Sunday, September 10, 2000

mksn 1984 Firman Tuhan dalam Hidup Pribadi


FIRMAN TUHAN
DALAM HIDUP PRIBADI


"FIRMANMU ITU
PELITA KAKIKU
DAN
TERANG JALANKU"
(Mazmur 119:105)

BAHAN : GAGASAN PENDUKUNG
OLEH : Wim van der Weiden MSF

LEMBAGA BIBLIKA INDONESIA
dicetak ulang oleh:
Pelayanan Kerasulan Kitab Suci Kevikepan Semarang 1984.



PENDAHULUAN

Dalam periode 1982-1984 Lembaga Biblika Indonesia menentukan tema-tema bagi Hari Minggu Kitab Suci Nasional yang berhubungan satu sama lain:
- Firman Tuhan dalam pertemuan umat, 1982;
- Firman Tuhan dalam hidup keluarga, 1983;
- Firman Tuhan dalam hidup pribadi, 1984.
Ketiga tema berbicara tentang peranan Kitab Suci, tetapi berbeda mengenai tempat dan saat Kitab Suci berperanan.
Tema pertama lebih menekankan peranan Kitab Suci dalam pertemuan umat sekarang dan pada masa lampau. Sebab umat Allah di jaman Perjanjian Lama dan Gereja Purba di jaman Perjanjian Baru dibina, dikukuhkan dan didewasakan oleh pembacaan dan renungan Firman Tuhan. Dalam pertemuan pada hari Sabat atau pada hari Tuhan (Minggu) umat dulu mendengar tentang karya penyelamatan di masa lampau dan tentang janji-janji Allah untuk masa depan. Demikianlah mereka semakin dibentuk sebagai satu umat Allah yang mempunyai warisan rohani yang sama dan pengharapan yang sama pula. Hasil yang sama boleh diharapkan dari penggunaan Alkitab yang semakin sering dalam pertemuan-pertemuan umat kristen di masa kini.

Pada tahun 1983 lebih diperhatikan peranan Kitab Suci dalam lingkup keluarga. Pada waktu para Rasul, Kabar Gembira kerapkali diterima oleh seluruh keluarga (Kis 16:13; 1 Kor 1:16), dan keluarga-keluarga kristen pertama menjadi titik-tolak dan inti dari jemaat yang mulai terbentuk. Demikian juga keluarga-keluarga kita sekarang dapat menjadi titik-tolak dan inti dari paroki, penuh dengan semangat kerasulan. Agar keluarga kristen dapat berfungsi secara penuh sebagai saksi dari Kabar Baik, maka semestinya mereka semakin berakar dalam Kabar itu melalui pembacaan dan renungan Firman Tuhan, dasar iman dan sumber pengharapan.

Kalau tahun 1982-1983 sudah diperhatikan hubungan dan ikatan dengan orang lain, tulisan ini akan memperhatikan hidup beriman dalam dimensi individual, untuk melengkapi kedua tema di atas.

I. DALAM KITAB SUCI

a. PERJANJIAN LAMA.

Asal-usul dari bagian-bagian tertua Kitab Suci harus dicari dalam cerita-cerita lisan yang diteruskan turun-temurun dalam kelompok keturunan Bapa-Bapa Bangsa di tempat-tempat suci. Pada periode Kerajaan muncul naskah-naskah pertama yang mulai berfungsi dalam umat Israel, terutama bila mereka berkumpul untuk ibadat. Tetapi baru sejak masa Pembuangan (abad ke-6 sebelum Masehi) timbul banyak sekali naskah atau buku yang lambat laun diakui sebagai Firman Tuhan kepada umat-Nya.

Meskipun naskah itu berperan terutama dalam ibadat, entah di kenisah entah di sinagoga, namun agak cepat ada petunjuk bahwa orang-orang secara individual mulai membaca, merenungkan buku-buku suci dan menghayatinya dalam hidup mereka. Tentu saja orang itu harus dicari dalam kalangan petugas kenisah dan sinagoga atau dalam kalangan orang kaya, karena buku pada jaman itu ditulis tangan sehingga sangat mahal. Pada waktu itu muncul sekelompok orang yang mempunyai cukup waktu leluasa untuk mempelajari Kitab Suci; mereka menjadi amat mahir dalam bidang itu.

Orang seperti Ezra atau Yesus Bin Sirakh menjadi perintis dari gerakan atau kelompok yang pada jaman Perjanjian Baru dikenal sebagai kelompok Ahli Taurat. Tentang Bin Sirakh ditulis oleh cucunya:
Banyak dan sungguh besar apa yang disampaikan kepada kita oleh kitab Taurat, para nabi dan kitab-kitab yang kemudian dari itu. Maka dari itu sepatutnyalah Israel mendapat pujian karena pengajaran serta kebijaksanaannya. Namun demikian dalam hal itu para pembaca jangan menjadi berpengetahuan sendiri saja, tetapi setelah semuanya dipelajari hendaklah kepandaian mereka bermanfaat juga bagi orang-orang luar, baik secara lisan maupun secara tertulis. Maka dari itu setelah sungguh-sungguh bertekun membaca kitab Taurat, para nabi dan kitab-kitab nenek moyang kita yang lain itu dan sudah mendapat kepandaian, maka nenekku, yaitu Yesus, merasa diri-Nya pun terdorong pula untuk mengarang sesuatu perihal pengajaran dan kebijaksanaan.
Adapun maksudnya ialah supaya semua orang yang suka belajar juga menjadi mahir dalam tulisan-tulisan ini, lalu semakin maju berkat hidupnya menurut Taurat.
(Pengantar Kitab Yesus bin Sirakh)
Dan Bin Sirakh sendiri, dalam bab 38-39 kitabnya, menggambarkan dulu pekerjaan bermacam-macam tukang untuk kemudian memperbandingkannya dengan "pekerjaan "ahli Kitab:

"Lainlah orang yang menyerahkan dirinya
dan segenap kecerdasannya
kepada Taurat dari Yang Mahatinggi,
Kebijaksanaan segala leluhur diselidikinya,
dan sibuklah ia dengan nubuat-nubuat,
Ajaran orang yang masyur dipeliharanya,
dan segala seluk-beluk amsal ia selami,
Ia menyelidiki arti rahasia dari pepatah,
dan teka-teki amsal disibukannya,
Dikalangan para pembesar ia mengabdi,
dan nampak di hadapan para penguasa,
Pagi-pagi benar ia mengarahkan hatinya,
Kepada Tuhan yang telah membuatnya,
dan berdoa kepada Yang Mahatinggi,
Ia membuka mulutnya untuk sembahyang,
dan mohon ampun atas dosa-dosanya,
Jika Tuhan yang besar menghendakinya,
maka terpenuhilah ia dengan roh pengertian,
Maka ia sendiri membualkan kata-kata yang bijak,
dan memuji Tuhan dengan sembahyangnya,
Dengan lurus nasehat serta ilmunya disampaikannya,
dan dipikirkannya rahasia-rahasia hatinya,
Ia memperlihatkan ajaran dari wejangannya,
serta membanggakan Taurat Perjanjian Tuhan ".
(Sirakh 39:1-8)
Daniel juga menulis bahwa ia membaca dan merenungkan tulisan para Nabi, dan bila timbul ayat yang tidak dimengertinya, maka ia memohon keterangan dari pihak Tuhan dalam doa (Daniel 9)

Jadi kita dapat melihat bahwa, sejak Kitab Suci mulai menerima bentuk definitip, ada sejumlah orang memandang pembacaan bahkan studi dari Firman Tuhan sebagai salah satu tugas yang terpenting bagi seorang beriman. Meskipun Kitab Nabi-Nabi, Kitab Mazmur dan Kitab-kitab lainya digemari dan dihargai, namun penghargaan yang paling tinggi diberikan kepada Taurat Musa, yakni kelima Kitab pertama dari Kitab Suci sekarang. Taurat itu tidak hanya berfungsi sebagai semacam U.U.D bagi bangsa Yahudi (bdk Nehemia 10), tetapi dipandang juga sebagai semacam inti dan puncak ajaran yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya sebagai sumber kehidupan dan kebahagiaan (bdk Sirakh 24; Barukh 3:9-4:4). Orang yang merenungkan Taurat dipandang bahagia, seperti dikatakan dalam Mazmur 1:
"Berbahagialah orang....yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan,
dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam,
Ia seperti pohon, yang ditepi aliran air,
yang menghasilkan buahnya pada musimnya,
dan yang tidak layu daunnya,
apa saja yang diperbuatnya berhasil. "
Barang siapa, seperti penyusun mazmur 1 itu, bertekun mencari "kesukaannya "dalam Kitab Suci, dapat mengalami Kitab Suci sebagai harta tak ternilai, sebagai hadiah luar biasa dari Tuhan. Dalam Kitab Mazmur ada dua mazmur, yakni 19 dan 119, yang mengungkapkan pengalaman itu. Beberapa Kutipan sebagai contoh:
"Taurat Tuhan itu sempurna,
menyegarkan jiwa
peraturan Tuhan itu teguh,
memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman,
Titah Tuhan itu tepat, menyukakan hati,
perintah Tuhan itu murni,
membuat mata bercahaya,
Takut akan Tuhan itu suci,
tetap ada untuk selamanya;
hukum-hukum Tuhan itu benar,
adil semuanya,
lebih indah daripada emas
bahkan daripada banyak emas tua
dan lebih manis daripada madu,
bahkan daripada madu tetesan dari sarang lebah."
(Mazmur 19:8-11)

"Taurat yang Kau sampaikan adalah baik bagiku,
Lebih daripada ribuan keping emas dan perak,
Biarlah rahmat-Mu sampai kepadaku supaya aku hidup,
sebab Taurat-Mu adalah kegemaranku,
Betapa kucintai Taurat-Mu !
Aku merenungkannya sepanjang hari,
Firman-Mu itu pelita bagi kakiku,
dan terang bagi jalanku,
Bila tersingkap, firman-firman-Mu memberi terang,
memberi pengertian kepada orang-orang bodoh."

(Mazmur 119; 72, 77, 97, 105, 130.)
Secara singkat dapat dikatakan bahwa, pada empat abad terakhir dari periode Perjanjian Lama, Alkitab mulai berfungsi dan berperan semakin penting, baik dan terutama dalam ibadat dan kebaktian dikenisah dan di sinagoga maupun dalam hidup pribadi sejumlah orang yang terus-menerus bertambah banyak. Oleh karena pada waktu itu buku-buku hanya diperbanyak dengan membuat salinan yang cukup mahal, maka dengan sendirinya Alkitab tetap suatu hal yang langka, sehingga hanya orang elitlah yang dapat memilikinya.

b. PERJANJIAN BARU.

Dari Perjanjian Baru dan dari tulisan yang sejaman dengan Perjanjian Baru kita dapat menyimpulkan, bahwa penghargaan terhadap Kitab Suci sudah begitu tinggi, sehingga salinan-salinan yang lengkap tersebar luas dalam kalangan Yahudi, baik di Palestina maupun di perantauan. Bahkan rumah ibadat di desa kecil seperti Nazareth mempunyai satu set lengkap, dan perpustakaan dari biara Eseni yang ditemukan di gua-gua Qumran memuat puluhan eksemplar, terutama dari bagian-bagian yang dianggap paling penting.

Bersamaan dengan semakin tersebarnya naskah-naskah Alkitab timbul suatu usaha daripada pemimpin religius Yahudi untuk mempromosikan pembacaan, renungan dan studi Alkitab.

Mereka menganjurkan agar kaum muda, khususnya lelaki, diajar membaca, bukan begitu saja agar jumlah orang buta huruf berkurang, melainkan agar mereka dapat membaca Kitab Suci.

Kenyataan bahwa Allah memperkenalkan kehendak dan rencana penyelamatanNya melalui sejumlah tulisan, dijunjung begitu tinggi oleh para Rabbi, sehingga menurut anggapan mereka, pembacaan renungan dan studi Kitab Suci itu menjadi satu-satunya reaksi yang memadai atas hadiah Allah itu. Pernyataan-pernyataan Mazmur diatas mendorong para pemimpin Yahudi untuk menuntun umat kepada Alkitab, dan membiasakan mereka dengan isinya.

Tentu saja ibadat sabda sinagoga menjadi sarana yang tepat untuk itu, tetapi sarana tersebut sebaiknya dilengkapi dengan pembacaan pribadi. Kalau Allah sudi berfirman kepada manusia melalui Kitab, maka tiada usaha yang lebih luhur dan penting daripada menekuni Alkitab itu. (Keyakinan itu sampai sekarang masih kuat sekali dalam kalangan orang Yahudi yang saleh. Di samping pembacaan rutin setiap hari, ada kebiasaan untuk mengkhususkan hari Sabat bagi pembacaan dan studi Alkitab!)

Demikianlah juga dalam periode Perjanjian Baru para rasul dan penginjil mengenal Kitab Suci yang terus menerus mereka kutip dan gunakan dalam menguraikan peristiwa Yesus. Bukan hanya bekas "Ahli Kitab"Paulus, melainkan juga para pengarang lain mempunyai kemahiran dalam hal Kitab Suci, kemahiran mana hanya dapat dihasilkan oleh pembacaan meditatip yang tekun. Begitu juga pewartaan Yesus, sebagaimana dicerminkan oleh keempat Injil, menyatakan kefasihannya dalam memakai Alkitab, sehingga secara spontan orang memberi gelar Rabbi (ahli Kitab) kepada Yesus, meskipun Ia tidak pernah mengikuti sekolah pendidikan Rabbi.
Pandangan Gereja Purba terhadap Kitab Suci dirumuskan dengan baik dalam 2 Timotius 3:15-17:
"Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk perbuatan baik."
Disini ditekankan, bahwa oleh pembacaan Kitab Suci di satu pihak orang menjadi lebih baik (diberi hikmat; dituntun kepada keselamatan), dan dilain pihak orang menjadi lebih cakap untuk membantu orang lain dalam bidang iman (mengajar; menyatakan kesalahan; memperbaiki kelakuan) dengan akibat yang luhur ini: tiap-tiap manusia diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik !.

II. DALAM SEJARAH GEREJA.

Kumpulan raksasa buku, brosur, karangan dan khotbah yang tersimpan dari 6 abad pertama Tarikh Masehi, memperlihatkan kefasihan para Uskup dan tokoh terpelajar dalam hal Kitab Suci. Dari Kitab Suci, sebagai dari tambang yang tak habis-habisnya melepaskan hartanya, mereka mengambil bagian bagi pembinaan umat.

Tulisan dan khotbah tak lain dan tak bukan deretan kutipan Kitab Suci dengan keterangan dan pengetrapan. Berkat pembacaan, renungan dan studi yang tekun, Alkitab telah menjadi sumber bagi segala aktivita pastoral, Tetapi pada periode itu bukan hanya pejabat Gereja dan tokoh terpelajar hidup dari Kitab Suci, pun pula umat biasa mengenal Alkitab, khususnya bagian terpenting seperti Perjanjian Baru dan Kitab Mazmur yang sering kali dihafalkan. Ketika St. Hieronimus (+ 420) atas permintaan Paus membuat terjemahan Latin Baru (Vulgata) dari Kitab Suci, maka terjemahan itu sangat cepat laku di mana-mana kecuali Kitab Mazmur dan Perjanjian Baru, karena bagian itu sudah banyak dihafal oleh umat dalam terjemahan yang lama, sehingga mereka enggan menggunakan yang baru. Dan dari Uskup Yohanes Kristomus (+ 407) kita tahu, bahwa di kota Konstantinopel hampir setiap keluarga memiliki Alkitab. Oleh karena itu tidak begitu mengherankan lagi, kalau Klemens dari Iskandaria (+ 215) menganjurkan umat untuk membaca sebagian dari Kitab Suci setiap hari sebelum makan malam, atau kalau Hieronimus menulis kepada seorang ibu, bahwa sebaiknya ia mendidik anaknya sejak umur yang paling muda dalam isi Alkitab melalui cerita-cerita yang diambil dari situ melalui permainan yang khusus (semacam kwis untuk anak-anak)! Meskipun selama periode itu banyak ajaran sesat dan bidaah ditimbulkan oleh salah pengertian dari Kitab Suci, namun para pemimpin Gereja tetap mempromosikan Kitab Suci. Alkitab mereka tetap dipandang sebagai harta yang tak ternilai dari Allah kepada umat-Nya, dan penyalahgunaan oleh sejumlah orang tidak boleh menjadi alasan untuk melarang umat biasa membaca Kitab Suci. Sebaliknya, mereka sangat senang, kalau umat semakin "Bible-minded". Kotbah-khotbah St. Agustinus (+ 430) seringkali menjadi semacam pertandingan dengan umat dalam kefasihan mengutip Kitab Suci; tidak jarang umat bertepuk tangan, bila Agustinus berhasil memecahkan suatu persoalan dengan kutipan Alkitab yang unggul! Tentang periode enam abad pertama dapat dikatakan, bahwa Kitab Suci sungguh berfungsi dalam kalangan umat, dari yang paling sederhana, suatu gejala yang tidak kita temukan lagi pada periode-periode lainya dalam sejarah Gereja.

Gereja dari abad-abad pertengahan tentu saja menghasilkan sederetan ahli yang pandai, tetapi pada waktu itu umat biasa sudah tidak membaca Kitab Suci lagi. Sebagian besar umat biasa di Eropa waktu itu buta huruf, sehingga Alkitab hanya berfungsi dalam kelompok imam dan biarawan/biarawati. Walaupun umat sederhana tidak (dapat) membaca Alkitab lagi, namun tidak dapat dikatakan, bahwa umat tidak mengenal isi Alkitab. Gedung Gereja menggantikan buku yang tidak dapat dibaca lagi: segala peristiwa dari sejarah keselamatan yang diceritakan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diukir pada tembok, dilukiskan, dilukiskan pada jendela, dipahat dipintu-pintu dan perabot liturgi, digambarkan pada tiang-tiang. Gedung Gereja menjadi Alkitab dalam batu, kaca dan kayu! Katekese biblika (oleh pastor bagi umat; oleh orang tua bagi anak-anaknya) diberikan melalui keterangan dari ukiran dan lukisan yang menghiasi gedung gereja, sama seperti umat Budha pada periode yang sama dapat merenungkan jalan Budha menuju ke keselamatan berdasarkan ukiran-ukiran dari Borobudur.
Pada periode ini para pemimpin Gereja tidak mempunyai lagi sikap yang sama luas seperti dulu terhadap bidaah-bidaah yang muncul berdasarkan tafsiran yang salah dari Alkitab. Meskipun pembacaan Alkitab tidak dilarang, namun penggunaanya sangat dibatasi oleh pengawasan yang amat ketat terhadap terjemahan dalam bahasa-bahasa daerah (bahasa Latin hanya dikuasai oleh kaum elite) Begitulah Kitab Suci mulai sedikit demi sedikit dipandang sebagai suatu buku yang berbahaya bagi umat; hanya kelompok terpelajar dipersenjatai melalui studi mereka melawan bahaya itu!.

Dengan latar belakang itulah dapat dibayangkan dan diukur sedikit apa yang dilaksanakan oleh reformator tersohor Martin Luter (1483-1546). Beliau dihantui oleh pikiran ini: Allah bicara kepada kita melalui Alkitab, itu hadiahNya bagi kita, tetapi jutaan orang tidak dapat membacanya!. Dengan semangat dan enersi yang tidak mengenal lelah, ia menerjemahkan seluruh Kitab Suci dalam bahasa Jerman sederhana, dalam bahasa yang dipakai oleh orang biasa di pasar dan dalam keluarga. Sampai akhir hidupnya ia terus berusaha untuk memperbaiki terjemahannya. Meskipun harganya tetap masih agak tinggi (harga Alkitab yang lengkap sama dengan harga seekor kuda pada waktu itu), namun para ahli mengatakan, bahwa sampai akhir hidup Luther sekitar setengah juta eksemplar dari terjemahannya dijual. Pada tahun 1521 Luther sudah menulis: "Ah, kalau Allah meniadakan tafsiran-tafsiranku dan tafsiran dari semua ahli lain serta kalau setiap orang Kristen merenungkan hanya Alkitab saja, Sabda Allah yang sejati....!. Oleh sebab itu dekatilah Alkitab saudara-saudara Kristen terkasih, dekatilah dia dan pandanglah tafsiran-tafsiranku dan tafsiran para ahli lain hanya sebagai perancah sekeliling gedung, agar kita dapat mengambil Firman itu dan memegangnya." Usaha Martin Luther dan usaha sejenis oleh sejumlah ahli protestan, sampai umat yang paling sederhanapun, Alkitab menjadi buku yang paling laku, buku yang mewarnai, mempengaruhi hidup mereka secara menentukan. Sekali lagi Alkitab menjadi buku orang Kristen biasa.
Perkembangan yang sama tidak muncul dalam kalangan Katolik, sebaliknya para pemimpin Gereja menjadi semakin curiga terhadap gerakan biblis dalam kalangan Protestan dan bersikap lebih defensip daripada positip, sehingga Alkitab tetap tinggal buku bagi elite, bagi kader, yakni para imam dan religius yang terpelajar. Bagi umat biasa disediakan katekismus, bukan Kitab Suci. Isi Alkitab hanya disampaikan secara tidak langsung - dan seringkali sangat lemah - melalui khotbah pada hari Minggu.

Baru pada dasawarsa terakhir dari abad ke-19 timbul unsur-unsur pertama dari suatu gerakan yang, 70 tahun sesudahnya, akan berubah masuk dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II. Paus Leo XIII (1878-1903) tidak hanya meningkatkan mutu studi Kitab Suci, melain-kan juga menganjurkan penggunaan yang lebih Frekwen dari Alkitab kehidupan Gereja. Sejak saat itu anjuran-anjuran para Paus agar Kitab Suci semakin disebarluaskan dalam kalangan umat Katolik serta dibaca oleh mereka tidak berhenti lagi. Anjuran tersebut ditopang oleh usaha dan dukungan mereka bagi lembaga-lembaga kerasulan Alkitab, pun pula oleh pembaharuan dalam bidang liturgi supaya dalam ibadat resmi tempat Sabda Allah semakin menonjol. Selama periode 70 tahun antara Paus Leo XIII dan Konsili Vatikan II, Alkitab mulai sedikit demi sedikit - sesudah hampir 13 abad! - menerima kembali tempat sentral dalam kehidupan Gereja selama periode itupun banyak prasangka dari klerus dan umat katolik. (Alkitab adalah kitab Protestan, berbahaya, tidak begitu perlu) masih harus dibongkar oleh pernyataan-pernyataan dari otorita tertinggi. Itu semuanya mempersiapkan jalan bagi pembaharuan yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II.

III. DALAM KONSILI VATIKAN II.

Selama empat tahun (1962-1965) para Bapa Konsili berusaha mencapai sasaran yang dirumuskan oleh Paus Yohanes XXIII sebagai "aggiornamento", pembaharuan Gereja supaya sanggup menghadapi dunia dan masyarakat dari abad ke-20 ini. Salah satu unsur penting dalam usaha yang menyeluruh itu ialah merumuskan kembali peranan Alkitab dalam kehidupan Gereja. Alkitab harus kembali menjadi pusatnya, sumber kehidupan Gereja sebagai keseluruhan dan sumber kehidupan masing-masing anggota. Keprihatinan Bapa-Bapa Konsili untuk mencapai tujuan itu menerima pengungkapannya dalam satu dokumen yang khusus, yakni "Dei Verbum" tentang wahyu Ilahi, dan dalam banyak dokumen lain yang dengan cara yang satu atau yang lain mengarahkan hidup dan karya para anggota Gereja.
Sehubungan dengan tema "FIRMAN TUHAN DALAM HIDUP PRIBADI" patut dikemukakan tiga pokok dari ajaran Konsili tentang Kitab Suci.

1. KITAB SUCI DALAM LITURGI.

Dengan sangat tegas Konsili memutuskan untuk menjadikan Kitab Suci salah satu unsur utama dalam segala perayaan liturgis, khususnya dalam perayaan Ekaristi. Untuk itu buku-buku liturgi, harus diper-baharui, daftar bacaan Kitab Suci dalam perayaan liturgis, harus dirubah agar "bagi kaum beriman kristiani jalan ke arah Kitab Suci terbuka lebar-lebar "(Dei Verbum/Dekrit tentang wahyu Ilahi 22). Dalam dokumen tentang liturgi dikatakan: "Agar di meja Firman Tuhan disajikan lebih banyak kepada kaum beriman, maka perbendaharaan Alkitab harus dibuka lebar-lebar, sehingga dalam rangka beberapa tahun bagian-bagian terpenting Kitab Suci dibacakan bagi umat." (Sacrosantum Concilium/Konsitusi tentang liturgi 51). Melalui bacaan-bacaan Kitab Suci (dan keterangan seperlunya) dalam liturgi, umat dibiasakan dengan segala kekayaan Sabda Allah dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Mendengarkan bersama Firman Tuhan dalam liturgi akan membentuk dan membina umat Allah; mendengarkan segala kekayaan Firman Tuhan akan juga menghasilkan umat yang lebih "Bible-minded "Pembacaan Alkitab dalam liturgi dan pembacaan Alkitab secara pribadi dapat saling mempengaruhi, saling memperkaya. Bacaan liturgis mempermudah pembacaan saleh pribadi.
- liturgi menekankan suasana terbaik bagi pembacaan saleh pribadi, yakni suasana doa.
- bacaan liturgis yang disertai keterangan seperlunya dalam homili menolong orang kristen dalam hal pengertian dan pengetahuan bila ia membaca Kitab Suci sendiri.

Demikian juga partisipasi yang lebih aktip dan lebih sempurna dalam perayaan liturgis akan dipermudah oleh pembacaan saleh yang frekwen dari Kitab Suci: Orang akan lebih memahami dan meresapi karya penyelamatan yang diwartakan dalam Kitab Suci dan dirayakan dalam liturgi. Begitulah dapat dikatakan, bahwa terjadi semacam interaksi kotinyu antara pembacaan Kitab Suci dalam liturgi dan pembacaan pribadi.

2. PERSIAPAN CALON PEWARTA.

Ketetapan, anjuran, pengarahan yang paling bagus pun tak dapat tidak tinggal huruf mati saja, jika tiada orang cakap untuk melaksanakannya. Konsili menyadari kenyataan itu. Oleh sebab itu para Bapa Konsili, dalam konsitusi Dei Verbum dan dalam sejumlah dokumen lain, sangat menekankan persiapan yang menandai bagi para calon pewarta. Hanya dengan persiapan yang baik, dalam bidang Kitab Suci sebagai bekal, para pewarta-iman, diakon, katekis, dapat menjadikan Firman Tuhan pusat seluruh karya pewartaannya. Sebab hanya dari mereka itulah dapat diharapkan suatu pembaharuan dalam kehidupan umat biasa. Hanya kalau para pewarta, di masa pendidikan, dibekali dengan pengertian dan cinta akan sabda Allah, maka mereka akan bisa menolong umat yang dipercayakan kepada mereka. Konsili mendesak agar seluruh studi teologi bertitik tolak dari dan diwarnai oleh Sabda Allah dalam Kitab Suci. Disamping itu pembacaan, renungan dan studi ilmiah dari Kitab Suci harus menjadi bagian penting dalam pendidkan para calon pewarta. "Oleh sebab itu semua rohaniwan, terutama para imam Kristus serta lain-lainnya yang sebagai diakon atau katekis berhak menjalankan pelayanan sabda, harus berpegang teguh pada Alkitab dengan pembacaan saleh yang tekun serta pelajaran yang seksama; jangan seorangpun dari mereka menjadi pewarta lahir sabda Allah yang hampa, yang tidak mendengarkan-Nya sendiri dalam batin, sedang seharusnya dalam liturgi suci, dengan umat beriman yang dipercayakan kepadanya." (Dei Verbum 25)

Melalui homili dan katekese oleh pewarta yang cakap, umat akan dituntun ke dalam dunia Alkitab, ke dalam alam pikiran biblis. Umat akan dihantar ke dalam sejarah penyelamatan secara lebih langsung, karena Firman Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi, oleh Yesus Kristus, oleh para rasul, diwartakan sekarang kepada mereka langsung dari Alkitab dengan keterangan seperlunya oleh pewarta yang mahir. Dan pewartaan yang berakar dalam dan bersumber pada Alkitab akan menolong umat untuk mulai sendiri menggali kekayaan Sabda Tuhan melalui pembacaan dan renungan pribadi dari Kitab Suci.


3. BACAAN KITAB SUCI OLEH SETIAP ORANG BERIMAN.

Tujuan segala usaha, ajakan, peraturan sekitar Kitab Suci dalam Konsili Vatikan II ialah agar Sabda Allah yang tertulis itu sungguh menjadi santapan rohani dan sumber hidup bagi seluruh umat. Para uskup, para ahli Kitab Suci, para imam dan katekis, masing-masing diajak untuk, sesuai dengan jabatan itu dan kemampuan mereka, berusaha demi tercapainya tujuan itu. Mereka sendiri harus menjiwai karya pastoralnya dengan pembacaan, renungan, dan studi Alkitab; mereka harus menjadikan Alkitab pusat pewartaan; dari mereka diminta daya upaya demi penerbitan Kitab Suci dalam setiap bahasa dan dengan pengantar dan catatan yang mempermudah pembacaan bagi umat biasa; mereka harus mempromosikan pembacaan Alkitab dalam kalangan umat. Namun demikian Konsili tidak bermaksud memandang dan memperlakukan umat hanya sebagai penerima pasip dari segala anjuran dan usaha itu. Bukan! Setiap orang beriman diajak untuk secara aktip berusaha agar Alkitab semakin berperan dalam hidupnya melalui pembacaan saleh dan renungan. Oleh sebab itu pada akhir Konsitusi Dei Verbum dirumuskan tujuan segala usaha tadi sebagai berikut: "Begitu juga konsili Suci mendesak dengan amat sangat dan secara istimewa agar semua orang beriman, terutama para biarawan/biarawati, acap kali membaca kitab-kitab ilahi dan memperoleh "Keunggulan pengetahuan Yesus Kristus" (Filipi 3:8). Sebab tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus. Maka hendaknya mereka dengan suka menghadap Kitab Suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang penuh dengan sabda-sabda ilahi, entah dengan bacaan saleh, entah melalui lembaga-lembaga yang baik untuk itu atau dengan bantuan lain, yang dengan persetujuan dan usaha para gembala Gereja dewasa ini di mana-mana tersebar dengan baik-baik. Tetapi hendaklah mereka ingat bahwa doa harus menyertai pembacaan Kitab Suci, supaya terjadi wawancara antara Allah dan manusia, sebab kita berbicara denganNya, kalau berdoa; kita mendengarkan Dia, kalau membaca firman ilahi. (Dei Verbum 25)

Dalam kutipan yang agak panjang, itu terungkapkan dengan terang cita-cita dan pengharapan yang ada dalam hati para Bapa Konsili: seluruh umat Allah, dari anggota yang paling terpelajar sampai kepada yang paling sederhana, hidup dari firman Allah yang disampaikan kepada manusia dalam Kitab Suci. Tentu saja Konsili menyadari bahwa masih harus ditempuh suatu perjalanan yang panjang dan lama sebelum cita-cita tadi tercapai. Tetapi perkembangan di bidang peranan Kitab Suci dalam hidup umat, sebagaimana dapat disaksikan di sekitar kita di Indonesia, menyatakan bahwa anjuran Konsili sungguh diterima dan didengarkan dengan baik di sini. 18 tahun setelah Konsili, kemajuan mulai tampak. Hasil yang diperoleh sampai kini semestinya mendorong kita semua untuk meneruskan usaha yang baik itu.

IV. KITAB SUCI DAN KITA.


Kalau usaha Gereja, usaha kita semua, untuk menuntun umat kepada Kitab Suci mau berhasil, maka sangat perlulah agar semakin banyak orang mulai menggemari Kitab Suci. Kitab Suci merupakan suatu buku yang kuno, suatu buku yang tidak begitu saja sesuai dengan selera kita, orang dari abad ke 20 ini. Mudah sekali timbul rasa tidak senang, rasa bosan. Apa yang dibaca seringkali tidak dimengerti. Pengalaman dan rasa tadi dapat membawa akibat yang tidak jarang dapat diamati: umat- atas anjuran pastor, katekis, dengan senang hati membeli Kitab Suci, tetapi sudah beberapa kali mencoba membacanya menaruh kitab suci itu didalam lemari atau rak buku, dari mana jarang sekali atau bahkan tidak pernah lagi keluar. Kalau umat tidak membantu dalam membaca dan merenungkan Kitab Suci, maka resikonya besar, bahwa Kitab Suci tidak pernah akan berfungsi melainkan tinggal suatu buku yang tertutup saja. Justru orang-orang kader harus menolong saudara-saudara seiman, seperti di katakan oleh Konsili dalam dokumen, yang sudah dikutip diatas. "Jangan seorangpun dari mereka (imam, diakon, katekis) menjadi pewarta lahir sabda Allah yang hampa, yang tidak mendengarNya sendiri dalam batin, sedang seharusnya ia membagi kekayaan sabda ilahi yang berlimpah-limpah" (Dei Verbum 25). Sejumlah pedekatan yang berguna, baik bagi kader maupun umat biasa, dapat disebutkan di sini.

1. Mengenal diri sendiri melalui tokoh-tokoh Kitab Suci.

Sebagai orang yang beriman, kita dapat ditolong dan disemangati oleh mereka yang mendahului kita pada jalan iman itu. Kelemahan dan kekuatan mereka, keragu-raguan dan kepastian mereka, kedosaan dan kesetiaan mereka, semuanya itu dapat menolong kita untuk maju terus di jalan yang ditentukan oleh Tuhan bagi kita masing-masing.

Jalan hidup Abraham dapat membuka mata kita bagi kenyataan bahwa hidup beriman mengalami suatu perkembangan, dalam mana kesetiaan (Kejadian 12:1-9) dan ketidaksetiaan (Kejadian 12:10-20) saling menyusul; Abraham yang kurang sabar mau memaksa Allah dalam menepati janjiNya (Kejadian 16), tetapi dialah juga orang yang sanggup meletakkan seluruh jaminan ke dalam tangan Allah dengan mengikatkan puteranya di mezbah di atas gunung Moria (Kejadian 22:1-19). Siapakah tidak pernah merasakan diri tak berdaya dalam situasi yang sulit. Daud yang muda itu di hadapan prajurit raksasa Goliat (1Samuel 17)?. Tetapi pewartaan yang disampaikan melalui cerita itu ialah bahwa kita tidak perlu berkecil hati, karena dengan kekuatan Allah kita dapat bertahan dan menang dalam situasi yang paling sulitpun. Nabi Yeremia mencoba untuk hidup sesuai dengan panggilan, tetapi ia mengalami frustasi, penolakan, kegagalan; ia tidak bertahan lagi, menolak panggilannya (Yeremia 20:7-19; 15:18), tetapi berbalik kepada Tuhan yang sudi memangginya kembali (Yeremia 15:9), sehingga Yeremia menjadi nabi yang mengalami secara sangat mendalam kasih Allah, juga dalam keadaan yang sulit. Jalan hidup yang sulit menjadikan Yeremia seorang pembimbing yang dapat mendampingi umat Allah dalam periode paling sukar dari sejarah Israel.
Tidak sulit mengenal dirinya sendiri dalam semangat Petrus dalam kelemahannya, bukan hanya sebelum Pentekosta, melainkan juga sesudahnya. (bdk Kisah 4:19 dst Galatia 2:11-14.).Tetapi pada saat yang paling menentukan ia sanggup menyerahkan nyawanya sebagai martir. Sama dengan Paulus yang berkembang dalam iman melalui segala persoalan dan penderitaan yang diterimanya demi Kristus. Kesatuan yang semakin erat dengan Tuhan menjadikan Paulus seorang saksi mengenai sukacita, kegembiraan yang berasal dari kabar gembira yang diwartakannya.

Demikian juga tokoh-tokoh Kitab Suci lainnya, seperti Yakub, Yusuf, Musa, Amos, Hosea dapat menunjukan jalan kepada kita. Pengalaman leluhur kita dalam iman, sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Suci, menjadi pedoman dan pegangan bagi kita. Begitulah juga sikap-sikap dasar dikemukakan melalui pewartaan Alkitab. Misalnya sikap menyerahkan diri dan seluruh jaminan masa depan kepada Allah dalam iman kepercayaan, akan terus-menerus diinspirasikan oleh cerita tentang korban Abraham (Kejadian 22); sikap berharap atau mengandalkan Tuhan dalam situasi manapun juga, sangat diperkuat oleh penglihatan nabi Yesekiel (Yehezkiel 37:1-14); sikap mencintai sesama sukar dapat dilepaskan dari ajaran yang terkandung dalam perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik (Lukas 10:25-37)
Dalam kitab Mazmur dan dalam sejumlah perikopa lain dari Kitab Suci disajikan sekumpulan doa yang mengungkapkan reaksi tepat dari kaum beriman atas segala karya Allah. Doa itu diwariskan kepada kita agar menjadi doa kita dan juga agar menolong kita mengungkapkan secara tepat isi hati kita dalam doa-doa baru.

2. MENGENAL SITUASI KITA DALAM SITUASI KITAB SUCI.

Sepanjang sejarah Israel dan Gereja Purba timbul bermacam-macam situasi, dalam mana kaum beriman mencari jalannya sesuai dengan keyakinan iman mereka. Renungan tentang situasi-situasi itu dan tentang tanggapan yang diberikan oleh Israel atau oleh Gereja Purba atas situasi mereka menyajikan kepada kita sejumlah pedoman dan patokan bagi penilaian iman terhadap situasi kita sekarang.

  • Pewartaan Amos menjadi sumber inspirasi bagi penilaian terhadap situasi kini yang dikemukakan oleh sejumlah teolog dari dunia ketiga; sebab keadaan Israel pada pertengahan abad ke 8 sebelum Masehi dapat diperbandingkan dengan keadaan di banyak negara dewasa ini. Tentu saja Amos tidak memberi jawaban atas segala pertanyaan yang timbul sekarang ini, tetapi jawaban yang diberikannya atas pertanyaan yang timbul pada jamannya, dapat menolong kita untuk membayangkan dan merumuskan reaksi Allah atas sejumlah masalah yang timbul di dunia ketiga.
  • Sejarah Israel sebagai sejarah, dalam mana kesetiaan dan kesabaran Allah berhadapan dengan sikap kurang setia dari bangsa yang terpilih, dapat menjadi pedoman bagi penilaian terhadap sejarah kita baik individual maupun kolektif. Penilaian yang diberikan mis. dalam Yeremia 2; Yehezkiel 16;20.23 menolong kita untuk menilai sejarah secara profetis, yakni dari sudut pandangan Allah.
  • Pengalaman Gereja Purba, di mana perintah utama mengenai cinta-kasih menjadi pusat perhatian, menyatakan, bahwa suatu kelompok tidak akan mencapai kesempurnaan dalam penghayatan perintah itu. Kendati ada kemauan yang baik dari segala pihak, namun respons yang bagus seperti dalam Kisah 2:41-47;4:32-37 akan selalu diancam oleh respons yang kurang, seperti dalam Kisah 5:1-11; 6:1. Baik tanggapan yang berhasil maupun tanggapan yang gagal dapat mengarahkan kita dalam hidup bersama.

3. PERANAN ROH KUDUS


Segala pengalaman iman dalam umat Israel dan dalam Gereja Purba, segala penilaian terhadap situasi mereka ditimbulkan oleh Roh Kudus. Dialah yang menjadi motor dalam sejarah yang kita sebut sejarah keselamatan. Roh Kudus pun berusaha dan berkarya agar seluruh pengalaman dan penilaian itu tidak sampai hilang melainkan tersimpan dalam Alkitab, kitab iman kita. Hal ini sudah sangat penting bagi kiita, karena kita menyadari bahwa kisah tentang karya allah dan tentang reaksi orang beriman atas karya itu ditulis dengan ilham Roh Kudus. Begitulah kisah tentang leluhur kita dalam iman dapat menjadi pegangan yang berharga bagi kita, sebab jalan mereka adalah jalan kita. Tetapi disamping itu kita percaya bahwa ilham Roh Kudus membawa juga akibat ini: pada waktu orang mebaca Kitab Suci, ia bertemu dengan Firman Tuhan. Ia membawa kata-kata dan kalimat-kalimat dari seorang pengarang manusia, tetapi dalam semuanya itu Tuhan sendiri menyapa si pembaca dengan FirmanNya yang sebagai "pelita dalam gulita" (2 Petrus 1:19), "pedang bermata dua" (Ibrani 4:12) mempengaruhi, menggerakkan dan menyemangatinya. Dengan cara halus dan sekaligus tegas Roh Kudus berkarya dalam hati orang yang membaca Sabda Allah, agar dalam diri orang itu terwujudlah maksud "yang menghendaki supaya semua orang daselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran" (1 Timotius 2:4).

Agar karya Roh semakin mudah disadari dan ditanggapi, maka diberi oleh Bapa-Bapa Konsili Vatikan II anjuran ini: "Hendaklah mereka ingat bahwa doa harus menyertai pembacaan Kitab Suci, supaya terjadi wawancara antara Allah dengan manusia; sebab kita berbicara denganNya, kalau berdoa; kita mendengarkan Dia, kalau membaca Firman ilahi" (Dei Verbum 25).

4. SEGALA BAGIAN KITAB SUCI SAMA PENTING?

Tidak jarang orang berpikir, bahwa segala bagian dari Kitab Suci mempunyai nilai yang sama bagi kita. Gagasan itu masuk akal bagi kita kaum beriman, karena kita percaya bahwa seluruh Kitab Suci adalah Firman Tuhan kepada kita. Namun demikian penggunaan Alkitab dalam liturgi menyatakan melalui seleksi bacaan-bacaan, bahwa ada bagian yang lebih penting dan perlu bagi kita di samping bagian yang tidak begitu relevan bagi kita yang hidup di abad ke-20 ini. Proses terjadinya Kitab Suci, secara kasar antara tahun 1000 Seb Masehi sampai tahun 100 ssd Masehi, memperlihatkan bahwa Allah menyampaikan wahyuNya dalam suatu proses historis: unsur-unsur tertentu-seperti misalnya norma hidup kesusilaan, peraturan ibadat, gagasan tentang inti keselamatan manusia dan tentang hidup di akhirat, dan lain sebagainya-diwahyukan sedikit demi sedikit, disempurnakan, bahwa kadangkala dengan mengoreksi atau menghapus peraturan dan pewahyuan sebelumnya.

Dari kenyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa bagi umat kitapun kita perlu membaca, merenungkan segala bagian Alkitab sambil merasa bersalah bila meloncat sejumlah bagian Perjanjian Lama yang terasa tidak relevan atau bahkan membingungkan. Salah satu bantuan yang dapat diberikan oleh "kader" kepada umat adalah petunjuk mengenai bagian-bagian Alkitab yang paling bermanfaat bagi mereka, mulai dari yang lebih mudah sampai kepada yang lebih sulit. Dengan sendirinya Perjanjian Baru bagi kita orang kristen lebih penting daripada Perjanjian Lama, tetapi sangat sayang, kalau umat tidak diarahkan kepada perbendaharaan Perjanjian Lama yang amat kaya itu. Dalam kumpulan tulisan yang tersimpan dalam Perjanjian Lama ada buku-buku sejarah yang mudah dimengarti, ada kumpulan mazmur yang sangat tinggi nilai rohaninya, tetapi juga suatu harta pengalaman dalam kitab-kitab Sirakh, Kebijaksanaan, Amsal, dan lain-lain yang akan sangat digemari oleh generasi tua yang acap kali bahkan tidak tahu, bahwa ada hal seperti itu dalam Alkitab! Melalui petunjuk-petunjuk praktis seperti itu orang-orang kader dapat amat menolong umat lainnya agar pembacaan Alkitab semakin ditingkatkan.

***

V. KITAB SUCI DI INDONESIA

1. SEMANGAT MEMBACA

Usaha pemerintah dalam bidang pendidikan sampai kini patut dikagumi. Lambat laun gejala buta huruf menghilang. Begitulah syarat terpenting bagi pembacaan pribadi Alkitab sudah teratasi. Tetapi yang masih kurang tampak dalam kalangan luas adalah semangat membaca. Para penerbit surat kabar, majalah dan terutama penerbit buku mengeluh mengenai kenyataan tadi. Sangat sedikit orang, bahkan dalam kalangan orang yang berpendidikan menengah atau akademis pun, membaca buku secara teratur. Tentu saja dengan mudah dapat disebutkan sejumlah alasan yang ikut mempengaruhi keadaan itu, seperti harga buku, penyaluran buku yang belum lancar ke kota kecil dan dusun, fasilitas perumahan seperti tempat yang tenang, lampu yang baik, dan seterusnya. Tetapi sebab yang paling penting rupanya adalah semangat, kesenangan membaca, yang belum cukup ditanamkan dan dikembangkan selama anak-anak belajar di sekolah dasar dan menengah.

Tidak dapat disangkal, bahwa Gereja-gereja protestan dan katolik dan lembaga-lembaga Alkitab yang khusus, bersama dengan Departemen Agama, sungguh berdaya-upaya hebat untuk menyebar luaskan Alkitab dalam kalangan kaum beriman. Hasil usaha yang patut dipuji itu akan tetap sangat dipengaruhi oleh semangat membaca yang masih kurang. Kesadaran akan keadaan itu dapat menolong kita agar jangan terlalu senang dan puas hanya dengan jumlah Alkitab yang telah 'masuk' ke dalam lingkungan kita. Tanpa ajakan untuk membaca, yang pada saat-saat yang tepat harus diulang terus menerus, buku suci itu mudah tinggal buku tertutup saja. Dalam kerja sama dengan para guru-makin dini ditanamkan semangat membaca makin baik-persediaanbuku Alkitab dapat menjadi sarana untuk menjadikan umat kita semakin "book minded". Di sini dapat timbul suatu interaksi antara para pendidik sekolah dan para pembina iman umat yang berguna sekali bagi semua.

2. PELAJARAN AGAMA

Tidak ada banyak negara di dunia, dimana pelajaran agama diatur begitu lengkap dan baik seperti di Indonesia. Sejak taman kanak-kanak sampai dengan universitas, generasi muda diberi pelajaran agama. Di sini tersedialah suatu sarana bagi 'promosi Alkitab' yang dapat menjadikan banyak pemimpin Gereja di negara-negara lain iri hati!.

Kalau guru dan dosen agama berpedoman pada petunjuk Vatikan II "seluruh pewartaan Gereja seperti juga agama kristiani sendiri harus dipupuk dan diatur oleh Kitab Suci" (Dei Verbum 21, maka kita boleh berharap, agar fungsi dan peran "Firman Tuhan dalam hidup pribadi" akan bertambah kentara dalam umat kita.

Memang untuk itu perlu menggunakan Kitab Suci sendiri dalam katekese. Tidak jarang didengar pernyataan, "Kitab Suci adalah terlalu sulit bagi umat biasa, "sehingga pastor, guru, katekis, lebih cenderung menggunakan buku dan karangan tentang Kitab Suci daripada teks Kitab Suci sendiri. "Salah paham" tersebut tersebar luas sampai ke dalam lingkungan kader, dengan akibat bahwa banyak imam dan biarawan/biarawati rajin membaca uraian tentang Alkitab tetapi enggan membuka dan membaca Alkitab sendiri. Slogan mengenai kesulitan Kitab Suci menjadi agak dangkal, jika kita ingat akan peranan Alkitab dalam kalangan umat biasa misalnya pada abad-abad pertama Gereja atau jaman Reformasi di Eropa. Benarlah pendekatan pertama pada Kitab Suci dapat saja terasa sulit dan tidak menarik, tetapi disinipun ketekunan dapat merubah kesan pertama dan menjadikan orang semakin antusias bagi pembacaan teks Alkitab. Melalui sarana pelajaran agama di sekolah kaum kristen muda dapat dibantu untuk sedikit demi sedikit memperoleh "selera" bagi pembacaan itu. Tugas para guru agama tidak mudah, tetapi di sini dapat disaksikan sejumlah usaha yang sangat berhasil. Begitulah misalnya saya melihat, dua tiga tahun lalu, di suatu SD dekat kota Ende di Flores bagaimana anak-anak yang baru berumur 10-12 tahun dapat membaca, mengerti banyak bagian PB, menjadikannya titk tolak bagi doa spontan, guru, dengan cinta akan Alkitab sebagai satu-satunya bekalnya, dapat menuntun anak muda itu kepada taraf pengertian Kitab Suci yang lazimnya tidak kutemukan dalam calon-calon imam yang mendaftarkan diri untuk masuk Institut Filsafat Teologi di Kentungan!.

Dengan pelajaran yang bercorak biblis sebagai dasar, masih tersedia cukup banyak sarana lain agar peranan "Firman Tuhan dalam hidup pribadi" berkembang. Pertama-tama dapat disebutkan homili dalam perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan dalam Misa kring/lingkungan/stasi. Uraian bacaan Misa yang dipersiapkan secara bertanggung jawab serta dibawakan sesuai dengan daya tangkap para pendengar tak dapat tidak meningkatkan pengertian umat terhadap pokok-pokok utama dari Alkitab, sehingga mempermudah pengertian mereka terhadap bagian Alkitab yang lain. Sarana lain adalah organisasi, persekutuan, gerakan seperti kelompok Kitab Suci, Legio Maria, Marriage Encounter, dan sebagainya yang tersebar dimana-mana dan merupakan forum yang sangat tepat bagi pembacaan Kitab Suci disertai keterangan singkat sebagai salah satu cara pertemuan. Penggunaan sarana sederhana seperti itu akan menjadikan umat kita semakin "Bible Minded "serta menolong mereka agar Kitab Suci semakin berfungsi dalam hidup mereka, baik pribadi maupun bersama.

3. BANTUAN DARI DEPARTEMEN AGAMA.

Disamping usaha pemerintah bagi pendidikan agama di segala tipe sekolah, masih perlu disebutkan suatu usaha yang cukup unik di dunia kita, yaitu bantuan Departemen Agama dalam menyebarluaskan Kitab Suci. Selama Pelita-Pelita dijalankan sudah dicetak dan di sebarkan secara gratis puluhan ribu eksemplar Alkitab ke seluruh pelosok tanah air. Tiada pastor, katekis, atau guru agama yang belum mengalami hasil nyata dari usaha Departemen tersebut. Tentu saja cita-cita "setiap umat memiliki Alkitab yang lengkap" belum terwujut, tetapi usaha-usaha Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga Biblika Indonesia sangat didukung oleh bantuan Departemen Agama. Tidak perlu dan tidak baik kiranya jika kita menggantungkan seluruh kerasulan Alkitab pada eksemplar-eksemplar gratis yang dipersembahkan oleh Departemen Agama dalam rangka Pelita, sebab harga Alkitab sungguh terjangkau oleh banyak orang. Tetapi justru bagi umat yang lebih terbatas dalam penghasilannya, bantuan Departemen Agama dapat merupakan suatu sumbangan yang amat penting.

P E N U T U P

Dalam Injil Yohanes 14:6 Yesus memperkenalkan diri sebagai "jalan kebenaran dan hidup" dengan kata lain; ajaran dan teladan Yesus adalah jalan yang benar-benar menuntun kita kepada kehidupan kekal, kepada kesatuan dengan Bapa sumber segala kehidupan "Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yohanes 14:6). Dengan mengikuti Yesus Kristus, kita akan dengan pasti mencapai keselamatan dalam kesatuan dengan Allah Bapa.

Sambil bertitik tolak pada ayat Yohanes itu, Konsili menulis tentang Kitab Suci, bahwa "orang harus mengakui bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh, setia dan tanpa kekeliruan kebenaran yang demi keselamatan kita mau dicantumkan Allah dalam Kitab-Kitab Suci". (DV 11). Sama seperti Yesus adalah kebenaran, jalan yang benar-benar menuntun kita kepada keselamatan, demikian juga kata Konsili, Alkitab menuntun kita kepada keselamatan atas dasar kebenaran, hasil ilham Roh Kudus. Membaca, merenungkan dan menghayati isi Kitab Suci akan benar-benar menghantarkan kita kepada Allah Bapa, sumber keselamatan dan kehidupan kekal. Berusaha agar "Firman Tuhan Dalam Hidup Pribadi "berfungsi, berarti: berusaha agar kita sendiri dan orang-orang lain yang dipercayakan kepada kita dituntun kepada keselamatan, kepada kesatuan dengan Allah Bapa. Dalam usaha itu kita dapat mengalami kesulitan dan perlawanan, tetapi tujuannya begitu luhur, sehingga kita semestinya pantang mundur serta dengan tekun meningkatkan peran "Firman Tuhan Dalam Hidup Pribadi". Seluruh umat, khususnya melalui segala aktivita sekitar Hari Minggu Kitab Suci Nasional tahun ini. Dengan demikian kita akan mengalami apa yang diungkapkan oleh pemazmur sekitar 2300 tahun yang lalu :
"Peringatan-peringatan ajaib,
Itulah sebabnya jiwaku memegangnya,
Bila tersingkap,
firman-firmanMu memberi terang
memberi pengertian kepada orang-orang bodoh,
teguhkanlah langkahku oleh janjiMu,
dan janganlah segala kejahatan berkuasa atasku
Sinarilah hambaMu dengan wajahMu,
dan ajarkanlah ketetepan-ketetapanMu kepadaku,
Aku rindu kepada keselamatan dari padaMu ya Tuhan,
dan TauratMu menjadi kesukaanku
(Mzm 119: 129-130, 133, 135, 174)


Beberapa Kutipan Kitab Suci Dengan Tema

"FIRMAN TUHAN BAGI HIDUP PRIBADI"

Barangkali ada baiknya kami masih menyajikan beberapa nas Alkitab lebih kurang teratur, yang mungkin memberi inspirasi.

1. Menurut kesaksian Alkitab sendiri, Kitab Suci (Perjanjian Lama, tapi ditambah Perjanjian Baru) ditulis bagi kita, orang yang percaya, baik seluruh jemaat maupun masing-masing orang beriman. Begitulah ditegaskan 1 Korintus 10:11 semuanya ini.......dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita. Roma 15:4 menambah: Segala sesuatu yang ditulis dahulu telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci Maka apa yang misalnya ditulis mengenai Abraham sebenarnya mengenai kita (Roma 4:23-24). Oleh karena demikian duduknya perkara maka suatu unsur dasariah hidup kristiani ialah mengecap firman yang baik dari Allah, seperti yang ditekankan Ibrani 6:5

2. Agar supaya firman Allah yang membeku di dalam tulisan menjadi firman Allah yang hidup dan kuat, lebih tajam daripada pedang bermata dua (Ibrani 4:12-13), perlulah orang membaca Kitab Suci dengan iman sejati. 2 Korintus 3:14-16 mengatakan bahwa orang Israel (yang tidak percaya) tidak dapat memahami Kitab Suci. Hanya Kristus saja dapat menyingkapkan maksudnya. Manakala orang (dengan iman) berbalik kepada Tuhan (Kristus), selubung diambil dan firman Allah menjadi bermakna. Karena itu murid Yesus kebingungan dan putus asa karena tidak mengerti nasib malang Yesus, sebab mereka tidak mengerti Alkitab. Maka Yesus datang menjelaskannya (Lukas 24:25-26). Sida-sida dari Etiopia asyik membaca Alkitab, tetapi tidak mengertinya sampai Yesus diwartakan kepadanya (Kisah 8:26-35)
Jikalau benar bahwa pembacaan Alkitab mengandaikan iman, maka benar pulalah bahwa Kitab Suci mengantar orang kepada iman yang semakin matang. Sebab "rahasia Kristus.....telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi (dan lain-lain kitab)....untuk membimbing (segala bangsa) kepada ketaatan iman" (Roma 16:26) Begitu misalnya Apolos yang tekun mempelajari Alkitab dan yang dengan pertolongan sedikit saja sampai kepada iman bulat dan matang (Kisah 18:24-25). Ataupun orang-orang Yahudi di Berea yang tidak blak-blakan menolak Injil dan dengan meneliti Kitab Suci menjadi percaya oleh karena pemberitaan Paulus ternyata tahan uji terhadap Alkitab (Kisah 17:11-12)
Sebaiknya, tanpa iman firman Allah tidak berguna sedikitpun (Ibrani 4:1-2), kalaupun tetap berlaku (Ibrani 4:7-11). Kalau firman itu ditolak oleh karena tidak ada iman, maka berubahlah firman penyelamatan menjadi firman penghakiman (Ibrani 12:25)

3. Kalau iman tersebut ada, maka firman Allah yang membeku dalam tulisan-tulisan menjadi firman yang tertanam dalam hati dan mampu menyelamatkan jiwa (Yakobus 1:21). Firman itu menjadi firman kasih karunia (Kisah 14:3.20.32) dan kabar yang menyelamatkan (Kisah 13:26) Dan oleh karena firman itu sendiri menawarkan kasih karunia dan penyelamatan serta menjadi hukum yang memerdekakan (Yakobus 1:25), maka tidak perlu orang menjadi pendengar saja. Ia dapat dan mesti menjadi pelaku firman yang diteliti dan ditekuni (Yakobus 1:22.25) Sebab firman Allah yang hidup memang mampu melaksanakan dan mewujudkan apa saja yang difirmankan (lihat Yesaya 55:10-11). Satu-satunya syarat ialah: Firman itu jatuh di dalam tanah yang baik, hati beriman dan bertobat kepada Tuhan (bdk Lukas 8:11-15). Tentu saja firman Allah tidak dapat oleh masing-masing orang ditafsirkan dengan sewenang-wenangnya. Mesti ada Roh Kudus yang menghasikan Alkitab (2 Petrus 1:20) dan meresap ke dalam seluruh umat beriman

4. Firman Allah yang melalui iman meresap ke dalam hati menjadi pembantu ampuh untuk menggumuli masalah hidup sehari-hari di dunia ini. Pada dirinya kitab Taurat, katakan saja Alkitab, menjadi cahaya abadi bagi dunia seluruhnya, seperti dibanggakan Kebijaksanaan 18:4. Tetapi manakala diterima, firman kenabian (dan semua firman Allah) menjadi pelita yang bercahaya di tempat gelap (bdk 2 Petrus 1:19). Di saat kebingungan dan di masa darurat orang perlu mencari-cari firman Allah, seperti yang dikatakan nabi Amos (Amsal 8:11) dan tidak akan mencari percuma, seperti orang yang sezaman dengan Amos dan kurang percaya (Amsal 8:12) Orang dapat mencontoh Yudas Makabe (2 Makabe 2:14-15) yang mengumpulkan kembali kitab-kitab Suci yang di masa penganiayaan hilang dan tersobek-sobek (1 Makabe 1:56). Sebab di masa darurat Alkitab menjadi penghiburan bagi orang percaya (1 Makabe 12:9) yang mencukupi. Sebab dalam Alkitab itulah dapat ditemukan nasehat dan petunjuk Allah, sehingga tidak perlu lari ke dukun-dukun, primbon dan jimat (1 Makabe 3:48). Alkitabpun memberi semangat untuk menghadapi pertempuran dan pergumulan berat (bdk. 2 Makabe 8:23).

5. Begitulah orang sedikit dapat mengalami kebenaran dari apa yang dikatakan Sirakh 50:27-29 tentang kitab itu, tetapi berlaku untuk seluruh Kitab Suci.

Di dalam Kitab ini termaktublah pengajaran
tentang pengertian dan pengetahuan
...............................................................................
yang meluap-luapkan kebijaksanaan dari dalam hatinya
Berbahagialah orang yang menyibukkan diri dengannya dan dengan menaruhnya di dalam hatinya menjadi bijaksana.
Jika semua dilaksanakannya,
niscaya ia menjadi sanggup untuk segala-galanya,
sebab cahaya Tuhanlah yang menjadi jalannya.



Wim van der Weiden MSF