dalam sejarah. Kesadaran itu secara jelas tampak dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, yang sangat dijiwai oleh Kitab Suci. Kitab Suci tidak dikutip sekedar sebagai hiasan atau untuk membenarkan pandangan yang sudah disusun atau ditentukan lebih dulu. Begitu juga seluruh teologi diharapkan bertumpu pada sabda Allah yang tertulis...sebagai landasannya tetap (DV 24). Bukan hanya teologi, tetapi seluruh bidang dan segi kehidupan Gereja harus dijiwai Kitab Suci (DV 21;24;25). Demikian juga seluruh lapisan dalam Gereja didorong untuk membaca kitab-kitab ilahi untuk memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus, sebab tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus (DV 25).
Dengan hidup berlandaskan sabda, Gereja tidak akan pernah mandeg, tetapi selalu bergerak maju, "tidak berhenti membaharui diri, sampai ia melalui salib mencapai terang yang tak kunjung terbenam" (LG 9). Kalau demikian setiap segi kehidupan yang diperjuangkan, setiap keputusan dan pilihan yang diambil sungguh diperjuangkan dan diambil berdasarkan atau sesuai dengan semangat Yesus Kristus yang terungkap dalam Kitab Suci. Lalu Kitab Suci sungguh-sungguh menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan umat Kristen, sebagaimana dikatakan dalam Dekrit tentang kerasulan Awam: "Hanya dalam cahaya iman dan dalam renungan sabda Allah, seorang selalu dan dimana-mana dapat mengenal Allah, dalam siapa kita hidup, bergerak dan ada (Kisah 17:28); dapat mencari kehendak-Nya dalam tiap kejadian, dapat melihat Kristus di dalam orang, baik yang benar dan nilai dari hal-hal duniawi di dalam dirinya dan dalam hubungannya dengan tujuan manusia" (AA 4).

2. Kerasulan Kitab Suci di Indonesia

Cita-cita yang tinggi dan mulia itu tentu saja harus didukung oleh usaha-usaha yang nyata. Sebelum Kitab Suci sungguh mendapat tempat di tengah-tengan kehidupan Gereja, pada segala tingkat dan lapisan dan menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan Kristen, lebih dahulu "bagi kaum beriman kristiani jalan menuju Kitab Suci terbuka lebar-lebar" (DV 22). Untuk itu banyak hal telah diusahakan, baik secara pribadi, maupun oleh lembaga-lembaga Gerejani.
Pada tahun 1971 secara resmi didirikan Lembaga Biblika Indonesia oleh Majelis Agung Waligereja Indonesia (sekarang Konferensi Waligereja Indonesia). Lembaga Biblika secara khusus bergerak di bidang kerasulan Kitab Suci, mulai dengan menyediakan sarana-sarana yang paling dasar (terjemahan Kitab Suci lengkap dengan Deutrokanonika, buku-buku penunjang untuk membantu para pembaca agar lebih mudah memahami Kitab Suci yang mereka baca).
Selanjutnya disadari perlunya suatu "gerakan" yang dapat menggugah semangat dan menyebarluaskan cita-cita. Maka pada tanggal 17-22 Oktober 1976 untuk pertama kalinya diadakan Pekan Konsultasi Nasional Kerasulan Kitab Suci I yang dihadiri oleh para ahli Kitab Suci, wakil-wakil dari berbagai organisasi yang terlibat dalam karya kerasulan Kitab Suci dan mereka yang secara langsung bergerak di lapangan karya kerasulan Dalam pertemuan itu tercetuslah gagasan mengenai Hari Minggu Kitab Suci Nasional, yang sampai sekarang dirayakan setiap tahun pada hari Minggu Pertama dalam bulan September. Diadakannya perayaan tahunan ini merupakan salah satu keputusan para Uskup setelah membahas masalah Pengintegrasian Kerasulan Kitab Suci Dalam Karya Pastoral Gereja Di Indonesia. Untuk mendukung gerakan itu, dilihat mutlak perlunya para penggerak di lapangan.
Dalam Pekan Konsultasi Nasional II yang diadakan pada tanggal 15-18 Mei 1980, muncullah gagasan untuk membentuk Delegatus Kerasulan Kitab Suci di setiap keuskupan. Dalam sidang para Uskup tahun 1982 gagasan tersebut disetujui, yaitu "agar di mana mungkin dalam keuskupan didirikan Panitia Kerasulan Kitab Suci, untuk lebih memperhatikan kerasulan Alkitabiah."
Demikian berbagai usaha yang dilakukan dalam rangka Kerasulan Kitab Suci bermuara pada berkembangnya suatu gerakan. Gerakan ini paling kentara dalam perhatian umum untuk Kitab Suci. Hampir dimana-mana muncul kelompok-kelompok Kitab Suci, sebagai gerakan yang muncul dari bawah. Meskipun tidak sedikit kesulitan yang harus dihadapi oleh kelompok-kelompok ini, harus tetap diakui bahwa melalui kelompok-kelompok seperti ini perhatian terhadap Kitab Suci makin tersebar di antara umat. Liturgi dan kebaktian pada umumnya juga semakin jelas memberi tempat kepada Kitab Suci: dalam liturgi Ekaristi Mazmur antar bacaan berganti nama menjadi Mazmur Tanggapan, yang mengungkapkan tanggapan umat yang beribadat terhadap sabda yang diwartakan; muncul berbagai macam bentuk devosi yang dijiwai Kitab Suci, seperti Rosario berdasarkan Alkitab, Jalan Salib berdasarkan Alkitab. Tidak sedikit pula ditawarkan kursus-kursus Kitab Suci yang tidak pernah kekurangan peminat.
Dalam rangka itu baik diingat kembali usaha Lembaga Biblika Indonesia untuk menunjang gerakan Kitab Suci diantara umat melalui Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Sejak tahun 1977 mulai disebarkan bahan-bahan untuk mendukung gerakan ini. Pada mulanya terbatas pada bahan untuk ibadat sabda dan untuk pertemuan wilayah, ataupun stasi. Lama kelamaan dilengkapi dengan Gagasan Pendukung, Pertemuan Kelompok, Pertemuan Remaja, Bahan Bacaan dan poster. Melalui rangkaian bahan itu mau dibina kesadaran bahwa firman Tuhan adalah sumber daya hidup orang beriman.
Sejak tahun 1981, dengan pengalaman yang sedikit lebih kaya, mulailah dirancang tema-tema yang diharapkan dapat dikembangkan tahun demi tahun. Tema HMKSN tahun 1981 adalah Firman Tuhan Mendewasakan. Tema besar ini digeluti lebih jauh dalam perayaan HMKSN tiga tahun berikutnya: Firman Tuhan Dalam Pertemuan Umat (1982); Firman Tuhan Dalam Hidup Berkeluarga (1983), Firman Tuhan Dalam Hidup Pribadi (1984). Dalam rangkaian itu tampak usaha untuk menyadari bersama, bahwa firman Tuhan merupakan kekuatan, inspirasi untu membangun bukan hanya kehidupan pribadi, tetapi juga kehidupan dalam keluarga dan masyarakat yang lebih luas.
Pertanyaan berikutnya ialah: apakah yang menentukan kedewasaan hidup Kristiani? Kedewasaan Kristiani tampak terutama dalam kadar "pengenalan" orang akan Kristus (Filipi 3:8). Maka umat diajak untuk semakin mengenal pribadi dan misteri Yesus Kristus yang diwartakan secara berbeda-beda dalam keempat injil. Oleh karena itu ditawarkan gagasan-gagasan dari injil markus (1985: Menurut Kamu Siapakah Aku ini?), Injil Lukas (1986: Kabar Baik Untuk Orang Miskin), Injil Matius (1987: Aku Di Tengah Kamu), Injil Yohanes (1988: Perkataan Tuhan Memberi Hidup Sejati).
Sesudah didewasakan dalam pengenalan akan Kristus, tibalah saatnya untuk memberi kesaksian. Kesadaran inilah yang ingin dibina melalui tema HMKSN 1989: Kamu Adalah Saksi-Ku, dengan mendalami Kisah Para Rasul bagian pertama. Pada tahun 1990 ditampilkan seorang tokoh besar dalam sejarah Gereja awal Paulus Rasul Bangsa-bangsa. Umat beriman diajak untuk ikut mewarisi cita-cita dan semangatnya, dan lebih-lebih untuk ikut serta dalam pengalamannya akan Kristus, yang menciptakannya menjadi manusia baru (bdk 2 Korintus 3:18; 4:6). Dalam usaha untuk mewartakan Kristus sebagai kabar gembira yang menyelamatkan, pastilah dijumpai berbagai macam masalah. Surat-surat Santo Paulus dulu ditulis antara lain untuk menanggapi masalah-masalah seperti itu. Pada tahun-tahun yang akan datang, kita diajak untuk mendalami surat-surat Santo Paulus, dengan harapan agar kita dapat belajar menjernihkan berbagai macam persoalan hidup dalam terang iman, sebagaimana dulu dilakukan oleh Santo Paulus.
Luasnya tanah air kita, beragamnya lapisan umat Kristiani di Indonesia dengan latar belakang pendidikan dan budayanya yang berbeda pula, tentu saja tidak memungkinkan tawaran dan ajakan yang dirumuskan dalam tema-tema HMKSN dapat ditanggapi dengan irama dan cara yang sama. Kesulitan ini ternyata justru menantang para penggerak di lapangan, yang tahu persis kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi oleh umat, untuk entah menyesuaikan bahan-bahan itu atau menyediakan bahan-bahan lain, yang lebih sesuai dengan keadaan setempat. Kita patut bersyukur, karena ternyata semangat untuk mencintai Kitab Suci semakin bernyal dan semakin tersebar luas. Semangat yang terus meluas ini menjanjikan suatu masa depan Gereja yang penuh harapan.


***


II. KESULITAN-KESULITAN YANG MENANTANG

Gambaran cita-cita dan masa depan yang penuh harapan diatas langsung harus berhadapan dengan pertanyaan yang sangat nyata: sejauh mana Kitab Suci sudah ditempatkan ditengah-tengah kehidupan Gereja, pada segala tingkat dan lapisan dan sungguh menjadi sumber inspirasi bagi hidup kristen? Atau lebih sempit lagi, sejauh mana kitab suci sudah diterima dan memperkaya kehidupan umat beriman? Pengamatan di lapangan menunjukkan, bahwa ada beberapa macam hambatan yang perlu disadari dan dihadapi.

1. Paham Dasar Yang Kurang Tepat

Ada bermacam-macam jawaban yang diberikan saat pertanyaan: "menurut Anda Kitab Suci adalah..." misalnya: Kitab Suci adalah ajaran ilahi yang diberikan Allah melalui para nabi; kebenaran ilahi yang diturunkan kepada manusia; petunjuk untuk membangun hidup susila; sumber penghiburan, pegangan dan pelita dalam kegelapan. Adanya berbagai macam rumusan tersebut mencerminkan adanya berbagai macam pemahaman mengenai Kitab Suci yang pernah ada dan sekarang masih tetap ada dan sekarang masih tetap ada. Pandangan yang umum dimiliki oleh orang Kristen, yang tidak/belum mendapat pendidikan dasar Kitab Suci adalah bahwa Kitab Suci adalah bahwa Kitab Suci adalah "wahyu yang diturunkan"; atau "pedoman hidup, hasil bisikan Roh Kudus". Pandangan semacam itu mempunyai akar pada sejarah dan budaya yang sangat kuat. Dapat disebut misalnya akar-kebudayaan-religius setempat, khususnya padangan agama Islam mengenai Kitab Suci mereka.
Kecuali itu sejarah Gereja di masa lampau yang pengaruhnya masih sangat terasa sampai sekarang. Lama sekali dalam sejarah Gereja, pembicaraan tentang Kitab Suci bernada negatif, berupa misalnya pembelaan terhadap keragu-raguan tentang kebenaran yang terkandung di dalamnya. Sikap semacam itu masih sangat kuat ketika Konsili Vatikan II mulai membicarakan rencana naskah yang akhirnya menjadi Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi. Yang sekarang kita kenal sebagai lahan panjang dan berbelit-belit dari suatu naskah yang pada awalnya berjudul "Tentang Sumber-sumber Wahyu", yang masih mencerminkan pandangan lama tentang Kitab Suci. Kedua akar ini sangat besar pengaruhnya bagi pemahaman umat Kristen mengenai Kitab Suci dan dengan sendirinya sangat mempengaruhi bahkan menentukan cara umat mengartikan atau menggali isi Kitab Suci. Selama pemahaman umat masih belum lurus, akan tetap sulit untuk sampai kepada keyakinan bahwa Kitab Suci adalah kabar gembira keselamatan Allah.
Pandangan umum bahwa Kitab Suci adalah firman Allah yang diturunkan kepada para nabi, merupakan tanah subur untuk berkembangnya pandangan fundamentalistik terhadap Kitab Suci. Kalau seluruh isi dan kalimat Kitab Suci diturunkan langsung oleh Allah dari atas, maka kebenarannya dalam segala segi, termasuk dari sudut sejarah dan ilmu-ilmu lain, mutlak dan terjamin.
Pandangan umum bahwa Kitab Suci adalah pandangan hidup dapat membuat orang mendekati Kitab Suci sebagai buku yang penuh nasehat, ajaran, petunjuk, peringatan atau teguran. Pandangan semacam itu dapat berkembang subur dengan dukungan budaya setempat, yang memberi tempat sangat penting pada nasehat, pesan praktis dan petunjuk moral. Kalau demikian Yesus dipandang tidak lebih daripada pemberi petunjuk atau contoh hidup yang benar dan baik. Peranan-Nya sebagai Juruselamat atau Yang menyatakan belas kasih Allah, kurang mendapat tempat. Lagi pula petunjuk yang dicari biasanya lebih banyak menyangkut kehidupan dalam lingkup kecil, pribadi, sehingga kabar gembira datangnya Kerajaan Allah tidak dilihat hubungannya dengan panggilan untuk membangun tata susunan masyarakat baru yang menjamin kesejahteraan semua orang.

"Membaca Kitab Suci
Membangun hubungan pribadi dengan Allah"


2. Fundamentalisme Kitab Suci

Pada umumnya istilah fundamentalisme menunjuk suatu sikap dan cara hidup yang berpegang sangat ketat pada suatu ajaran yang dianggap mutlak dan tidak dapat berubah, entah itu Kitab Suci atau suatu sistem ajaran yang lain. Ajaran ini sangat menentukan sikap agama, sosial dan politik seseorang.
Sehubungan dengan Kitab Suci, bagi kaum Fundamentalis Kitab Suci adalah Sabda Allah yang diilhamkan langsung dan harafiah kepada para pengarang (Musa, Yeremia, Paulus dan lain-lain). Karena itu Sabda Allah yang tertulis itu benar dan tidak dapat keliru dalam segi apapun. Selanjutnya Sabda Allah yang benar ini menjadi satu-satunya yang berwibawa bagi mereka.Oleh karena itu kaum Fundamentalis Kitab Suci memandang Gereja sebagai sesuatu yang tidak perlu.
Menurut kaum Fundamentalis, benarnya Kitab Suci dijamin oleh ilham langsung. Pengarang-pengarang Kitab Suci menerima Sabda Allah secara langsung, lepas dari segala pengaruh manusiawi. Sabda itu harus mereka sampaikan kepada umat dan dibukukan untuk angkatan-angkatan mendatang supaya mereka inipun memiliki ajaran Allah yang kekal. Karena disampaikan secara langsung oleh Allah kepada pengarang, maka Kitab Suci benar dari segala segi, tidak dapat keliru dalam hal apapun termasuk data-data sejarah dan pengetahuan penyelidikan ilmiah, kaum fundamentalis berdiri tegak di pihak Kitab Suci, entah dengan menolak hasil penyelidikan ilmiah itu atau mencoba menunjukkan bahwa sebenarnya ada perbedaan.
Karena memuat kebenaran mutlak dan kekal yang diturunkan langsung oleh Allah, maka Kitab Suci ditempatkan sebagai wibawa tertinggi bagi umat sepanjang zaman. Sabda Allah yang terdapat dalam Kitab Suci berlaku dengan cara yang sama untuk semua orang dalam segala zaman. Kaum Fundamentalis tidak mengakui wibawa Gereja untuk mengartikan Kitab Suci. Mereka tidak merasa perlu pula bertanya mengenai maksud pengarang untuk umat pada masanya, dan bagaimana pesan itu dapat diterjemahkan dalam keadaan zaman yang baru. Demikian bagi kaum Fundamentalis, tafsir Kitab Suci tidak perlu. Mereka membaca Kitab Suci sebagai kebenaran yang mutlak dan kekal, yang secara langsung dapat menjawab masalah-masalah yang muncul sekarang ini juga.
Aliran ini ternyata mendapatkan pengikut yang tidak sedikit diantara orang Kristen sekarang ini. Dapat disebut beberapa unsur yang membuat aliran ini menarik, pertama, dengan paham seperti itu Kitab Suci memberikan pegangan yang pasti. Kepastian seperti itu dibutuhkan dan dicari oleh orang-orang yang menjadi bingung mengalami begitu banyaknya perubahan yang terjadi dalam masyarakat, yang tidak jarang membawa akibat-akibat yang negatif; kedua, orang tidak perlu repot dengan macam-macam tafsiran, karena Kitab Suci adalah Sabda Allah yang memuat kebenaran mutlak dan memberikan jawaban langsung untuk masalah saya sekarang; akhirnya, tidak kalah menariknya, adalah semangat besar yang selalu ditunjukkan oleh para penginjil dari aliran ini, yang tidak jarang mengarah pada fanatisme. Dengan semangat yang mereka miliki dan pendekatan-pendekatan yang mereka pakai, mereka banyak berhasil menarik pengikut dengan menguasai perasaan orang, mempengaruhi cara berpikirnya dan pandangan hidupnya.
Terhadap unsur-unsur yang menarik ini, kita dituntut untuk bersikap kritis, misalnya dengan bertanya apakah praktek kehidupan para penginjil itu sesuai dengan yang mereka katakan? Kalau penginjilan mereka sungguh meneruskan kebenaran ilahi yang mutlak, mengapa terjadi begitu banyak perselisihan, yang biasanya berakhir dengan perpecahan dan pendirian jemaat-jemaat baru yang terpisah? Apakah itu bukan tanda bahwa sebenarnya masing-masing orang menafsirkan Kitab Suci "menurut kebutuhannya sendiri", dan kebutuhan itu menggantikan "wibawa" Kitab Suci? Tampaknya tanpa disadari, dalam aliran ini Kitab Suci "digunakan" untuk membenarkan pandangan teologi tertentu yang mereka yakini. Lalu bagian-bagian Kitab Suci yang tidak mendukung penalaran itu atau yang dapat menimbulkan masalah begitu mudah diabaikan. Kalau begitu bukanlah itu berarti "memperalat" Kitab Suci dan tidak membiarkan Sabda Allah makin tersiar dan makin berkuasa? (bdk Kisah 6:7; 12:24; 19:20).
Kiranya jelas, untuk membuat Kitab Suci sungguh menjadi inspirasi pembangunan dan pembaharuan hidup Gereja secara terus menerus, dibutuhkan suatu landasan yang kokoh yang harus dipakai sebagai pedoman untuk memahami pesan-pesan Kitab Suci secara utuh dan benar. Landasan inilah yang diberikan oleh Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi.


III. KITAB SUCI: SAKRAMEN ALLAH YANG BERFIRMAN

Ilmu Tafsir Kitab Suci yang berkembang subur baik dalam lingkungan Katolik maupun Protestan memperlihatkan bahwa kitab-kitab suci disusun dalam sutu proses yang panjang dan melibatkan banyak orang. Allah tidak langsung menyampaikan isi kitab kepada seorang pengarang, tetapi menyatakan diri dan kehendakNya di dalam dunia yang Ia ciptakan dan dalam sejarah yang Ia gerakkan. Pertanyaan itu secara istimewa, sempurna dan utuh terjadi dalam sejarah pribadi Yesus, Sabda menjadi manusia, yang menyatakan Bapa dalam sabda dan karya-Nya, teristimewa dalam wafat serta kebangkitanNya: "Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya..." (Ibrani 1:1).
Allah yang sama masih berbicara dengan kita sekarang ini, melalui Kitab Suci. Maka Kitab Suci dapat disebut "Sakramen Allah yang berfirman", artinya: dengan menggunakan Kitab Suci itu Allah berfirman kepada umatNya. Demikian kalau kita membaca Kitab Suci, yang pertama-tama harus dicari, dirasakan dan dialami adalah Allah yang menyatakan diri dan kehendak penyelamatanNya dalam bagian Kitab Suci tertentu itu; dan proses hubungan pribadi antara Allah dan manusia, yang tidak lain adalah proses penyelamatan. Unsur-unsur untuk membina paham dan sikap seperti inilah yang dikemukakan dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi.

1. Wahyu: Allah menyapa manusia sebagai sahabat....

Kamus Besar Bahasa Indonesia yang terbaru (1988) mengartikan wahyu sebagai "petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para nabi dan rasul, melalui mimpi dan sebagainya". Kata kerja mewahyukan diberi arti memberi wahyu, menurunkan wahyu. Dengan kata lain ada yang memberi (=Allah), ada yang diberi (=nabi, rasul), dan ada yang diberikan (=wahyu). Yang memberi dan diberikan adalah dua hal yang berbeda.
Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi memberikan keterangan yang sangat berbeda. Dalam artikel 2 dikatakan: "Dalam kebaikan dan kebijaksanaanNya... Maka dengan wahyu itu Allah berkenan mewahyukan diriNya dan memaklumkan rahasia kehendakNya... Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan dari kelimpahan cinta kasihNya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabatNya, dan bergaul dengan mereka, untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diriNya dan menyambut mereka di dalamnya.. Melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu" (Bdk DV 4). Dari kutipan di atas jelas, bahwa wahyu adalah Allah sendiri. Wahyu bukan terutama ajaran, apalagi petunjuk. Wahyu adalah Allah sendiri yang menyatakan diri dan rahasia penyelamatanNya. Dalam kutipan tersebut hubungan pribadi yang berciri dialog sangat jelas dirumuskan.
Kalau wahyu adalah Allah sendiri yang menyapa manusia, dari pihak manusia diharapkan itu dituntut tanggapan atas sapaan itu. Tanggapan itu disebut iman. Karena iman dihubungkan dengan wahyu, maka paham tentang imanpun tergantung pada paham tentang wahyu. Kalau wahyu adalah kebenaran yang diturunkan, iman adalah menerima kebenaran-kebenaran itu. Berdasarkan paham Wahyu yang dirumuskan dalam DV 2, Konsili selanjutnya mengatakan: "Kepada Allah yang mewahyukan diri, manusia harus menyatakan ketaatan iman. Dalam ketaatan iman tersebut manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah dengan kepenuhan akal budi dan kehendak yang penuh kepada Allah pewahyu..." (DV5). Sebagaimana dalam paham wahyu ditekankan ciri dan dialogal, demikian pula ciri itu tampak jelas dalam rumusan mengenai iman. Iman adalah sikap penyerahan manusia dalam pertemuan pribadi dengan Allah.
Paham mengenai wahyu dan iman yang dirumuskan oleh Konsili Vatikan II dengan sendirinya langsung berhubungan dengan paham Kitab Suci. Allah menurut keyakinan Kristen, tidak menurunkan apapun secara langsung dari surga. Yesus pun tidak pernah menuliskan pesan-pesan atau ajaran-ajaranNya.Para penulis Kirab Suci adalah orang-orang beriman yang dalam, bersama dan demi jemaat mengartikan peristiwa-peristiwa sejarah, khususnya peristiwa Yesus Kristus, sebagai sapaan Allah yang berkehendak menyelamatkan manusia. Pengertian dan kesaksian inilah yang setelah melalui liku-liku proses yang panjang, akhirnya dituliskan. Memang Kitab Suci dapat disebut wahyu, dengan mengingat paham Kristen tentang wahyu. Wahyu bukanlah kitab tetapi pribadi Allah sendiri yang menjadi nyata bagi manusia dalam diri Yesus Kristus.
Paham dasar mengenai wahyu, iman dan Kitab Suci ini sangat menentukan cara Kitab Suci dipahami dan diperankan dalam kehidupan. Kalau wahyu Allah adalah Allah sendiri yang menyapa manusia, maka Kitab Suci juga harus ditempatkan dalam rangka relasi antara Allah dengan manusia. Maka membaca Kitab Suci tidak terutama bertujuan mencari informasi, melainkan membina relasi. Kitab Suci adalah kabar gembira, bukan karena dengan membaca dan mendengarkannya kita memperoleh lebih banyak pengetahuan, melainkan karena relasi baru yang terbangun oleh sabda - tentu saja tanpa mengecualikan pengertian.

2. Tradisi: meneruskan Wahyu Ilahi

"Dalam kebaikanNya Allah telah menetapkan, bahwa apa yang diwahyukanNya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala keturunan" (DV 7). Pewahyuan diri Allah terjadi dalam sejarah, tidak diturunkan dalam bentuk kitab. Pada mulanya belum ada kitab. Yang ada adalah orang yang dengan iman menangggapi karya Tuhan. Tindakan Allah dalam sejarah Israel ditanggapi dengan iman oleh orang-orang seperti Musa, Daud dan para nabi. Mereka tidak langsung menuliskan semua yang mereka alami dan imani. Mereka hidup dengannya dan menyampaikannya secara lisan. Orang-orang yang mendengarnya, meneruskannya kepada angkatan-angakatan selanjutnya. Demikianlah terbentuk tradisi lisan, suatu tradisi yang hidup dan berkembang. Allah terus menggerakkan orang untuk meneruskan tradisi itu untuk menjawab keadaan dan masalah baru, yang dihadapi setiap angkatan. Dalam Perjanjian Lama, nabi-nabi memegang peranan yang sangat penting dalam meneruskan serta memperdalam tradisi lisan itu.
Hal yang sama juga benar untuk Perjanjian Baru. Yang diberikan oleh Allah ialah Yesus Kristus, Wahyu Allah yang hidup. Yesus membentuk suatu persekutuan dengan tugas untuk memberikan kesaksian tentang diri-Nya melalui hidup dan pewartaan mereka, sesuai dengan keadaan para pendengar mereka. Demikian terbentuk pula tradisi lisan, yang berkembang puluhan tahun lamanya, sebelum adanya tulisan apapun.
Lama-kelamaan tradisi lisan yang hidup berkembang di tengah umat mulai dituliskan oleh beberapa orang. Para penulis ini dari satu pihak mewarisi tradisi umat, tetapi dilain pihak juga dipanggil untuk mengungkapkannya secara baru, sehingga dapat menjawab masalah-masalah umat dengan lebih baik. Di dalam umat Israel, penulisan ini baru terjadi setelah beberapa abad, sedang di dalam umat Kristen terjadi setelah beberapa puluh tahun.
Proses tradisi yang telah mulai pada zaman perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tetap berjalan terus di dalam Gereja yang diterangi Roh Kudus, sampai hari ini, "... Sebab berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman yang menyimpannya dalam hati, merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelaminya secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima karunia kebenaran yang pasti. Sebab dalam perkembangan sejarah, Gereja tiada henti-hentinya menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai terpenuhilah padanya sabda Allah" (DV 8).
Kutipandi atas menjelaskan betapa eratnya hubungan antara Kitab Suci dan Gereja. Kitab Suci tumbuh di tengah umat berkat tindakan Allah di tengah umat dengan menghayatinya dan terus mewartakannya sampai akhirnya dituliskan demi kepentingan umat pula. Meneruskan tradisi tidak berarti mewariskan sesuatu yang beku, tetapi "dalam Tradisi itu Kitab Suci sendiri dimengerti secara lebih mendalam dan tiada hentinya dihadirkan secara aktif" (DV 8). Demikian Kitab Suci dan Gereja berkembang secara bersama-sama, saling menentukan. Hubungan timbal balik itu berlangsung terus dalam sejarah atau tradisi Gereja. Kitab Suci menjadi isi dan norma untuk tradisi gereja, tetapi Kitab Suci harus juga diartikan dalam tradisi Gereja sepanjang jaman.
Berdasarkan paham itu jelas sekali bahwa Kitab Suci tidak dapat dimengerti lepas dari sejarah atau tradisi Gereja yang sejak lahirnya hidup di bawah bimbingan Roh Kudus. Berpegang secara kaku pada rumusan yang terdapat dalam Kitab Suci, tanpa memperhatikan buah usaha Gereja untuk membuat warta Kitab Suci menyentuh kehidupan orang beriman sepanjang zaman, berarti kurang percaya kepada Roh Kudus yang membimbing Gereja itu (bdk DV 10).

3. Kebenaran demi Keselamatan Kita

Kitab Suci terbentuk melalui proses yang panjang dan berliku-liku. Tampak jelas pula bahwa dalam proses itu umat beriman dan para penulis memegang peranan yang ikut menentukan. Kalau demikian, apakah ada jaminan bahwa akhirnya dituliskan dalam Kitab Suci adalah sungguh-sungguh pewahyuan diri Allah dan pemakluman rahasia kehendakNya (bdk DV 2)? Dengan kata lain, adakah jaminan bahwa Kitab Suci sungguh memuat kebenaran? Pertanyaan ini semakin tajam kalau diingat bahwa terdapat tidak sedikit perbedaan atau pertentangan antara tulisan yang satu dengan yang lain.
Persoalan ini harus dijawab dengan mengingat kembali paham Kristen mengenai wahyu. Allah tidak memberitahukan serangkaian kebenaran mengenai diriNya sendiri dan kehendakNya, yang kemudian dicatat dan dituliskan oleh para pengarang Kitab Suci. Ia hadir dan berkarya dalam sejarah umat manusia, dalam kejadian-kejadian yang menyangkut umat manusia, khususnya dalam sejarah umat Allah. Kehadiran dan karya Allah ini menjadi paling nyata dalam diri Kristus, yang adalah "pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu" (DV 2). Tanggapan dalam iman terhadap Allah yang berkarya inilah yang diteruskan sebagai kesaksian iman. Kesaksian iman ini menyatakan kepada umat beriman sekarang, siapakah Allah, bagaimana Ia menyapa manusia sebagai sahabat. Lewat kesaksian iman inilah umat beriman sekarang mengalami karya penyelamatan Allah yang sama, kasih Allah yang sama yang dinyatakan dalam peristiwa kehidupan. Lewat kesaksian ini pula Allah terus-menerus mengundang umat beriman untuk masuk ke dalam persekutuan dengan diriNya (bdk DV 2).
Demikian kebenaran Kitab Suci bukanlah kebenaran positif berkaitan dengan data dan informasi, melainkan kebenaran demi keselamatan kita, Konsili Vatikan II sudah meninggalkan sikap negatif, yakni mempertahankan dengan bayaran apapun "ketidaksesatan" Kitab Suci. Semakin berkembanglah sikap positif yang dilandaskan pada paham dasar mengenai rencana penyelamatan Allah yang memanggil manusia kepada persekutuan hidup dengan diriNya. Berdasarkan paham dasar ini, dapat diberikan keterangan mengenai kebenaran yang jauh lebih luas dan kaya. Yesus bersabda "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup" (Yohanes 14:6). Yesus menyatakan diri sebagai kebenaran, karena Ia adalah jalan menuju Bapa (bdk Yohanes 14:9). Ia juga menyatakan menyatakan Diri sebagai hidup, karena hidup berarti mengenal Bapa sebagai satu-satunya Allah yang benar, dan Yesus Kristus yang mengutus Bapa (bdk Yohanes 17:3). Kitab Suci disebut benar karena melalui Kitab Suci orang sampai kepada Bapa: "Semua yang tercantum disini telah dicatat, supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam namaNya" (Yoh 20:31). Memang dalam Kitab Suci terdapat banyak hal yang bertentangan , ada pula yang jelas keliru menurut kaidah ilmu positif modern. Kekurangan-kekurangan itu bukan merupakan halangan keselamatan manusia, tetapi secara positif dilihat sebagai tanda "turunnya" Allah: "Jadi dalam Kitab Suci sementara kebenaran dan kesucian Allah tetap dipertahankan nampaklah "turunnya" kebijaksanaan yang mentakjubkan, supaya kita mengenal kebaikan Allah yang tak terperikan, dan betapa Ia melunakkan bahasaNya, dengan memperhatikan serta mengindahkan kodrat kita. Sebab sabda Allah, yang diungkapkan dengan bahasa manusia telah menyerupai pembicaraan manusiawi, seperti dulu sabda Bapa yang kekal, dengan mengenakan daging kelemahan manusiawi, telah menjadi serupa dengan manusia" (DV 13).
Adakah jaminan bahwa Kitab Suci adalah jalan yang benar bagi kita untuk berjumpa dengan Allah, dan bukan sekedar pemikiran manusia belaka? Konsili Vatikan II menjawab "Bunda Gereja yang kudus berdasarkan iman para Rasul, memandang kitab-kitab Perjajnjian Lama maupun Perjanjian Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus, dan mempunyai Allah sebagai pengarang serta dalam keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja. Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang , yang digunakanNya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya sementara Dia berkarya dalam melalui mereka sendiri, supaya - sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka, - semua itu dan hanya itu dikehendakiNya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh" (DV 11).
Demikian ditegaskan bahwa yang menjamin kebenaran ialah ilham Roh Kudus. Ilham Roh Kudus tidak berarti bahwa Allah satu kali menyampaikan seluruh isi kepada para pengarang. Ilham juga tidak hanya diberikan kepada para pengarang. Ilham Roh Kudus menyangkut dan menggerakkan seluruh proses perkembangan Kitab Suci, mulai dari tokoh-tokoh yang menanggapi karya Allah dalam sejarah Israel dan dalam Yesus Kristus. Roh juga menggerakkan orang-orang yang meneruskan, merenungkan dan merumuskan kembali pengalaman penyelamatan itu berhadapan dengan keadaan yang baru. Roh ini akhirnya menggerakkan orang-orang tertentu yang hidup di tengah-tengah umat, untuk menuliskan tradisi umat sambil mengolahnya sehingga menjadi pesan penyelamatan yang aktual bagi umat.
Pandangan mengenai ilham Roh Kudus ini bersumber pada keyakinan bahwa Roh Kudus memimpin seluruh perjalanan hidup Gereja. Dan roh ini "akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran" (Yohanes 16:13). Peranan Roh yang khas dalam Kitab Suci dikatakan misalnya dalam 2 Timotius 3:16: "Segala sesuatu yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. "Yang dimaksudkan dengan "segala tulisan" adalah Perjanjian Lama. Ternyata kemudian ketika surat Petrus yang kedua ditulis, surat-surat Paulus yang ditulis "menurut hikmat" sudah disejajarkan dengan tulisan-tulisan Perjanjian Lama (bdk 2 Petrus 3:16).
Kebenaran demi keselamatan umat manusia tidak dirumuskan dalam bahasa yang kekal, yang siap pakai oleh semua orang dari segala zaman. Kebenaran itu disampaikan dalam bahasa - dalam arti seluas-luasnya - sekelompok orang pada tempat tertentu dan zaman tertentu. Maka kebenaran itu selalu harus dimengerti secara baru oleh angkatan-angkatan orang beriman selanjutnya, dengan bimbingan Roh Kudus. Konsili Vatikan II mengatakan "Adapun karena Allah dalam Kitab Suci bersabda melalui manusia secara manusia, maka untuk menangkap apa yang oleh Allah mau disampaikan kepada kita penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan cermat, apa yang sebenarnya mau disampaikan oleh para penulis suci, dan apa yang mau ditampakkan oleh Allah dengan kata-kata mereka... Akan tetapi Kitab Suci ditulis dalam Roh Kudus dan harus dibaca dan ditafsirkan dalam Roh itu juga" (DV 12).

Kitab Suci benar artinya membantu untuk
bertemu secara benar dengan Allah yang benar


4. Perjanjian Lama:
Kesaksian Umat Terpilih yang Disapa Allah

"Setelah pada zaman dahuluAllah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan AnakNya... (Ibrani 1:1). Penulis surat ini memahami seluruh karya Allah sebelum kedatangan Yesus sebagai yang mempersiapkan penyelamatan yang sempurna dalam Yesus. Karya Allah dalam sejarah Israel dan tanggapan Israel terhadap karya Allah itu terbentang dalam sejarah yang mulai sekitar abad ke-19 sebelum Masehi, sampai kedatangan Yesus di dunia ini. Sama seperti karya penyelamatan Allah dalam dan melalui Yesus Kristus menghasilkan sederetan tulisan yang terkumpul dalam Perjanjian Baru, demikian juga karya penyelamatan persiapan dalam umat terpilih menghasilkan tulisan-tulisan yang terkumpul dalam Perjanjian Lama. Karya penyelamatan Allah dalam Perjanjian Lama tidak diganti, melainkan disempurnakan oleh, dalam dan melalui Yesus Kristus. Dengan demikian Perjanjian Baru hanya dapat dipahami berlatar belakang Perjanjian Lama dan Perjanjian Lama hanya dapat dipahami dalam terang Perjanjian Baru.
Kitab Suci Perjanjian Lama dalam endapan suatu proses panjang dialog antara Allah dengan umat terpilih. Maka orang beriman pada zaman ini melalui Perjanjian Lama dapat mengenal Allah, mengenal dirinya sebagai manusia di hadapan Allah dan menilai sejarahnya sendiri dari sudut pandangan Allah. "Maka kitab-kitab itu, yang mengungkapkan kesadaran yang hidup akan Allah, yang mencantumkan ajaran-ajaran luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang peri hidup manusia, perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan, akhirnya secara terselubung mengemban rahasia penyelamatan kita, kitab-kitab itu harus diterima dengan khidmat oleh umat beriman kristiani" (DV 15).


5. Perjanjian Baru:
Meneguhkan Segala Sesuatu Mengenai Kristus


Konsili Vatikan II mengajak seluruh umat beriman untuk semakin memperdalam pengenalan akan Yesus Kristus (bdk Filipi 3:8) dengan sering membaca Kitab Suci, "karena tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus" (DV 25). Dalam kehidupan Santo Paulus pengenalan akan Yesus Kristus ini menjadi titik awal kehidupan yang baru. Yang dulu Ia banggakan, ternyata bukan merupakan nilai kehidupan yang sejati (bdk Filipi 3:5-7). Bahkan dengan kata-kata keras semua itu dianggap sebagai "kerugian", "sampah", "karena pengenalan akan Kristus Yesus Tuhanku lebih mulia daripada semuanya" (Filipi 3:8).
Yesus Kristus inilah yang merupakan pusat dan inti seluruh tulisan Perjanjian Baru. Beberapa kutipan dari Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi dapat menjelaskannya: "Sabda yang berupa kekuatan Allah untuk keselamatan semua orang yang percaya dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru secara istimewa dikemukakan dan memperlihatkan daya kekuatannya" (DV 17); "semua orang tahu bahwa di antara kitab-kitab suci, juga dari Perjanjian Baru, yang menduduki tempat istimewa adalah Injil, karena berupa kesaksian utama mengenai hidup dan ajaran Sabda yang menjadi daging, Penyelamat kita" (DV 18); "Kanon Perjanjian Baru, kecuali keempat Injil juga meliputi surat-surat Santo Paulus serta tulisan para rasul lainnya... menurut rencana Allah yang bijaksana di dalam karangan-karangan itu diteguhkan apa-apa saja yang mengenai Kristus Tuhan, ajaranNya yang asli lebih diterangkan, kekuatan yang menyelamatkan dari karya ilahi Kristus diwartakan, permulaan serta penyebaran Gereja yang mengagumkan diceritakan dan penyelesaiannya yang mulia dinubuatkan" (DV 20).
Dengan membaca Perjanjian Baru orang akan berkembang dalam pengenalan akan Yesus Kristus, sehingga ia berani berkata bersama Santo Paulus, "Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitanNya dan persekutuan penderitaanNya, di mana akan menjadi serupa dengan Dia dalam kematianNya, supaya akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati... aku melupakan apa yang telah dibelakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang dihadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus" (Filipi 3:10-11.14.).


IV. MENJADI PENDENGAR DAN PELAKSANA SABDA

Bagian pertama Konsili Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, yang terdiri dari lima bab, berisi ajaran-ajaran yang bersangkut-paut dengan kitab Suci. Namun Konstitusi itu tidak berhenti pada ajaran. Bagian kedua yang terdiri dari bab enam, berbicara mengenai Kitab Suci dalam kehidupan Gereja. Demikian dari susunan ini jelas bahwa seluruh usaha untuk memahami seluk beluk Kitab Suci harus dilakukan demi semakin berperannya Kitab Suci dalam kehidupan Gereja dan masing-masing orang beriman. Harapan ini diungkapkan pada bagian penutup: "Semoga dengan membaca dan menyelidiki Kitab Suci, sabda Allah berjalan terus dan dimuliakan serta perbendaharaan wahyu yang dipercayakan kepada Gereja, makin hari makin memenuhi hati orang. Sebagaimana hidup Gereja berkembang karena tetap ikut serta dengan rahasia Ekaristi, begitu juga boleh diharapkan rangsangan baru bagi hidup rohani karena tambahannya penghargaan bagi sabda Allah yang tinggal selama-lamanya" (DV 26).

1. Sabda Allah Penuh Kehidupan dan Kekuatan

"Sabda seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali kesitu, melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan, demikianlah firmanKu yang keluar dari mulutKu: ia tidak akan kembali kepadaKu dengan sia-sia, tetapi akan ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya" (Yesaya 55:10-11). Sabda Allah adalah kekuatan Allah yang melaksanakan kehendakNya. Kekuatan Allah ini tampak jelas dan nyata dalam pribadi Yesus, Sang Sabda. Dengan bersabda Yesus mengerjakan karya agung yang menjadi tanda bahwa Allah berkarya. Dengan sabdaNya, Yesus menyembuhkan: "Tuhan, aku tidak layak menerima Tuhan dalam rumahku, katakanlah sepatah kata saja maka hambaku akan sembuh" (Matius 8:8). Dengan sabdaNya Ia mengusir setan: "Menjelang malam dibawalah kepada Yesus banyak orang yang kerasukan setan dan dengan sepatah kata Yesus mengusir roh-roh itu dan menyembuhkan orang-orang yang menderita sakit" (Matius 8:16). Dengan bersabda Yesus memberikan kekuatanNya kepada para rasul yang akan diutusNya: "Aku berkata kepadamu: sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kamu lepaskan di sini akan terlepas di surga" (Matius 18:18).
Dari ayat-ayat yang dikutip di atas menjadi jelas, bahwa sabda Allah adalah kekuatan Allah yang memberikan daya kepada manusia, menyembuhkan dan memberi kehidupan kepadanya. Konsili Vatikan II merumuskannya demikian: "Adapun sedemikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan dan kekuatan, dan bagi putera-puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani." Oleh karena itu berlakulah secara istimewa kata-kata, "Memang sabda Allah penuh kehidupan dan kekuatan" (Ibrani 4:12), yang berkuasa membangun dan mengaruniakan warisan di antara para kudus" (Kisah 20:31;bdk 1 Tesalonika 2:13).

2. Menjadi Pendengar dan Pelaksana Sabda

Bagaimana juga sabda Allah mengerjakan sesuatu. Namun masih harus dikatakan, agar sabda itu menghasilkan buah dalam diri seseorang, dia harus memberikan tanggapan atas sabda itu. Ini sangat jelas tampak dalam perumpamaan tentang penabur. Semua orang mendengar, tetapi hanya mereka yang mengertinya (Matius 13:23), menerimanya (Markus 4:20) dan menyimpannya dalam hati (Lukas 8:15) akan memetik buahnya. Ditempat lain Yesus memperlawankan hidup orang yang mendengarkan sabda tetapi tidak melakukannya dengan hidup orang yang mendengarkan sabda dan melaksanakan sabda (Matius 7:24-26; Luk 6:47-49). Yang satu sama dengan rumah yang didirikan di atas pasir, yang lain sama dengan rumah yang didirikan di atas karang.
Agar sabda yang adalah kekuatan Allah dapat berkarya dan menghasilkan buah berlimpah, dari pihak manusia dituntut kepercayaan. Percaya berarti mengerti sabda, menerima sabda, menyimpan sabda dalam hati dan melaksanakannya. Yang paling penting ialah bahwa kita membiarkan sabda itu masuk dalam hati dan berkarya di sana dengan daya kekuatannya yang menciptakan, membangun dan menyelamatkan.

3. Dengan Jalan Pembacaan KS, Disertai Doa

Akhirnya ada masalah konkrit: bagaimana kita dapat membaca atau mendengarkan sabda, sehingga sabda dapat memenuhi hati kita, mendorong serta menjadi kekuatan bagi kita untuk semakin mengenal Yesus Kristus dan memperoleh kehidupan yang sejati? Konsili Vatikan II mengatakan: "Hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi ayat-ayat yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan sabda-sabda ilahi, entah melalui bacaan yang saleh, entah melalui lembaga-lembaga yang cocok untuk ikut serta bantuan-bantuan yang lain, yang berkat persetujuan dan usaha para Gembala Gereja dewasa ini tersebar di mana-mana dengan amat baik. Namun hendaklah mereka ingat, bahwa doa harus menyertai pembacaan Kitab Suci, supaya terwujudlah wawancara antara Allah dan manusia. Sebab kita berbicara denganNya bila berdoa; kita mendengarkanNya bila membaca amanat-amanat ilahi " (DV 25).
Berikut ini akan ditawarkan dua jalan yang dapat dipakai sebagai sarana untuk mendengarkan sabda dan menyimpannya dalam hati. Yang pertama dalam rangka pembacaan pribadi yang kedua dalam rangka mendengarkan sabda bersama-sama dalam kelompok.

3.1. Doa Batin

Pada tahun 1971 ada suatu pertemuan para pembimbing rohani di Roma, yang berkumpul ialah para Abbas biara-biara Sistersian, pemimpin-pemimpin biara dari seluruh dunia. Almarhum Bapa Suci Paus Paulus VI pada waktu itu hadir. Ia menyampaikan pesan kepada mereka, agar dengan tetap setia pada cara hidup monastik, mereka sekuat tenaga membantu putra-putri Gereja, seluruh umat Allah yang sedang berziarah, menemukan kembali cara doa agar mereka mampu menemukan kembali jati diri mereka yang benar, yang terpusat pada Allah, sehingga mereka dapat melandaskan hidup mereka dalam kebenaran , dalam kasih dan kuasa Allah.
Atas dasar anjuran para rahib Sistersian mencari cara sederhana dan praktis untuk mengajarkan cara doa itu. Dalam waktu singkat cara ini tersebar luas. Dengan ilham dari salah seorang guru rohani terbesar di antara mereka, yaitu Thomas Merton, doa ini disebut Dia Batin, nama baru bagi suatu cara doa yang sudah sangat kuno, yang sudah banyak dilakukan sejak abad keempat.
Secara singkat cara doa itu dapat digariskan sebagai berikut:

++ Duduklah dengan tenang, tidak tegang

1. Hadirlah dalam iman dan kasih kepada Allah yang tinggal dalam pusat diri anda.

2. Pilihlah suatu kata yang menyatakan kasih
dan biarkanlah kata itu meresap lembut,
mendukung kehadiran Anda yang tertuju kepada Allah dalam kasih penuh iman.
(Kata ini dapat diambil langsung dari Kitab Suci, atau perumusan kembali bernada kasih bagian Kitab Suci yang dibaca)

3. Kalau sesuatu yang lain masuk ke dalam kesadaran anda,
silahkan kembali dengan tenang kepada Tuhan,
dengan menggunakan kata-kata doa anda

++ Pada akhir doa anda, biarkanlah Doa Bapa kami
(atau doa lain) terucap dalam diri anda.

Keterangan lebih lanjut mengenai doa ini:

Duduklah dengan tenang , tidak tegang
Beberapa sikap tubuh yang ditimba dari dunia Timur sangat baik untuk meditasi. Namun bagi kebanyakan orang, duduk di kursi yang memungkinkan kita duduk tegak, adalah cara yang paling sederhana. Yang penting ialah bahwa kita tidak tegang (tetapi tidak terlalu santai), punggung kita lurus, sehingga tenaga yang menghirupkan dapat mengalir dengan mudah. Baik juga menutup mata. Kalau kita melihat, kita menggunakan sedikit energi psikis.
Segera sesudah kita menutup mata, kita menjadi tenang.
Yesus bersabda kepada kita, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu." Doa harus memberikan kelegaan, baik secara fisik, psikis spiritual.

1. Hadirlah dalam iman dan kasih kepada Allah
yang tinggal dalam pusat diri anda

Dalam iman kita percayakan bahwa Allah tinggal dalam diri kita. Kita menyerahkan diri kita kepadaNya dalam kasih: seluruh perhatian kita, seluruh ada kita, sepanjang doa kita (sekitar 20 menit). "Tuhan, seluruh diriku adalah milikMu. Gunakanlah aku seturut kehendakMu."

2.Pilihlah suatu kata atau kalimat yang menyatakan kasih biarkanlah kata kalimat itu meresap lembut mendukung kehadiran anda yang tertuju kepada Allah dalam kasih, penuh iman
Kita memilih kata/kalimat itu yang menyatakan kasih. Misalnya, "Setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setiaMu kepadaku" (bdk Mazmur 103: 11). Contoh lain: "KasihMu setinggi langit dan setiaMu menjangkau awam" (bdk Mazmur 108:5). Dengan lembut kalimat itu kita ucapkan dengan kedalaman batin, dan biarlah kalimat itu terucap dengan sendirinya, tanpa memaksakan. Biarlah begitu saja - untuk membuat kita tetap tinggal disana dengan Tuhan - membuka diri kepadaNya, membiarkan Ia hadir pada kita dengan cara yang dikehendaki-Nya.

3. Kalau sesuatu yang lain masuk ke dalam kesadaran anda, silahkan kembali dengan tenang kepada Tuhan dengan menggunakan kata kalimat doa anda.
Kita hening bersama Allah. Sangat mentakjubkan, damai. Tiba-tiba kita sadar bahwa kita berpikir tentang sesuatuyang lain: pesta yang kemarin kita ikuti, tugas yang lupa kita kerjakan, rencana minggu depan, dan seribu satu macam hal lain, suara dari tetangga, tukang kebun yang sedang menyabit rumput, dan macam-macam hal lain.
Setiap kali kita menjadi sadar akan sesuatu, kita gunakan kata/kalimat doa kita untuk dengan lembut kembali kepada Tuhan. Kadang-kadang kita harus terus-menerus menggunakan kata/kalimat doa itu., ada begitu banyak hal yang berkecamuk di dalam atau di luar diri kita. Pada kesempatan lain, kita tidak terlalu memerlukannya. Tidak apa-apa, yang penting setiap kali kita menjadi sadar akan sesuatu yang lain, kita kembali dengan lembut kepada Tuhan.
Dengan melakukan ini, kita membiarkan hal lain itu pergi. Seolah-olah Tuhan bertanya kepada kita, "Apakah engkau mencintai Aku, lebih dari pada hal itu?" Dengan kata/kalimat doa kita menjawab "Ya". Selama waktu doa kita membiarkan segala sesuatu yang lain; pergi dan memberikan ruang kehidupan kita bagi Allah, sehingga Ia dapat melakukan hal yang Ia kehendaki. Yang Ia kehendaki terutama ialah membuat kita mengerti betapa ia mencintai kita, betapa ia sungguh-sungguh beserta kita, sepenuh-penuhnya.
Sementara kita memilih Tuhan dan hal-hal lain menyingkir pergi semua beban dan ketegangan yang berhubungan dengan hal-hal itu juga menyingkir pergi. Sesudah doa, kita akan dapat memberikan perhatian pada hal-hal itu tanpa beban dan ketegangan. Demikianlah Tuhan melegakan kita secara psikis, sekaligus menyegarkan kita secara fisik dan spiritual.


Pada akhir doa anda, biarkanlah doa Bapa kami (atau doa yang lain), terucap dalam diri anda.

Ada begitu banyak orang yang berdoa dengan cara ini secara teratur masuk ke pusat batin dua kali sehari. Mereka mengalami bahwa 20 menit adalah waktu yang baik untuk melaksanakan doa ini. Itu cukup untuk keluar dari atau membiarkan pergi semua beban dan tekanan yang sudah menumpuk sejak meditasi sebelumnya dan merasakan istirahat yang menyegarkan dalam Tuhan.
Kita tidak berdoa atau bermeditasi sekedar unutk menikmati hiburan selama 20 menit. Kita mengharapkan perubahan kesadaran dan hidup sesuai dengannya. Kita ingin menghayati hidup yang terpusat, yang dengan lapang memberikan tempat kepada semua orang dan segala sesuatu dalam kasih hidup yang didukung oleh kuasa Allah yang bersemayam dalam pusat batin kita.


3.2. Sharing Kitab Suci

Sharing Kitab Suci adalah membaca suatu teks Kitab Suci dalam kelompok kecil, merenungkannya dalam sikap doa, lalu saling memperkaya dengan membagikan hasil renungan itu. Maksud sharing Kitab Suci ialah agar kita dapat menjawab Sabda Allah dengan lebih baik dalam doa dan kehidupan kita.

Salah satu cara yang sudah banyak dipakai untuk sharing Kitab Suci adalah sebagai berikut:

Tahap 1
BACAAN
HENING Perhatian diarahkan ke-
SHARING Kalimat atau ayat pada TEKS Kitab Suci
yang mengesankan

Tahap 2
BACAAN
HENING Perhatian diarahkan ke-
SHARING Pesan Allah bagi pada Pesan Allah
saya pribadi

Tahap 3
BACAAN
HENING Perhatian diarahkan ke-
SHARING Menjawab sapaan pada jawaban Doa
Allah dalam doa

Keterangan lebih lanjut:
Sharing dapat diawali dengan doa atau nyanyian pembukaan mengungkapkan kesadaran akan kehadiran Tuhan (bdk Matius 18:20); atau memohon Roh Kudus agar Ia sudi membuka teling hati kita dan melenyapkan rintangan yang menghalangi untuk mendengarkan sabda Tuhan dengan sungguh-sungguh: atau sesaat hening yang diawali dengan kata-kata Samuel, "Berbicaralah, Tuhan, Sebab hamba-Mu ini mendengarkan" (1 Samuel 3:10).

Tahap Pertama

Bacaan: Pemandu mengundang peserta lain untuk membacakan teks kitab suci, sedang yang lain diajak mendengarkannya sambil membaca kitab suci mereka sendiri.
Hening: selama kira-kira 3 menit hening, masing-masing peserta membaca ulang teks dan memilih salah satu perkataan, kalimat atau ayat yang langsung berbicara kepada dirinya; yang mengesankan dan berarti baginya.
Sharing: setelah tiga menit hening, pemandu kelompok mengundang para peserta untuk saling mendengarkan ayat atau kalimat yang dipilih tadi. Kalimat atau ayat yang mengesankan cukup dibacakan saja, tanpa menambah keterangan. Misalnya begini: "Saya terkesan oleh ayat 18 yang mengatakan, "Tidak sehelai dari rambut kepalamu akan hilang."

Tahap Kedua

Bacaan: Pemandu mengundang peserta lain untuk sekali lagi membacakan teks yang sama. Yang lain ikut membacakan dari Kitab Suci masing-masing.
Hening: Selama saat hening - sekurang-kurangnya 5 menit - masing-masing peserta merenungkan sabda Allah dalam sikap doa; merenungkan khususnya kalimat yang mengesankan baginya. Ia membuka diri bagi Tuhan dan bertanya, "Apa yang hendak Kau katakan kepadaku, ya Tuhan, melalui kata-kata ini?" Apa pesan Allah bagi saya pada hari ini lewat kata-kata ini? Ia membiarkan sabda Allah kepada hatinya, dan berusaha mendengarkan gema sabda itu dalam hatinya.
Sharing: Pemandu mengundang para peserta untuk saling membagikan buah renungan, saling menceritakan pesan yang diperoleh dari sabda Allah (sejauh dapat dan mau dibagikan dalam kelompok). Para peserta diminta untuk memakai kata "saya", agar berbicara bagi dirinya sendiri, sesuatu yang secara pribadi diperoleh dari sabda Allah. Hendaknya dihindari pemakaian kata "kita", supaya orang tidak bersembunyi di belakang kelompok dan jangan sampai saling mengkotbahi atau menggurui.

Tahap Ketiga

Bacaan: Pemandu mengundang peserta lain lagi untuk sekali lagi membacakan teks yang sama.
Hening: Selama beberapa menit masing-masing peserta menjawab pesan Tuhan dengan berdoa dalam hati. Tuhan telah telah menyapa dia lewat bacaan, renungan, lewat sharing dengan peserta lain. Sapaan Tuhan itu kini ditanggapi secara pribadi dalam doa.
Sharing: Pemandu mengundang para peserta untuk berdoa secara spontan, untuk mengucapkan doa-doa singkat sebagai jawaban atas pesan yang diterima dari Tuhan. Mungkin doa pujian, syukur atau permohonan, sesuai sesuai dengan pesan yang diterima masing-masing.

Sebagai penutup dapat diucapkan bersama-sama doa Bapa kami, atau dinyanyikan suatu lagu pujian yang lain, sesuai dengan tema.

Berhubungan dengan Metode Sharing di atas, baik diperhatikan beberapa hal berikut ini:

1. Sikap para peserta:

Agar sharing Kitab Suci dapat berjalan dan berhasil dengan baik, para peserta tidak hanya perlu membawa Kitab Suci, tetapi juga datang dengan sikap-sikap tertentu:

a. Sikap Menerima: kita mencoba saling menerima apa adanya. Hal itu hanya mungkin kalau kita ingat, bahwa setiap orang mempunyai watak dan perangai tersendiri, yang merupakan pemberian Allah. Setiap peserta mempunyai sesuatu yang berharga untuk dibagikan kepada yang lain.
b. Sikap hormat: sikap ini kita tunjukkan kalau kita mendengarkan dengan segala perhatian untuk sharing; kalau kita mendengarkan dengan segala perhatian apa yang ia bagikan. Sikap itu tampak kalau kita tidak langsung mengritik sumbangan orang lain; dan juga kalau kita tidak membicarakannya dengan orang di luar kelompok.
c. Sikap terbuka: sikap ini mempunyai dua sudut. Pertama saya terbuka untuk sumbangan orang lain, saya ingin diperkaya olehnya, saya membutuhkan sumbangannya. Kedua, saya rela dan mau membagi apa yang saya terima dari sabda Allah.

2. Pemandu Kelompok

Kelompok walaupun kecil, memerlukan seorang pemandu. Ia sebaiknya dipih oleh para peserta kelompok sendiri. Ia tidak perlu seorang ahli yang tahu banyak mengenai Kitab Suci. Yang paling penting ialah bahwa ia mencintai Kitab Suci, cakap bergaul dengan orang dan dapat menjaga kelancaran pertemuan dengan mengikuti metode tertentu.
Sebelum sharing mulai, ia diharapkan dapat menciptakan suasana yang hangat dan ramah, yang membantu para peserta untuk mengambil bagian aktif dalam pertemuan; menciptakan suasana doa dan menjelaskan langkah-langkah metode yang akan diikuti.
Selama sharing berjalan, ia mengulang petunjuk metode pada setiap langkah dan mengingatkan peserta bila perlu; mengundang para peserta untuk berbagi, namun tanpa memaksa, menunjuk dengan nama atau mengikuti arah jarum jam dll.

3. Peserta Sharing

Ada bermacam-macam kemungkinan untuk membentuk kelompok, sharing Kitab Suci:
- diantara sesama anggota keluarga: suami, istri, anak-anak, pembantu, sanak saudara lain serumah. Sebuah keluarga merupakan "Gereja rumah," di mana semua anggota mewartakan Injil dan menerima pewartaan Injil.
- dengan beberapa anggota wilayah/lingkungan/ kring; tetangga dapat berkumpul untuk sharing Kitab Suci, untuk memperkuat kelompok basis gerejani.
- dengan sesama kawan-kawan: mahasiswa sekampus, guru-guru sekolah, karyawan-karyawan sekantor, bersama-sama mendengarkan dan merenungkan sabda.
Hanya diperlukan beberapa orang untuk memulai suatu kelompok sharing. Tidak perlu menunggu sampai ada banyak peminat, tetapi kelompok selalu terbuka bagi anggota baru, bahkan aktif mengundang orang lain. Kalau jumlah menjadi besar, kelompok dapat dibagi menjadi kelompok-kelompok lebih kecil yang terdiri dari 4 sampai 6 orang.

4. Tujuan Sharing Kitab Suci

Ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Agar kita menemukan jalan masuk ke dalam Kitab Suci, kendati kita belum banyak mempelajari dan mengetahui Kitab Suci. Mempelajari Kitab Suci bagi kebanyakan orang tidak mudah. Sharing bagi kebanyakan orang merupakan jalan masuk ke dalam Kitab Suci yang lebih mudah dan lebih mengena.
- Agar kita mengalami bagaimana Tuhan menyatakan diri ke dalam kelompok atau persekutuan; juga untuk mengalami kekuatan sabda Allah yang membina dan memperkuat persekutuan. Makin banyak orang Katolik berkumpul satu atau dua minggu sekali untuk saling membagikan kabar gembira yang mereka yang mereka terima dari sabda Allah. Demikian berkembang kelompok-kelompok basis yang didasarkan dan dibina terus-menerus oleh sabda.
- Agar kita lebih siap untuk perayaan Ekaristi, sehingga dapat mengikutinya dengan lebih baik. Ini mengandaikan kita memilih bahan bacaan liturgi Ekaristi menjadi sumber yang lebih kaya bagi hidup kita sebagai orang beriman.



PENUTUP

Paham-paham dasar yang diajarkan oleh Gereja dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, memang sangat menentukan untuk dapat sampai pada pengertian yang benar tentang Kitab Suci. Sementara itu harus diakui pula dengan rendah hati, bahwa untuk itu dibutuhkan usaha yang terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang. Namun kita tidak perlu menunggu sampai jalan masuk ke dalam Kitab Suci menjadi sangat lapang, halus dan tanpa rintangan. Kita dapat mulai dengan langkah-langkah kecil, belajar dari pengalaman orang lain, terbuka terhadap berbagai kemungkinan baru yang ditawarkan kepada kita.
Jelas bahwa dalam usaha seperti ini diperlukan penggerak-penggerak yang diharapkan dapat membantu umat beriman pada umumnya menemukan jalan masuk ke dalam Kitab Suci Minat yang sudah mulai tertanam dalam hati orang-orang beriman, masih terus-menerus harus dipupuk dan dikembangkan. Untuk itu bantuan para pemandu atau pendamping sangat menentukan.Yang diharapkan berperan bukanlah tertama orang-orang yang mahir atau ahli dalam ilmu tafsir Kitab Suci, melainkan orang -orang yang mau duduk berdampingan dengan umat, bersama-sama membaca Kitab Suci, mendengarkan sabda dan merenungkannya. Dengan cara itu akan semakin terbangunlah kehidupan umat, yang merupakan bagian dari Gereja yang terus menerus memperbaharui diri berdasarkan sabda. Akhirnya yang diharapkan berperan adalah pemimpin-pemimpin umat yang dengan sekuat tenaga berusaha melengkapi sesama umat bagi pekerjaan pelayanan mereka masing-masing, bagi pembangunan tubuh Kristus (bdk Efesus 4:12). Dari sana diharapkan muncul sukarelawan-sukarelawati yang mampu mempersatukan dan menghimpun sebagaimana sabda Allah yang juga mempersatukan dan menghimpun.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

  • Darmawijaya, St., 1985 Merefleksikan Kebijakan LBI 15 tahun Terakhir, dlm Eka Warta, Vol V, no. 5:54-55.
  • 1989 Fundamentalisme Kitab Suci, dlm Eka Warta, Vol II, no.2:41-43
  • Groenen, C, 1985 Teologi Katolik, Sudahkah Berorientasi Kitab Suci? dlm Eka Warta, Vol V, no. 5:50-54.
  • Hadiwiyata, A, 1985 Kerasulan di Bidang Kitab Suci, dlm Eka Warta, Vol V no. 56-58.
  • Harun, M, 1980 Menggalli Amanat Kitab Suci, Yogyakarta, Kanisius.
  • 1985 Dei Verbum dan Kader Gereja, dlm Eka Warta, Vol V, no.5:58-61.
  • 1987 Bagaimanakah Alkitab Diterima Umat Kita, dlm Eka Warta, Vol VII, no. 2:4-9.
  • 1989 Alkitab Tanpa Gereja? dlm Eka Warta, Vol. IX, no. 2:36-40.
  • Jacobs, T. 1969 Konstitusi Dogmatis Dei Verbum Tentang Wahyu Ilahi, Yogyakarta, Kanisius.
  • 1985 20 Tahun Dei Verbum Di Indonesia. dlm Eka Warta, Vol. V, no.5:46-50.
  • Komisi Kerasulan Kitab Suci Keuskupan Agung Ende,
  • 1990 Latihan Para Lektor, Ende: Kom KKS.
  • Komisi Kitab Suci Keuskupan Agung Semarang
  • 1989 Kursus Dasar Kitab Suci, Yogyakarta: Delkit KAS.
  • Leks, Stefan. 1989 Sikap Anda Kurang Tepat Atau Salah Terhadap Kitab Suci Bila.... dlm Eka Warta, Vol IX, no 2:43-45.
  • Lohfink, G. 1974 Sekarang Saya Memahami Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius.
  • Suharyo, I. 1990 Kitab Suci Dan Pegangan Hidup, dlm Utusan, Vol XL, no 8:285-289.