Thursday, August 30, 2007

Kudusnya Perkawinan Indahnya Kesetiaan



BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2007

KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

PERTEMUAN I

Kudusnya Perkawinan, Indahnya Kesetiaan

“…yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Beberapa persiapan

· Para peserta dimohon membawa Kitab Suci & panduan pertemuan BKSN 2007.

· Pemandu mempersiapkan materi sebelum pertemuan.

· Pemandu/tim memilih lagu yang sesuai; bisa juga dengan memutar kaset/CD lagu rohani.

Latar Belakang Teks Materi Pertemuan (untuk dipahami; tidak perlu dibacakan dalam pertemuan)

Pertemuan pertama dari pendalaman Kitab Suci pada Bulan Kitab Suci tahun ini berkaitan dengan hakikat perkawinan sebagai sakramen, yaitu suatu perkawinan yang monogam (satu dengan satu) dan tak terceraikan. Renungan mengenai sakramen perkawinan ditempatkan pada awal untuk mengantar kita pada pembicaraan tentang keluarga. Kokohnya keluarga Katolik sangat ditentukan oleh kokohnya ikatan suami-istri. Renungan kita berangkat dari teks Kitab Suci untuk kemudian dibagikan lewat pengalaman yang nyata dari para peserta.

Setiap kali berbicara tentang perkawinan yang monogam dan tak terceraikan dari sisi Kitab Suci, teks dari Injil Markus ini selalu menjadi rujukan. Jawaban Yesus terhadap pertanyaan orang Farisi terkesan tegas, tanpa kompromi. Sebagai umat Katolik, kita semua setuju dengan ajaran Yesus tersebut. Namun, bagi pasutri Katolik, ajaran Yesus ini tentu membawa konsekuensi yang tidak ringan. Apalagi zaman sekarang sedang didera oleh arus individualisme (orientasi pada kepentingan diri pribadi), ditambah dengan adanya pengaruh hedonisme (orientasi pada kenikmatan), dan materialisme (orientasi pada harta benda) yang terasa semakin kuat. Mempertahankan perkawinan yang satu dan tak terceraikan menjadi tantangan yang semakin sulit.

Tayangan televisi yang cukup banyak menampilkan persoalan kawin-cerai para selebritis menjadi gambaran dari sulitnya mempertahankan suatu perkawinan yang monogam dan tak terceraikan. Di satu pihak kita memahami betapa luhurnya ajaran Yesus mengenai kudusnya perkawinan, di lain pihak kita pun tahu bahwa tantangannya cukup berat. Oleh karena itu, arah dari sharing atau berbagi pengalaman dalam menghidupi sakramen perkawinan adalah untuk saling meneguhkan.

Melihat akar masalah

Di zaman Yesus, kawin-cerai adalah kasus yang sering terjadi. Hukum Yahudi yang berlaku di saat itu memang memperbolehkan adanya perceraian atas dasar alasan-alasan tertentu (bdk. Ul 24:1–4). Namun, yang biasanya menjadi persoalan adalah manakah alasan-alasan yang memperbolehkan terjadinya perceraian. Pertanyaan dari orang-orang Farisi kepada Yesus mengenai boleh tidaknya bercerai sebenarnya cukup aneh. Bukankah hukum memperbolehkannya jika ada alasan-alasan tertentu? Itulah sebabnya Yesus balik bertanya kepada mereka tentang apa yang diperintahkan Musa. Orang-orang Farisi menjawab bahwa Musa memperbolehkan perceraian dengan membuat surat cerai. Lalu, mengapa masih ditanyakan? Mereka menanyakan hal itu dengan tujuan untuk menjebak Yesus dan mencari kesalahan-Nya. Jika Yesus mengatakan bahwa perceraian diperbolehkan, barulah mereka akan mendiskusikan alasan-alasannya. Tentu pembicaraan akan menjadi panjang dan mereka akan semakin mendapat banyak kesempatan untuk menjebak dan mencari-cari kesalahan Yesus. Jika Yesus mengatakan bahwa tidak boleh ada perceraian, maka Dia akan langsung dituduh melawan hukum Taurat. Hukum Taurat jelas membuka peluang adanya perceraian. Pertanyaan yang sulit dijawab bukan? Namun, Yesus cukup lihai menghadapi jebakan. Sekaligus Ia memakai kesempatan itu untuk menyampaikan ajaran-Nya.

Yesus mengawali tanggapan-Nya terhadap kelonggaran untuk bercerai dengan suatu pernyataan keras: Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu (ayat 5). Yesus mau mengatakan bahwa Musa sebenarnya tidak mengizinkan adanya perceraian. Akan tetapi karena perintah itu dirasa terlalu berat, maka izin perceraian diberikan dengan syarat bahwa pihak suami harus memberi surat cerai. Dengan memberi surat cerai yang dilakukan di hadapan saksi-saksi, maka diharapkan perceraian tidak akan begitu mudah dilakukan. Perceraian tidak dianjurkan tetapi hanya diberikan sebagai kelonggaran karena ketegaran hati umat. Itu pun harus disertai alasan-alasan dan syarat tertentu yang dapat diterima oleh hukum. Kelonggaran ini rupanya banyak ditafsirkan sebagai izin, tanpa mempertimbangkan latar belakangnya. Padahal, di dalam Kitab Maleakhi 2:14–16 dikatakan: TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan istri seperjanjianmu. Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!”

Perceraian di kalangan umat Yahudi pada waktu itu tetaplah bukan penyelesaian yang ideal tetapi hanyalah suatu jalan keluar ketika rujuk perkawinan tidak dapat dilakukan lagi. Yesus perlu mengingatkan mereka akan hal itu. Kendati tertulis dalam hukum Taurat, Yesus menegaskan bahwa perceraian bukanlah kehendak Tuhan tetapi akibat dari ketegaran hati manusia. Izin perceraian diberikan supaya tidak ada akibat yang lebih buruk lagi, lebih-lebih bagi pihak istri. Masalahnya, hanya suami yang berhak menceraikan. Seorang istri tidak mempunyai hak untuk menceraikan suaminya. Istri bisa minta diceraikan, tetapi keputusan akhir tetap ada pada pihak suami.

Tanggapan Yesus

Tanggapan Yesus selanjutnya diberikan pada ayat 6–9: “Pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Yesus mendasarkan tanggapan-Nya pada Kitab Kejadian. Di dalam Kitab Kejadian 1:27 dikatakan: “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya ia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Dan di dalam Kejadian 2:24: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Atas dua alasan yang terdapat dalam Kitab Kejadian itu Yesus mengatakan: “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Bagi Yesus, perkawinan adalah persatuan yang dikehendaki dan dilakukan oleh Allah. Suami dan istri senantiasa ada di hadirat Allah dan kehidupan mereka ada dalam penyelenggaraan Allah. Bagaimana mungkin manusia menceraikan apa yang dipersatukan dan dijaga oleh Allah sendiri itu?

Yesus menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan di dalam perkawinan mempunyai kedudukan sederajat. Selain itu, Ia menentang adanya perceraian. Segala alasan yang dipakai oleh para suami Yahudi pada waktu itu untuk menceraikan istrinya dengan sendirinya ditolak. Izin Musa yang diberikan karena ketegaran hati umat dibatalkan oleh hukum yang dikehendaki dan diberikan oleh Allah sendiri sejak awal mula, seperti ditulis dalam Kitab Kejadian. Yesus sengaja mendasarkan ajaran-Nya dari Kitab Kejadian yang memuat ajaran sebelum Musa. Ia mau menunjukkan maksud Allah “pada awal mula” tentang persatuan antara laki-laki dan perempuan di dalam perkawinan.

Dengan tanggapan tersebut, Yesus mematahkan serangan orang-orang Farisi yang mau menjebak-Nya. Yesus mengetahui bahwa di dalam Taurat ada kelonggaran untuk bercerai. Akan tetapi, Yesus mengingatkan bahwa kelonggaran itu diberikan karena “ketegaran hati” manusia yang merasa tidak mampu melakukan kehendak Allah. Apa yang dikehendaki oleh Allah adalah mempersatukan laki-laki dan perempuan menjadi satu daging di dalam perkawinan. Mungkin istilah “menjadi satu daging” perlu diberi penjelasan sedikit. Ungkapan itu sebenarnya hanya mau menunjukkan eratnya persatuan antara suami dan istri di dalam perkawinan.

Di dalam Kitab Kejadian, eratnya persatuan antara suami dengan istri dijelaskan dengan berbagai cara. Seperti kelihatan pada Kejadian 1:27: Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya ia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka, baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama “gambar Allah”. Keduanya bersatu untuk saling melengkapi “gambar Allah”. Selain itu, kesatuan yang dikehendaki oleh Allah itu kelihatan pada Kejadian 2:18 dan Kejadian 2:23. Di dalam Kejadian 2:18 dikatakan: Tuhan Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.’” Perempuan diciptakan sebagai penolong yang sepadan. Artinya, baik laik-laki maupun perempuan diciptakan untuk berkerja sama di dalam menyelenggarakan kehidupan bangsa manusia. Keduanya sepadan, artinya yang satu tidak lebih daripada yang lain. Kesepadanan dan kesejajaran ini juga kelihatan dari pernyataan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Kej 2:21), bukan tulang bagian kepala atau bagian kaki. Jika tradisi Yahudi hanya memberi hak menceraikan pada pihak laki-laki, secara tidak langsung aturan itu sudah mengingkari kesepadanan yang dikehendaki oleh Allah sendiri.

Unsur kesatuan laki-laki dan perempuan juga kelihatan jelas di dalam Kejadian 2:23: “Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan (Ibr: isshah), sebab ia diambil dari laki-laki (ish).’” Dalam bahasa Ibrani, kata yang dipakai untuk laki-laki adalah “ish”, sedangkan perempuan adalah “isshah” yang artinya “diambil dari laki-laki”. Ayat ini memberi dasar teologis bahwa pada mulanya laki-laki dan perempuan berasal dari satu daging. Dengan demikian, persatuan antara keduanya berarti suatu persatuan kembali, seperti pada awal mula penciptaan. Persatuan dan kesatuan antara laki-laki dan perempuan di dalam perkawinan itu dimungkinkan karena masing-masing mempunyai unsur yang sama. Di dalam bahasa manusia, persatuan dan kesatuan itu paling kentara di dalam perkawinan. Hanya dengan persatuan laki-laki dan perempuan, manusia memenuhi panggilannya untuk meneruskan keturunan.

1. Lagu Pembuka (dipilih yang sesuai dengan tema pertemuan)

2. Tanda Salib dan Salam

3. Pengantar

Saudari dan saudara terkasih, bulan September, oleh Lembaga Biblika Indonesia (LBI) ditetapkan sebagai Bulan Kitab Suci Nasional. Sudah kesekian kalinya kita mengadakan BKSN dan tentu diharapkan bahwa dengan pendalaman Kitab Suci seperti ini, kita makin mampu memahami dan mencintai serta tidak ketinggalan adalah mewujudkannya dalam pergulatan hidup sehari-hari. Kalau demikian halnya, tentulah tidak dimaksudkan agar hanya pada bulan September saja kita akrab-dekat dengan Kitab Suci.

Pada tahun 2007 ini, sejalan dengan tema utama keuskupan kita tercinta yang mengangkat tema: “Keluarga sebagai Basis Hidup Beriman”, Komisi Kitab Suci KAS juga mendukungnya dengan mengambil materi-materi dari Kitab Suci Perjanjian Baru tentang keluarga. Diharapkan bahwa permenungan dan pendalaman kita atas materi-materi yang disajikan dapat meneguhkan keluarga-keluarga Katolik dalam upaya menjadikan kukuh agar Gereja pun semakin tangguh.

Semoga apa yang kita laksanakan pada BKSN 2007 ini sungguh dapat membuahkan hasil-hasil yang berlimpah dalam perjuangan dan peziarahan hidup kita selanjutnya.

4. Doa Pembuka (didoakan bersama-sama)

Allah Bapa Mahacinta, hari ini kami bersyukur boleh Kau persatukan dalam pertemuan pertama di Bulan Kitab Suci Nasional tahun ini. Bukalah hati dan budi kami agar kami siap mendengarkan kehendak-Mu lewat Sabda yang akan kami resapkan dan dalami. Utuslah Roh Kudus-Mu agar memimpin kami semua dari awal sampai akhir. Semoga kami dan keluarga-keluarga Kristiani makin mampu menghayati indah dan kudusnya sakramen perkawinan sebagaimana telah Engkau nyatakan. Demi Tuhan kami Yesus Kristus, yang bersatu dengan Engkau dan Roh Kudus, kini dan sepanjang masa. Amin.

5. Membaca Teks (Mrk 10:1–9)

1 Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula. 2 Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” 3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” 4 Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” 5 Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. 6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, 7 sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, 8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. 9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

6. Pendalaman Teks

· Pemandu mengajak peserta untuk melihat gambar atau memutar VCD

· Peserta dipandu untuk saling berbagi tanggapan atas penangkapannya setelah melihat gambar atau VCD:

ü Apakah yang ditanyakan oleh orang-orang Farisi kepada Yesus?

ü Bagaimanakah tanggapan Yesus atas pertanyaan mereka?

ü Dengan mengacu pada Kejadian 2:24, apakah yang ditegaskan oleh Allah yang telah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan serta menyatukan mereka sebagai suami-istri?

ü Bagaimana cara kita dapat ikut menjaga terciptanya perkawinan Katolik yang tetap utuh, monogam, dan tak terceraikan?

7. Pengendapan

a) Teks yang kita dalami di dalam pertemuan ini mengajak pasangan suami-istri untuk mencari apa yang menyatukan dan bukan apa yang membedakan, dengan harapan kasih dan kerukunan dapat menjadi makin sempurna. Yesus mengingatkan kita akan tujuan perkawinan yang berpangkal pada kisah penciptaan.

b) Kita renungkan bersama:

* Kejadian 1:27–28: Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya ia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”

* Kejadian 2:23–24: Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.

c) Tuhan Yesus menyatakan bahwa perceraian di dalam Taurat diberi kelonggaran karena ketegaran hati manusia. Ketegaran hati dalam hal ini berarti ketidakmampuan manusia untuk melakukan kehendak Allah sejak awal mula bahwa laki-laki dan perempuan bersatu menjadi satu daging. Ketegaran-ketegaran hati macam apakah yang selama ini mengganggu keharmonisan persatuan antara suami dan istri?

d) Gereja Katolik meneguhkan ajaran Yesus ini dengan menjadikan perkawinan sebagai suatu sakramen. Perkawinan bukan sekadar kesepakatan dari seorang laki-laki dan perempuan, tetapi ada campur tangan Allah di dalam menyatukan dan menjaga langgengnya sebuah perkawinan. Gereja Katolik berpegang teguh pada ajaran perkawinan yang monogam dan tak terceraikan. Di zaman sekarang, tantangan terhadap keutuhan sebuah perkawinan semakin berat. Apakah yang perlu kita tingkatkan agar suatu perkawinan Katolik dapat langgeng?

8. Doa Umat (diakhiri dengan doa atau menyanyikan lagu Bapa Kami)

9. Doa Penutup (didoakan bersama-sama)

Allah Bapa kami di surga, syukur kami ucapkan atas penyertaan-Mu dalam pertemuan ini melalui Roh Kudus-Mu. Dengan bimbingan-Mu, kami semua semakin merasakan betapa pentingnya membangun kesetiaan dalam hidup berumah tangga agar cinta kasih yang berasal dari-Mu tumbuh mekar dan berbuah limpah. Kuatkan kami senantiasa agar keluarga-keluarga Kristiani saling menguduskan dan setia seumur hidup sehingga kami dapat ikut ambil bagian dalam upaya menjadikan keluarga sebagai basis hidup beriman yang kukuh dan tangguh. Semua ini kami mohon ke hadirat-Mu dalam nama Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan dan Pengantara kami. Amin.

10. Lagu Penutup (pilih yang sesuai)

PERTEMUAN II

Keteladanan Orang Tua: Wujud Tanggung Jawab Pendampingan Anak

Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka.”

Beberapa persiapan

· Para peserta dimohon membawa Kitab Suci & panduan pertemuan BKSN 2007.

· Pemandu mempersiapkan materi sebelum pertemuan.

· Pemandu/tim memilih lagu yang sesuai; bisa juga dengan memutar kaset/CD lagu rohani.

Latar Belakang Teks Materi Pertemuan (untuk dipahami; tidak perlu dibacakan dalam pertemuan)

Pertemuan kedua membahas tanggung jawab orang tua terhadap anak. Teks yang kita ambil mungkin hanya memberi sedikit inspirasi untuk renungan kita. Terbuka kemungkinan lebih luas bagi para peserta untuk saling berbagi pengalaman tentang tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya. Tanggung jawab ini menyangkut kesediaan bagi suami maupun istri (bapak & ibu) untuk membesarkan dan mendidik anak-anak, sehingga nantinya mereka dapat menjadi pribadi-pribadi yang utuh, dewasa, beriman, dan mandiri.

Yesus dalam asuhan Maria dan Yosef

Ayat 40 dari teks yang kita renungkan ini menunjukkan bahwa Yesus telah berkembang menjadi anak yang semakin besar, semakin kuat tetapi juga semakin bijaksana dan penuh kasih karunia Allah. Itu semua tidak lepas dari upaya Yosef dan Maria yang dengan setia mendampingi-Nya.

Teks tidak memberi penjelasan lengkap tentang cara Yosef dan Maria mendidik Yesus. Namun setidaknya ada petunjuk kecil di sini. Tiap-tiap tahun Yosef dan Maria pergi berziarah ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Ini menandakan bahwa Yosef dan Maria termasuk orang-orang yang saleh serta taat beragama. Ketika mengadakan ziarah ke Yerusalem, tentu saja Yesus mereka bawa serta. Para rabi pada zaman itu mengajarkan bahwa kesempatan ziarah ke Yerusalem menjadi sarana pendidikan iman yang baik bagi anak-anak.

Yesus pada usia dua belas tahun ikut pergi bersama orang tuanya berziarah ke Yerusalem. Usia dua belas tahun menurut tradisi Yahudi adalah usia yang menginjak dewasa, artinya sudah dikenai kewajiban menjalankan peraturan hukum Taurat. Jika pada tahun-tahun sebelumnya Yesus mengikuti orang tuanya ke Yerusalem sebagai anak-anak, sekarang sudah dianggap sebagai seorang yang dewasa. Ada tiga kali kesempatan yang dianjurkan bagi orang Yahudi pada zaman itu untuk melakukan ziarah ke Yerusalem, yaitu pada hari raya Paskah, Pantekosta, dan Pondok Daun. Jika tidak mungkin, paling tidak sekali setahun umat Yahudi dewasa diwajibkan untuk berziarah ke Yerusalem. Apa yang mereka lakukan di Yerusalem pada hari-hari pesta itu? Mereka melakukan ibadat bersama, mempersembahkan kurban, dan mengikuti bermacam-macam kegiatan yang sifatnya keagamaan. Jarak antara Nazaret sampai Yerusalem sekitar 137 kilometer. Cukup jauh dan berat jika ditempuh dengan berjalan kaki, apalagi mereka harus berjalan melewati padang gurun yang panas di waktu siang dan dingin di waktu malam. Dibutuhkan setidaknya tiga hari perjalanan dari Nazaret ke Yerusalem. Kendati begitu, kesaksian para pemazmur menyatakan bahwa perjalanan ziarah adalah perjalanan yang menyenangkan. Mereka menciptakan lagu-lagu ziarah. Suasana batin yang menyertai para peziarah adalah suasana kerinduan untuk segera bertemu dengan Allah (lihat mazmur ziarah: Mzm 15; 24; 50; 78; 81; 84; 87; 91; 95; 100; 121; 122; 133; 134).

Yesus tertinggal di Bait Allah

Pesta Paskah dan rangkaiannya berlangsung beberapa hari. Tibalah saat mereka untuk kembali pulang ke Nazaret. Biasanya para peziarah berjalan bersama rombongan. Perempuan dan anak-anak berjalan lebih dahulu, sedangkan laki-laki berjalan kemudian bersama dengan anak-anak yang sudah cukup dewasa. Rupanya kebiasaan inilah yang membuat Yesus sampai tertinggal di Bait Allah tanpa diketahui orang tuanya. Di dalam perjalanan pulang, Yosef mengira Yesus ada bersama dengan rombongan Maria, sedangkan Maria mengira bahwa Yesus ada bersama rombongan Yosef. Maklum, usia dua belas tahun bukan usia kanak-kanak, tetapi juga belum sepenuhnya dapat digolongkan lelaki dewasa. Pada usia tersebut, bisa saja Yesus masih ikut rombongan para perempuan dan anak-anak, tetapi bisa juga ia sudah ikut rombongan laki-laki bersama dengan anak-anak yang sudah cukup dewasa. Rupanya Yesus tidak ikut dua-duanya. Yosef dan Maria baru sadar ketika mereka bertemu dan ternyata masing-masing tidak membawa Yesus sertanya. Dapat kita bayangkan betapa bingungnya Yosef dan Maria ketika Yesus tidak ada bersama mereka dan juga tidak berada bersama sanak keluarga lainnya. Mereka kembali lagi ke Yerusalem, dan butuh waktu tiga hari sampai akhirnya mereka menemukan Yesus yang ternyata masih berada di Bait Allah. Ia tidak sedang bermain-main, tidak juga menangis seperti wajarnya anak-anak yang ditinggal orang tuanya. Yesus ternyata sedang menikmati pengajaran para rabi di Yerusalem dengan tekun. Pengajaran yang disertai tanya-jawab pada waktu itu sering dilakukan para rabi di serambi-serambi Bait Allah. Para alim-ulama di Bait Allah heran melihat kecerdasan Yesus dalam bersoal jawab dengan mereka.

Perwahyuan baru bagi Yosef dan Maria sebagai orang tua Yesus

Yosef dan Maria tentu sangat lega ketika menemukan Yesus kembali. Namun, kelegaan itu tentunya bercampur dengan keheranan bahwa Yesus senang dan begitu asyik mendengarkan pengajaran para rabi. Semua perasaan itu tidak dikatakan di dalam teks, tetapi dapat kita andaikan. Yang dikatakan oleh Maria kepada Yesus ternyata bukan suatu keheranan, tetapi justru suatu pertanyaan: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau." Apa yang dikatakan oleh Maria serupa dengan teguran halus dari seorang ibu yang begitu sayang kepada anaknya. Rupanya reaksi Yesus sungguh tidak terduga. Jawaban Yesus sepertinya mengabaikan kecemasan Yosef dan Maria, namun apa yang dikatakan-Nya adalah suatu perwahyuan baru bagi orang tuanya: "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" Yesus menyebut Bait Allah sebagai rumah Bapa-Nya. Dia sedang di rumah Bapa-Nya, mengapa Yosef dan Maria sibuk mencari-Nya? Kata-kata Yesus memang tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan Maria, tetapi itu sudah cukup bagi Yosef dan Maria. Mereka diingatkan akan jati diri Yesus sebagai Anak Allah, sekaligus mereka juga diingatkan akan tugas mereka yang sebenarnya, yaitu mendampingi Yesus sebagai Anak Allah yang terkasih.

Mereka mengajak Yesus pulang ke Nazaret dan mengasuh Dia seperti lazimnya mengasuh seorang anak kandung di dalam keluarga. Kendati begitu, Maria menyimpan perkara itu di dalam hatinya (ayat 51). Maria tahu siapa Yesus, namun ia masih harus terus belajar untuk mendampingi Yesus agar semakin siap menjadi Anak Allah. Ayat 52 menunjukkan bahwa usaha Yosef dan Maria tidaklah sia-sia. Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia. Maria dengan segala usahanya melakukan pesan Allah dengan perantaraan malaikat-Nya: Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi (Luk 1:31–32). Maria tentunya juga ingat apa yang dinubuatkan oleh Simeon ketika mereka membawa Yesus kecil untuk dipersembahkan di Bait Allah: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri ,supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang (Luk 2:34–35). Pedang yang dinubuatkan Simeon adalah perlambang dari perjuangan yang harus dilakukannya sebagai ibu Yesus. Maria ingat itu semua, merenungkannya, dan menghayati maknanya sampai tuntas di kaki salib Yesus ketika Anaknya yang terkasih itu menyerahkan nyawa-Nya demi keselamatan umat manusia.

  1. Lagu Pembuka (dipilih yang sesuai dengan tema pertemuan)
  2. Tanda Salib dan Salam
  3. Pengantar

Saudari dan saudara terkasih, kita sadari bersama bahwa tawaran-tawaran dunia modern semakin banyak ragamnya dan memikat banyak orang baik anak-anak maupun orang dewasa. Mulai dari makanan, minuman, kendaraan, alat-alat elektronik seperti handphone (HP), laptop, dan sebagainya, semua itu ditawarkan di sekitar kita. Belum lagi, kita berhadapan dengan aneka macam arus zaman yang bisa menggerus keutamaan atau nilai-nilai iman dan moral Kristiani. Apa saja yang bisa disebut arus-arus zaman di masa ini? Beberapa bisa disebut, misalnya: hedonisme, sekularisme, dan eksklusivisme.

Menanggapi aneka tantangan dalam kehidupan seperti itu, orang tua diharapkan menjadi pihak yang dengan tekun dan setia mendampingi anak-anaknya teristimewa sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Melalui materi yang akan kita perdalam hari ini, kita diajak untuk melihat bagaimana Yosef dan Maria bersama-sama mendampingi Yesus untuk bertumbuh dalam keutamaan-keutamaan bagi masa depan-Nya. Meskipun kadang sebagai orang tua, mereka berdua tidak bisa memahami Yesus, tetapi mereka berusaha dengan setia melaksanakan tanggung jawab untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak mereka.

Saudari/saudara, semoga dengan permenungan hari ini, para orang tua semakin bertanggung jawab untuk mendampingi anak-anak mereka agar tumbuh-berkembang menjadi generasi Katolik yang tangguh di tengah arus zaman yang sering kali bertentangan dengan cara hidup Kristiani. Demikian pula kita mohon kepada Tuhan agar anak-anak juga dapat mendengarkan harapan, kecemasan, dan keprihatinan orang tua serta belajar dari keutamaan-keutamaan orang tua mereka.

  1. Doa Pembuka (didoakan bersama-sama)

Bapa Mahacinta, hari ini kami semua mengucap syukur atas berkat-Mu sehingga kami boleh bertemu lagi pada pertemuan kedua BKSN ini. Pada kesempatan ini, kami ingin belajar dan memahami tanggung jawab kami sebagai orang tua yang Kaupercaya untuk mendampingi dan mendidik anak-anak kami di tengah aneka macam tantangan zaman ini. Ya Bapa di surga, karuniakanlah kepada kami semua rahmat yang kami butuhkan agar sebagai orang tua, kami semakin bertanggung jawab memberikan keutamaan dan keteladanan bagi anak-anak kami. Demi Tuhan kami Yesus Kristus, yang bersatu dengan Engkau dan Roh Kudus, kini dan sepanjang masa. Amin.

  1. Membaca Teks (Luk 2:40–52)

40 Yesus bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya. 41 Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah. 42 Ketika Yesus telah berumur dua belas tahun pergilah mereka ke Yerusalem seperti yang lazim pada hari raya itu. 43 Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya. 44 Karena mereka menyangka bahwa Ia ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, berjalanlah mereka sehari perjalanan jauhnya, lalu mencari Dia di antara kaum keluarga dan kenalan mereka. 45 Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia. 46 Sesudah tiga hari, mereka menemukan Dia di dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim-ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. 47 Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya. 48 Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” 49 Jawab-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” 50 Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. 51 Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya. 52 Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.

  1. Pendalaman Teks

· Pemandu mengajak peserta untuk melihat gambar atau memutar VCD

· Peserta dipandu untuk saling berbagi tanggapan atas penangkapannya setelah melihat gambar atau VCD:

¯ Apa yang sedang diperbuat oleh Yesus saat Ia ditemukan oleh Maria dan Yosef di Bait Allah?

¯ Perasaan seperti apa yang muncul dalam hati Maria sampai ia bertanya kepada Yesus: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.”

¯ Apa maksud Yesus menjawab: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”

¯ Sebagai keluarga Katolik, keteladanan macam apa yang menurut Anda pantas diwariskan kepada anak-anak kita? Bagaimanakah caranya?

  1. Pengendapan

a) Yosef dan Maria membawa Yesus kembali ke Nazaret dan membesarkan-Nya seperti seorang anak kandung di dalam keluarga. Namun, peristiwa di Bait Allah itu menyadarkan tanggung jawab mereka sebagai orang tua yang “dititipi” Allah agar membesarkan dan mendampingi Anak-Nya. Sebagai orang yang dititipi, apalagi oleh Allah, tentu Yosef dan Maria harus bertanggung jawab sepenuhnya. Dalam arti tertentu, anak-anak kita adalah titipan Allah. Bagaimanakah kita menerima tugas tersebut dengan penuh tanggung jawab?

b) Dalam ayat 52 dikatakan bahwa Yesus, berkat asuhan Yosef dan Maria, makin bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia. Menjadikan anak “bertambah hikmat, dikasihi oleh Allah dan manusia” adalah tujuan dari pendidikan anak dalam keluarga. Bertambah hikmat berarti semakin mampu menghadapi dan menyikapi kehidupan dengan segala tantangan dan persoalannya secara baik dan tepat. Dikasihi oleh Allah berarti mampu menghayati kehidupan sesuai dengan kehendak Allah. Dikasihi oleh manusia berarti mampu membawa diri secara baik di dalam kehidupan sosial, baik dalam kehidupan keluarga, Gereja, masyarakat, maupun bangsa.

c) Seperti nubuat Simeon bagi Maria, tugas mendampingi dan mendidik anak bukanlah tugas yang ringan. Oleh karena itu, menjadi orang tua adalah tugas mulia yang mesti disertai dengan perjuangan. Di zaman yang mengalami banyak perubahan di dalam segala segi kehidupan ini, perjuangan tersebut tentu tidak mudah.

d) Marilah kita sharing-kan bersama, pengalaman kita sebagai orang tua di dalam menghayati tugas mulia dari Tuhan ini. Kita bagikan pengalaman, tanpa keinginan untuk saling mengadili, segala suka-duka kita. Bercermin pada pengalaman keluarga kudus Nazaret, Tuhan selalu hadir di dalam kehidupan keluarga kita. Di balik segala suka-duka kehidupan berkeluarga, pasti selalu kita rasakan tangan Tuhan yang menolong, memberi peneguhan dan penyelesaian.

e) Yang lebih penting lagi dari semua itu adalah orang tua jangan hanya pandai berkata-kata memberikan aneka macam nasihat tetapi tidak ada keteladanan yang nyata. Marilah kita ingat hal ini: “1 tindakan keteladanan jauh lebih berguna daripada 1.000 kata”. Sudahkah kita melaksanakannya?

  1. Doa Umat (diakhiri dengan doa atau menyanyikan lagu Bapa Kami)
  2. Doa Penutup (didoakan bersama-sama)

Allah Mahakasih, kami bersyukur atas penyertaan-Mu dari awal sampai akhir sehingga pendalaman materi pada kesempatan ini semakin membuka hati dan budi kami sebagai orang tua. Kami sadar bahwa tidak mudahlah untuk mendampingi anak-anak kami. Namun demikian, kami percaya bahwa Engkau tidak akan membiarkan kami berjuang sendiri. Semoga dengan pertolongan Bapa Yosef & Ibu Maria, kami para orang tua dapat lebih bersemangat dan bertanggung jawab untuk mengantar anak-anak kami bertumbuh menjadi pribadi yang semakin Katolik, setia kepada Tuhan, dan berbakti kepada Allah dan sesama. Semua ini kami mohon kepada-Mu dalam nama Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan dan Pengantara kami, sepanjang segala masa. Amin.

  1. Lagu Penutup (pilih yang sesuai)

PERTEMUAN III

Kasih dan Pengampunan: Dasar Membina Relasi Keluarga

“Kita patut bersuka cita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”

Beberapa persiapan

· Para peserta dimohon membawa Kitab Suci & panduan pertemuan BKSN 2007.

· Pemandu mempersiapkan materi sebelum pertemuan.

· Pemandu/tim memilih lagu yang sesuai; bisa juga dengan memutar kaset/CD lagu rohani.

Latar Belakang Teks Materi Pertemuan (untuk dipahami; tidak perlu dibacakan dalam pertemuan)

Pertemuan ketiga mengajak kita untuk merenungkan relasi atau hubungan antar-anggota keluarga. Kita ambil perumpamaan tentang anak yang hilang. Konteks perumpamaan ini adalah diskusi antara Yesus melawan orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang tidak senang melihat Yesus menerima kaum pendosa. Biasanya mereka cenderung menjauhi para pendosa. Yesus ternyata mengambil sikap sebaliknya. Yesus ingin mengajarkan sikap Allah yang menghendaki bertobatnya kaum pendosa. Cara yang dipilih oleh Yesus adalah mendekati mereka, menyapa, bahkan makan bersama mereka. Dengan mengadakan kontak langsung itulah Yesus mengajak mereka bertobat. Pengajaran lain yang diberikan oleh Yesus adalah tentang kegembiraan Ilahi atas bertobatnya orang berdosa.

Untuk pertemuan kali ini, kita tidak mengarahkan perhatian pada pertobatan saja, tetapi pada sikap bapa yang suka mengampuni anak-anaknya dan menghendaki agar mereka pun selalu rukun dan saling mengampuni. Di dalam kehidupan berkeluarga, kesediaan untuk saling mengampuni adalah salah satu keutamaan pokok. Jika keluarga pada dasarnya dibangun dengan landasan kasih, maka wajar jika ada sikap saling mengampuni dan menghendaki yang terbaik bagi masing-masing anggotanya. Judul dari perumpamaan dalam Injil ini boleh kita ganti menjadi “Bapa yang penuh belas kasih dan pengampunan”.

Kedurhakaan yang memutuskan tali kasih

Si anak bungsu tanpa ragu-ragu meminta bagian warisan yang akan diterimanya jika bapanya nanti sudah meninggal. Pada waktu itu bapanya masih hidup. Menurut tradisi bangsa Yahudi di zaman itu, meminta warisan ketika orang tua masih hidup jelaslah suatu tindakan kurang ajar. Itu sama dengan menganggap (berharap) bahwa bapanya sudah meninggal. Tindakan tersebut dapat dipandang sebagai pembangkangan yang serius. Menurut Kitab Ulangan 21:18–21, pembangkangan semacam itu dapat diganjar dengan hukuman mati. Namun, tokoh bapa dalam perumpamaan ini mengabulkan permintaan anaknya tanpa banyak komentar. Dia melakukan itu karena cintanya kepada anaknya. Di zaman sekarang, sikap bapa tersebut dapat dianggap terlalu lugu atau bodoh. Benarkah demikian?

Mengenai warisan, hukum Yahudi memperbolehkan seorang ayah menentukan pembagiannya untuk anak-anaknya sebelum ia meninggal. Meskipun begitu, mereka baru boleh mengambil warisannya setelah sang ayah meninggal. Jika seseorang mempunyai dua anak, anak sulung berhak mendapatkan dua pertiga dari harta yang diwariskan, atas dasar hak kesulungannya (Ul 21:17). Berarti, anak yang kedua hanya mendapat sepertiga. Berhubung ayahnya masih hidup, maka ayahnya masih berhak atas harta milik tersebut, termasuk keuntungan yang diperoleh dari harta tersebut. Menurut aturan tradisi, si anak bungsu sebenarnya tidak boleh menjual bagian warisannya selagi ayahnya masih hidup. Tetapi ia tetap menjualnya, bahkan hasil penjualannya dipakai untuk hidup berfoya-foya (ayat 13). Inilah contoh dari tindakan yang tidak patut, apalagi terhadap seorang bapa yang mencintai anaknya dengan begitu tulus.

Bencana kelaparan adalah hal biasa pada zaman itu. Biasanya bencana itu disebabkan oleh serangan hama atas panenan atau iklim yang merusak panenan. Akibat bencana itu dan karena kehabisan uang, anak bungsu menjadi melarat. Ia menghamba pada seorang majikan di negeri itu, yang mengirimnya untuk menjaga babi. Rupanya upah yang diterimanya tidak cukup, sehingga ia kelaparan dan meminta agar diperbolehkan makan makanan babi. Babi adalah binatang haram bagi orang Yahudi. Akan tetapi si anak bungsu terpaksa melakukan pekerjaan najis tersebut, bahkan sampai ingin menjadi sama dengan babi (makan makanan babi). Inilah gambaran dari perbuatan dosa kenajisan yang begitu ekstrem bagi orang Yahudi waktu itu. Adanya babi yang dipelihara mengandaikan bahwa anak bungsu tersebut hidup di luar lingkungan masyarakat Yahudi.

Merindukan tali kasih yang memberi jaminan hidup

Penderitaan yang begitu melilit itu membuat si anak bungsu ingat akan kemakmuran orang-orang upahan di rumah bapanya. Sama-sama menjadi orang upahan seperti dirinya, namun hidup mereka berlimpah dengan makanan. Ini menandakan bahwa bapanya termasuk orang kaya. Anak bungsu yang telah tega meminta warisan sebelum waktunya, menjualnya untuk hidup berfoya-foya, dan pergi meninggalkan bapanya yang telah lanjut usia, kini kembali pulang.

Ketika merencanakan rumusan pertobatannya, si anak bungsu menyebut diri “berdosa terhadap surga dan terhadap bapa”. Dalam teks ini, istilah “surga” adalah ungkapan lain untuk “Allah”. Anak bungsu mengakui bahwa ia tidak hanya bersalah pada bapanya, tetapi ia telah “berdosa”, artinya ia telah melakukan hal yang salah di mata Allah. Yang membawa anak itu ke pertobatan adalah kondisinya yang kelaparan. Kita belum melihat di sini suatu pertobatan yang utuh karena fokusnya masih pada kepentingan diri. Belum terlihat (paling tidak dari ungkapannya) bahwa anak ini kembali ke rumah demi cintanya pada bapa. Paling tidak, si anak bungsu itu percaya bahwa bapanya yang penuh kasih tidak akan menolaknya.

Melihat anak bungsunya pulang, ayahnya “berlari” untuk menyambutnya (ayat 20). Menurut tradisi Yahudi, “berlari” bagi orang tua dianggap sebagai perendahan martabat (dalam bahasa Jawa disebut ora ilok). Bapa yang berlari menyambut anaknya pulang tersebut ternyata tidak menunjukkan perendahan martabat. Sebaliknya, tindakan bapa tersebut justru semakin memperlihatkan cintanya yang agung. Begitu cintanya kepada anaknya, ia sampai mengesampingkan martabatnya (gengsinya) sendiri sebagai bapa. Kebahagiaan bapa dalam menyambut kembalinya si bungsu kemudian lebih diperjelas lagi dengan perintahnya pada para hambanya agar membawakan jubah, cincin, dan sandal bagi anaknya yang pulang. Jubah menjadi tanda pengembalian martabat dan kehormatan kepada anaknya. Cincin adalah pengakuan bahwa si bungsu tetaplah anaknya. Sandal adalah pengakuan bahwa anaknya adalah orang bebas merdeka, tidak dianggap sebagai budak. Para budak waktu itu tidak memakai sandal. Karena si anak bungsu disuruh memakai sandal, maka ia dianggap sebagai orang merdeka, bukan budak.

Selanjutnya, bapa memerintahkan hambanya agar menyembelih lembu tambun untuk berpesta. Dengan perintah itu, bapa menunjukkan bahwa ia menyambut kembalinya si bungsu dengan penuh kebahagiaan. Bapa bukan hanya mengampuni anaknya, mengembalikan martabatnya, tetapi juga mengadakan pesta. Menyembelih lembu tambun dan mengundang para penari serta pemusik mengandaikan bahwa pesta yang dibuat untuk menyambut kembalinya si bungsu adalah pesta yang meriah. Dapat diandaikan bahwa seluruh penduduk desa diundang.

Jalinan tali kasih yang menimbulkan iri hati

Pada saat itu, si anak sulung pulang dari ladang. Ia marah dan iri melihat adiknya pulang dan disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayahnya. Kemarahan anak sulung beralasan jika dilihat dari sudut ekonomi. Dengan pembagian warisan yang telah dibuat, jelas bahwa segala yang ada saat itu adalah hak milik si sulung. Akan tetapi, si bungsu kembali dan bapanya mau menerimanya. Itu berarti keutuhan harta warisan akan terganggu.

Sudut pandang si anak sulung dihadapkan pada sikap bapa yang lebih mengutamakan ikatan tali kasih persaudaraan daripada kekayaan, apalagi jika kekayaan itu dibangun tanpa kepekaan pada saudaranya yang menderita. Bapa mengajak si sulung agar menerima kembali si bungsu sebagai adiknya. Kegembiraan atas kembalinya saudara yang telah hilang hendaknya melebihi perhitungan untung-rugi dari segi ekonomi.

Sikap bapa mengingatkan kita akan luhurnya kasih di dalam kehidupan keluarga. Adalah sayang dan kiranya tidak pada tempatnya jika kasih antarsaudara sampai dirusak oleh ketamakan akan harta. Lebih dari itu semua, perumpamaan ini menekankan kesediaan untuk saling mengampuni. Tokoh bapa telah memberi contoh pengampunan yang tulus. Ia mengajari si anak sulung untuk mengampuni adiknya. Keutuhan keluarga akan terjamin jika ada kasih dan pengampunan.

Sikap si anak bungsu digambarkan dalam suatu perkembangan yang runtut: meminta warisan, pergi meninggalkan bapanya, memboroskan harta, menghamba pada orang kafir dengan menjadi penjaga babi, ingin makan makanan babi, menyesal, kembali kepada bapa dengan mengakui dosanya terhadap Allah dan bapa. Dinamika dari “jatuh ke dalam dosa” menuju “pertobatan” digambarkan bersama dengan dinamika menjauh dari bapa dan kembali kepadanya. Kedosaan si anak bungsu cukup jelas. Ia tidak peduli lagi dengan bapanya, meninggalkan bapanya, dan memboroskan harta warisan demi mengikuti keinginan daging. Anak bungsu telah melakukan pemutusan tali kasih dan pemujaan hawa nafsu. Kedosaan ini menjadi semakin parah ketika si anak bungsu sampai melakukan tindakan najis, yaitu menjaga babi dan ingin makan ampas makanan babi.

Anak bungsu mengalami titik balik yang total ketika sudah tidak tahan lagi menahan lapar. Penderitaan fisik membuatnya bertobat. Sebenarnya, kembalinya si anak bungsu kepada bapa masih belum dapat disebut sebagai pertobatan yang penuh karena motivasinya masih egosentris, yaitu ingin keluar dari derita kelaparan. Tidak dikatakan di sini keinginannya untuk meyambung tali kasih dengan bapanya. Dengan kata lain, bukan rasa kasih kepada bapanya yang membuatnya kembali, tetapi keinginannya untuk makan kenyang. Seandainya ia harus menjadi hamba dari ayahnya pun ia rela, yang penting kenyang. Pertobatannya belum sempurna. Kendati pertobatan belum sempurna, bapanya menanggapi kembalinya si anak bungsu ke rumah dengan kegembiraan yang sama. Mengapa? Dasarnya jelas, yakni karena kasih bapa yang begitu tulus. Kasih yang tulus tidak akan mudah terlukai oleh kesalahan pihak yang dicintai.

Sikap si anak sulung digambarkan pada bagian akhir perumpamaan. Ia marah ketika bapanya memestakan adiknya yang kembali ke rumah (ayat 28). Sebagai protes, ia tidak mau masuk. Rupanya, keinginan akan harta membuat anak sulung sulit mengampuni dan sulit menerima adiknya kembali. Ketika ayahnya keluar menemuinya dan mengajaknya untuk ikut bersuka cita, kelihatan sifat aslinya. Ia merasa dianaktirikan. Sekian lama ia telah “menghamba” pada bapanya dan selalu taat pada bapanya, tidak pernah ia mendapatkan hadiah. Sekarang, ketika si bungsu yang telah durhaka itu kembali, bapanya memperlihatkan suka cita yang luar biasa dengan menyembelih anak lembu tambun (ayat 29–30).

Kelihatan jelas bahwa selama itu anak sulung tidak merasa diri menjadi “anak bapanya”. Ia merasa hanya “melayani bapa”. Mentalnya adalah pelayan, oleh karena itu wajar jika harapannya adalah “mendapat upah”. Ia tidak mau lagi mengakui si bungsu sebagai adiknya dengan menyebutnya “anakmu/anak bapa” dan bukan “adikku”. Seperti si anak bungsu, rupanya si anak sulung tidak punya motivasi “keputraan”. Yang dipikirkan hanyalah dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia tidak rela jika adiknya kembali dan ikut menikmati harta yang sudah bukan haknya lagi. Si anak sulung tidak mampu berpartisipasi pada kegembiraan bapanya karena orientasi pikirannya hanya pada keuntungan dirinya sendiri. Meskipun bertahun-tahun hidup bersama bapanya, rupanya si anak sulung tidak pernah merasa diri sebagai “anak” dan “kakak”, kecuali dalam hal warisan. Meskipun selalu dekat dengan bapanya, si anak sulung dapat dikatakan juga sebagai “anak hilang”. Paling tidak, ia telah kehilangan roh sebagai anak yang mengasihi bapanya dengan tulus, dan kehilangan roh sebagai kakak yang mengasihi adiknya dengan tulus.

Sikap bapa digambarkan dengan sangat sempurna oleh Lukas. Si bapa tidak berprasangka buruk ketika anak bungsunya meminta warisan. Ia tidak tersinggung meskipun ada kesan bahwa si bungsu ingin agar ia cepat mati. Dengan rela ia memberikan warisan yang menjadi hak anak bungsu. Meskipun begitu, kepergian anak bungsu tetaplah menjadi keprihatinannya. Bagaimanapun juga si anak bungsu adalah anaknya. Kehadirannya tidak dapat digantikan oleh anak sulung dan oleh sekian banyak hamba yang melayaninya. Tali kasih bapa-anak adalah khusus, tak tergantikan. Ketika anaknya pulang, ia tidak menolaknya, tetapi justru “lari” menyambutnya. Kegembiraan yang meluap-luap itu ditunjukkan dengan memberi cincin, pakaian yang terbaik, dan memberi sandal. Tidak ada perubahan pada sikap si bapa. Anaknya yang durhaka itu tetaplah anaknya. Kedurhakaan tidak mampu menghapus kasihnya sebagai bapa kepada anaknya. Kasih yang tulus adalah abadi, tidak mudah dilukai, pengampun, menghendaki yang terbaik bagi yang dikasihi, rela melupakan kepentingan diri. Inilah kasih yang ditunjukkan oleh bapa.

Ketika si anak sulung marah dan protes akan sikap kasihnya, bapanya mencoba mengalah. Sekali lagi si bapa “keluar”. Dia “keluar” menemui anak sulungnya, membujuknya untuk itu bersuka cita atas kepulangan “adiknya”. Alasannya: “Adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” Baginya, anak adalah anak meskipun sudah begitu durhaka padanya. Dua kali si bapa keluar dari rumahnya untuk menyambut anak-anaknya yang pulang ke rumah. Sungguh ironis bahwa tindakannya “keluar” yang pertama adalah untuk menyambut anak bungsunya yang menyesal, sedangkan tindakan “keluar” yang kedua adalah untuk menyambut anak sulungnya yang marah. Sungguh ironis pula, ketika si anak bungsu sudah menjadi sadar, ternyata hati si anak sulung justru diliputi sikap durhaka.

Ketulusan kasih manusia adalah cermin dari ketulusan kasih Allah

Yesus mengisahkan perumpamaan ini untuk mengingatkan orang Farisi dan para ahli Taurat bahwa kaum pendosa adalah saudara mereka juga. Mengapa? Karena mereka tetaplah anak-anak Bapa di surga. Jika Bapa di surga begitu tulus mencintai semua anak-Nya, mengapa manusia sulit mengampuni sesama saudara?

Kasih macam apakah yang ditunjukkan oleh bapa di dalam perumpamaan? Serupa dengan kasih Bapa di surga, yaitu kasih yang tanpa syarat, kasih yang menghendaki apa yang terbaik bagi orang yang dikasihi-Nya. Kasih yang tulus memang bisa saja dilukai, tetapi kasih yang tulus tidak merasa terluka. Kasih tulus dari tokoh bapa dalam perumpamaan telah dilukai oleh tindakan anak bungsunya dan prasangka buruk anak sulungnya. Anehnya, si bapa tidak merasa bahwa kasihnya menjadi terluka karenanya. Oleh karena itu, tidak ada kesulitan baginya untuk mengampuni anak-anaknya.

Yesus mengajak para pendengar-Nya agar bercermin pada Bapa di surga sebagai teladan kasih yang tulus. Bapa memperlakukan kita sebagai anak-anak-Nya. Hendaknya kita bisa menjadi anak-Nya yang baik, sekaligus menjadi saudara yang baik bagi sesama kita. Di dalam kasih ada pengampunan, di dalam pengampunan ada suka cita.

  1. Lagu Pembuka (dipilih yang sesuai dengan tema pertemuan)
  2. Tanda Salib dan Salam
  3. Pengantar

Saudari dan saudara terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, kalau kita mencoba mendalami doa Bapa Kami dan mengambil satu kalimat berikut: “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga”, muncul pertanyaan, “Apakah Kerajaan Allah sudah hadir di tengah-tengah keluargaku, bagaimana suasana dan rasanya?” Di situ ada harapan dan upaya untuk menghadirkan Kerajaan Allah, khususnya di tengah-tengah keluarga kita.

Di dalam keluarga, ibarat sinetron yang kita tonton dalam layar televisi, banyak digambarkan bagaimana hubungan antar-anggota keluarga terganggu akibat kejahatan atau perubahan yang tidak baik dari para pemerannya (percekcokan, penipuan, sekongkol, bahkan sampai pembunuhan). Akibatnya, timbul aneka masalah dengan akibat ada pihak-pihak yang menjadi korban atau dirugikan. Itulah gambaran-gambaran suatu relasi keluarga dalam sinetron. Apakah keluarga kita dalam membina relasi juga seperti sinetron tersebut? Gambaran yang hidup enak, kaya, cantik atau tampan, ada yang menjadi si jahat atau pahlawan, tetapi itu hanyalah sinetron. Padahal kehidupan nyata kita terkadang sangat tidak cocok dengan situasi dan kondisi tersebut.

Saudari dan saudara, pada kesempatan ini, kita akan melanjutkan permenungan kita dengan mengambil perikop dari Lukas 15:1–3,11–32 yang menceritakan kembalinya anak yang durhaka kepada bapanya. Melalui permenungan ini, kita diajak untuk berani membangun suatu relasi atau hubungan yang sejati sebagai keluarga. Semoga relasi kasih semakin dapat dibangun oleh keluarga-keluarga Katolik bahkan juga dapat membangun sikap pengampunan yang tulus agar rahmat pertobatan melimpah dalam buah-buah yang nyata.

  1. Doa Pembuka (didoakan bersama-sama)

Allah Bapa Maha Pengasih, Engkau telah mengajarkan agar kami menjadi makin sempurna sebagaimana Engkau sempurna adanya. Meskipun demikian, tak mudahlah untuk mewujudkan hal itu dalam hidup kami. Karuniakanlah Roh Kudus-Mu agar mencairkan hati dan budi kami yang sering kaku dan beku, tak mudah mengampuni, dan lebih suka mencari menangnya sendiri. Semoga dengan permenungan ketiga di kesempatan BKSN ini, kami sungguh mampu membangun relasi yang sehat dan berbuah berkat sehingga kerajaan kasih-Mu hadir dan dirasakan oleh sebanyak mungkin orang. Demi Tuhan kami Yesus Kristus, yang bersatu bersama Engkau dan Roh Kudus, kini dan sepanjang segala masa. Amin.

  1. Membaca Teks (Luk 15:1–3,11–32)

1 Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. 2 Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.” 3 Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka:

11 “Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. 12 Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu, ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. 13 Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. 14 Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat. 15 Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. 16 Lalu, ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikannya kepadanya. 17 Lalu, ia menyadari keadaannya, katanya: “Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. 18 Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: ‘Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, 19 aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.’” 20 Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. 21 Kata anak itu kepadanya: “Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.” 22 Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: “Lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. 23 Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersuka cita. 24 Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” Maka mulailah mereka bersuka ria. 25 Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. 26 Lalu, ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. 27 Jawab hamba itu: “Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun karena ia mendapatnya kembali dengan sehat.” 28 Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu, ayahnya keluar dan berbicara dengannya. 29 Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersuka cita dengan sahabat-sahabatku. 30 Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.” 31 Kata ayahnya kepadanya: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. 32 Kita patut bersuka cita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”

  1. Pendalaman Teks

· Pemandu mengajak peserta untuk melihat gambar atau memutar VCD

· Peserta dipandu untuk saling berbagi tanggapan atas penangkapannya setelah melihat gambar atau VCD:

¯ Bagaimanakah hubungan antara anak bungsu dengan bapanya?

¯ Bagaimanakah hubungan anak sulung dengan anak bungsu?

¯ Bagaimanakah hubungan bapa dengan kedua anaknya?

¯ Sikap-sikap manakah yang perlu dibangun agar keharmonisan hubungan antar-anggota keluarga tetap terjalin dengan baik?

  1. Pengendapan

a) Relasi suami-istri, relasi orang tua-anak, relasi sesama saudara yang didasari oleh kasih yang tulus adalah dasar utama untuk membangun keluarga yang kokoh.

b) Karena kerapuhan manusia, relasi di dalam keluarga sering terganggu oleh sikap egois, iri hati, ketamakan, gengsi, acuh tak acuh, dan sebagainya. Semuanya itu dapat diselesaikan jika satu sama lain mau bertobat dan memperbaiki diri. Pertobatan akan menghasilkan keselamatan jika ditanggapi dengan pengampunan.

c) Kasih yang tulus tidak mudah dilukai oleh kekurangan dan kesalahan dari pihak yang dikasihi.

d) Relasi yang kokoh antar-anggota keluarga bercermin pada sikap Bapa di surga yang menghendaki seluruh umat manusia saling mengasihi. Yesus dalam Injil Yohanes 15:9–12 mengatakan: Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya suka cita-Ku ada di dalam kamu dan suka citamu menjadi penuh. Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.

  1. Doa Umat (diakhiri dengan doa atau menyanyikan lagu Bapa Kami)
  2. Doa Penutup (didoakan bersama-sama)

Allah Bapa kami, sungguh tiada terkira belas kasih-Mu kepada kami orang yang berdosa ini. Berulang-ulang kami tidak setia kepada-Mu tetapi Engkau justru mengampuni dan selalu mengajak kami untuk mengalami rahmat yang Kautawarkan. Kami bersyukur boleh mengalami relasi yang begitu dalam yang Kautunjukkan melalui permenungan hari ini. Bantulah kami ya Bapa agar kami pun dapat membangun relasi yang akrab, erat, penuh pengertian, dan pengampunan antar-anggota keluarga sehingga makin kuat dan kukuhlah bangunan keluarga kami. Semua ini kami mohon dalam nama Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan dan Pengantara kami, kini dan sepanjang segala masa. Amin.

  1. Lagu Penutup (pilih yang sesuai)

PERTEMUAN IV

Keluarga sebagai Pendengar dan Pelaksana Firman Allah

“Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?”

Beberapa persiapan

· Para peserta dimohon membawa Kitab Suci & panduan pertemuan BKSN 2007.

· Pemandu mempersiapkan materi sebelum pertemuan.

· Pemandu/tim memilih lagu yang sesuai; bisa juga dengan memutar kaset/CD lagu rohani.

Latar Belakang Teks Materi Pertemuan (untuk dipahami; tidak perlu dibacakan dalam pertemuan)

Pertemuan keempat ini membahas nasihat Yesus mengenai dasar kokoh di dalam kehidupan beriman. Dasar kokoh tersebut rupanya tidak cukup dibangun dengan mendengarkan firman Tuhan dan berseru kepada-Nya, tetapi harus disertai dengan kesediaan dan wujud nyata untuk melaksanakan Firman. Kita ingin menindaklanjuti pendalaman Kitab Suci. Pendalaman Kitab Suci adalah langkah awal untuk mendalami dan meresapkan kehendak Tuhan. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan kehendak itu di dalam kehidupan nyata. Tema Bulan Kitab Suci kita adalah “Keluarga Kukuh, Gereja Tangguh”. Di dalam tiga kali pertemuan, diharapkan adanya sejumlah bahan yang telah digali dan direnungkan bersama berkenaan dengan membangun keluarga yang kukuh. Berawal dari keluarga yang kukuh, kita berupaya membangun Gereja yang tangguh.

Menjadi Pelaksana Firman

Dalam Surat Yakobus 2:17 dikatakan: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati. Nasihat Santo Yakobus ini cocok dengan pesan dari kutipan Injil yang kita renungkan bersama. Bagi Yesus, seruan kepada Tuhan atau penghormatan kepada-Nya, misalnya di dalam doa, belumlah suatu pertanda yang lengkap dari iman yang kokoh dan mendalam. Mendengarkan sabda Tuhan dan memahaminya akan menjadikan iman semakin kokoh jika disertai dengan pelaksanaannya yang nyata. Menghormati Tuhan, mendengarkan sabda-Nya, dan mengakui kuasa-Nya di dalam hidup kita harus diperlihatkan di dalam tindakan. Yesus membuat suatu perumpamaan yang bagus mengenai iman yang kokoh, yaitu bagaikan orang yang membangun rumah di atas batu. Dapat kita bayangkan betapa sulitnya membangun rumah di atas batu dengan menggali fondamen dalam-dalam. Namun jika rumah itu jadi, maka rumah itu akan menjadi rumah yang kuat dan tahan banjir. Inilah gambaran orang yang kokoh imannya. Kekuatan imannya ditunjukkan lewat mendengarkan dan melaksanakan sabda Tuhan. Seperti membangun di atas batu, tentu ada banyak kesulitan, tetapi hasilnya akan kelihatan.

Jika kita tidak mampu melaksanakan kehendak Tuhan, maka kita diumpamakan sebagai orang yang membangun rumahnya di atas tanah tanpa dasar. Rumah itu pasti akan rapuh dan hancur luluh jika banjir datang melanda. Kitab Suci dan pendalamannya memang berguna bagi kita untuk memupuk iman. Namun, hal itu belum menjadi suatu kekuatan yang sejati jika kita tidak melaksanakannya di dalam kehidupan nyata.

Keluarga sebagai pendengar Firman

Dari teks Kitab Suci yang kita renungkan, ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh umat Katolik untuk membangun iman yang kokoh, yaitu: menjadi pendengar Firman, menjadi pendoa yang rajin, dan menjadi pelaksana Firman. Bagaimana tiga hal itu dapat kita bangun bersama di dalam kehidupan keluarga? Selama ini umat Katolik dinilai kurang membaca Kitab Suci. Kendati begitu, pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Di banyak tempat, Kitab Suci didalami lewat kegiatan kelompok, lewat kursus-kursus, lewat pendidikan PIA. Selain itu, banyak umat Katolik yang secara pribadi senang membaca Kitab Suci dan mendalaminya. Segala kesulitan yang pada mulanya menjadi hambatan, sedikit demi sedikit mulai diatasi. Buku-buku pendukung untuk mempelajari Kitab Suci sudah cukup banyak. Selama ini misa kudus dan ibadat sabda dapat menjadi cara yang efektif untuk mendalami Sabda Tuhan dari Kitab Suci.

Bagaimana keluarga-keluarga Katolik dapat meningkatkan kecintaannya pada Firman Allah? Apakah setiap keluarga Katolik memiliki Kitab Suci? Setidaknya, panduan-panduan misa yang dicetak oleh banyak paroki telah menolong umat untuk membaca sendiri bacaan-bacaan Kitab Suci di dalam misa kudus. Jika panduan itu dibawa pulang, masih dapat dibaca lagi dan direnungkan lebih dalam. Ini merupakan cara yang selama ini cukup praktis untuk mendekatkan umat pada Kitab Suci. Mungkin perlu keberanian bagi umat Katolik untuk membaca Kitab Suci secara bersama-sama di dalam keluarga. Anak-anak mulai diperkenalkan pada kisah-kisah yang terdapat di dalam Kitab Suci. Bapak atau ibu dapat membacakan dan menjelaskannya kepada anak-anak menjelang mereka tidur. Mengapa tidak?

Kecintaan kepada Firman Allah janganlah cepat disurutkan oleh keengganan untuk memulai. Mulai sajalah membaca Kitab Suci. Jika kegiatan itu dilakukan dengan tekun dan teratur, pasti buahnya akan kelihatan. Ayat-ayat yang menarik dari Kitab Suci dapat saja kita tandai agar kita lebih mudah mengingatnya. Dengan begitu kita dapat menjadi pembaca Firman Allah yang aktif. Bagaimanapun juga upaya menjadikan keluarga sebagai pendengar dan pembaca Firman harus kita mulai dari diri kita sendiri.

Keluarga sebagai pendoa

Kebiasaan berdoa di dalam keluarga adalah salah satu tiang kokoh di dalam membangun keluarga yang kukuh, kuat, dan tahan godaan. Yesus dalam Injil mengingatkan para pendengar-Nya agar senantiasa berdoa. Dalam Matius 26:41, Yesus berpesan kepada para murid: “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah. Salah satu kegunaan dari doa adalah membuat kita kuat dan tidak mudah jatuh ke dalam pencobaan. Dalam khotbah di bukit, Yesus menasihati para pendengar-Nya agar berdoa dengan tulus, tidak mencari pujian dan tidak bertele-tele (Mat 6:5–8). Yesus juga mengajarkan doa Bapa Kami, sebuah doa yang sederhana, praktis, dan penuh iman kepercayaan (Mat 6:9–13; Luk 11:2–4). Bapa mengetahui apa yang kita butuhkan, namun dari pihak kita diperlukan suatu kerendahan hati untuk memohonnya. Di dalam karya publik-Nya, Yesus memberi contoh sebagai pendoa yang rajin dan tekun. Kedekatan-Nya dengan Bapa antara lain ditunjukkan-Nya lewat berdoa.

Apakah doa bersama di dalam keluarga masih menjadi tradisi umat Katolik? Kebiasaan berdoa bersama di dalam keluarga adalah kenangan manis bagi anak-anak. Ketika mereka belum sanggup membaca Firman Allah, mereka sudah diajak untuk menemui Allah dengan berdoa. Di dalam tiga pertemuan terdahulu sudah dibicarakan beberapa segi yang perlu diperhatikan di dalam kehidupan berkeluarga, yaitu perkawinan sebagai sakramen, tanggung jawab orang tua, dan relasi antar-anggota keluarga. Dengan membangun kebiasaan doa di dalam keluarga, kita boleh berharap bahwa segi-segi tersebut akan lebih mudah dibangun, dipertahankan, dan dilaksanakan.

Kebiasaan berdoa di dalam keluarga akan mendekatkan keluarga kepada Tuhan, sekaligus mendekatkan hubungan antar-anggota keluarga. Bukan hal yang aneh jika ketegangan hubungan antar-anggota keluarga dapat diselesaikan lewat berdoa bersama.

Keluarga sebagai pelaksana Firman

Menjadi pendengar Firman yang baik dan menjadi pendoa yang baik kiranya belum cukup jika tidak dilengkapi dengan menjadikan kita sebagai pelaksana Firman. Apa yang kita dengarkan dan apa yang kita doakan hendaknya terwujud di dalam tindakan. Orang Farisi di dalam Injil banyak dikritik sebagai orang-orang yang tekun menggulati Firman Allah, tekun berdoa, tetapi tindakannya sering tidak sesuai dengan apa yang mereka pelajari. Injil Matius 23 memperlihatkan bagaimana Yesus dengan terus terang mengkritik perbuatan orang Farisi yang tidak sesuai dengan kesalehan yang mereka banggakan. Firman Allah disampaikan bukan hanya untuk didengarkan, tetapi juga untuk dilaksanakan. Demikian juga doa-doa yang diserukan kepada Tuhan menjadi tanpa makna jika kita tidak mengubah sikap dan tindakan kita menjadi lebih baik.

Keinginan untuk membangun keluarga yang teguh beriman tidak akan berhasil jika masing-masing anggotanya tidak mau menjadi pelaksana Firman. Saya kira adalah suatu tuntutan yang wajar jika teguhnya kehidupan berkeluarga harus dibangun lewat kemampuan para anggotanya di dalam melaksanakan Firman Allah. Iman bukan hanya sikap batin, tetapi juga suatu tindakan. Yesus cukup keras berbicara mengenai hal ini, seperti yang kita baca di dalam kutipan pada pertemuan yang keempat ini. Menjadi pendengar Firman, menjadi pendoa, tetapi tidak menjadi pelaksana Firman diibaratkan seperti orang yang membangun rumah tanpa dasar. Mungkin bangunan rumah kelihatan megah, tetapi jika tidak mempunyai dasar yang kokoh, maka akan dengan mudah dihancurkan oleh banjir.

Renungan

-

1. Lagu Pembuka (dipilih yang sesuai dengan tema pertemuan)

2. Tanda Salib dan Salam

3. Pengantar

Saudari dan saudara terkasih, hari ini untuk kesekian kalinya kita bertemu kembali dalam pertemuan BKSN. Banyak hal telah kita bicarakan dan kita perdalam, teristimewa untuk makin meneguhkan kita semua di tahun keluarga di tahun 2007 ini.

Pada kesempatan ini, kita akan merenungkan bacaan dari Lukas 6:46–49 yang berbicara tentang dua macam dasar. Semoga apa yang akan kita dalami bersama ini membangkitkan kita semua sebagai keluarga Kristiani untuk lebih bertekun dan setia dalam upaya mendengarkan serta melaksanakan kehendak Tuhan dalam hidup berkeluarga. Kita mohon rahmat dari Tuhan agar dalam menghadapi aneka macam kesulitan dan tantangan kita tidak menjadi loyo dan nglokro, tetapi makin kreatif-berinisiatif atas dasar iman kita kepada Tuhan. Semoga keluarga-keluarga Kristiani makin tumbuh dengan kuat dan kukuh sehingga Gereja pun makin menjadi tangguh untuk menyongsong hari esok yang cerah dan penuh pengharapan dalam Tuhan.

  1. Doa Pembuka (didoakan bersama-sama)

Ya Allah, Bapa Mahasetia, hari ini, kami umat-Mu bersyukur dan berkumpul kembali pada pertemuan BKSN yang keempat. Bukalah hati dan budi kami agar dalam kesempatan ini kami semakin memantapkan diri untuk melangkah dengan pasti karena dikuatkan oleh Sabda-Mu. Teguhkanlah pula keluarga-keluarga Kristiani agar di tahun keluarga ini kami mampu untuk lebih nyata mewujudkan keluarga yang kukuh dalam segala hal agar dengan demikian Gereja pun makin tangguh. Semua ini kami haturkan ke hadapan-Mu dalam nama Tuhan kami Yesus Kristus, yang bersatu dengan Dikau dan Roh Kudus, kini dan sepanjang masa. Amin.

  1. Membaca Teks (Luk 6:46–49)

46 “Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan? 47 Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku serta melakukannya Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan , 48 ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan karena rumah itu kokoh dibangun. 49 Akan tetapi barangsiapa mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah di atas tanah tanpa dasar. Ketika banjir melandanya, rumah itu segera rubuh dan hebatlah kerusakannya.”

  1. Pendalaman Teks

· Pemandu mengajak peserta untuk melihat gambar atau memutar VCD

· Peserta dipandu untuk saling berbagi tanggapan atas penangkapannya setelah melihat gambar atau VCD:

¯ Dengan apa Tuhan Yesus mengumpamakan orang yang mendengarkan dan melaksanakan sabda-Nya?

¯ Dengan apa Tuhan Yesus mengumpamakan orang yang mendengarkan sabda-Nya tetapi tidak melaksanakannya?

¯ Bagaimanakah caranya agar keluarga-keluarga Katolik menjadi kukuh dan dengan demikian Gereja menjadi tangguh?

  1. Pengendapan

a) Yesus menekankan pentingnya umat Kristiani melaksanakan Firman Allah dalam kehidupan sehari-hari. Kendati begitu tidak berarti bahwa mendengarkan Firman dan berdoa tidaklah penting. Alangkah baiknya jika ketiga hal itu kita bangun di dalam kehidupan keluarga kita.

b) Kita dapat saling berbagi pengalaman tentang usaha kita masing-masing di dalam membangun keutamaan sebagai pendengar, pendoa, dan pelaksana Firman. Bagaimana kita menumbuhkan keutamaan itu di dalam keluarga kita masing-masing?

c) Meskipun demikian, haruslah disadari bahwa fondasi dan benteng rumah tangga keluarga Katolik adalah KASIH kepada Allah dan sesama, yang dalam hal ini adalah pasangan hidupnya, sehingga perjalanan hidup mereka semakin kokoh-kuat dalam persatuan dengan Yesus Kristus. Dialah Jalan, Kebenaran, dan Hidup menuju cita-cita sejati, yaitu Kerajaan Allah. Itulah yang menjadi fondasi mereka, yang tidak akan hanyut oleh gelombang kehidupan. Ketika suami dan istri menjadi lebih dekat kepada Allah melalui doa, pembacaan Kitab Suci, persekutuan dan kerendahan hati di hadapan Kristus, mereka akan semakin melayani satu sama lain. Semakin suami dan istri bertumbuh ke arah Allah, terjadilah ikatan yang semakin kokoh dalam pernikahan mereka. Dengan demikian, semoga dari keluarga-keluarga Kristiani yang kukuh dalam iman, pengharapan, dan kasih akan semakin terwujudlah Gereja yang tangguh.

  1. Doa Umat (diakhiri dengan doa atau menyanyikan lagu Bapa Kami)
  2. Doa Penutup (didoakan bersama-sama dari buku Nota Pastoral 2007)

Bapa di surga, Engkau telah menciptakan dan menyatukan laki-laki dan perempuan agar keduanya menjadi satu pasangan tak terpisahkan dan bersama-sama membentuk satu keluarga.

Bapa, sumber hidup dan kasih sejati, melalui Putra-Mu Yesus Kristus, yang lahir dan bertumbuh dalam Keluarga Kudus Nazaret, berikanlah bantuan-Mu kepada setiap keluarga di bumi ini agar ia dapat menjadi kenisah hidup dan kasih sejati, bagi generasi saat ini dan generasi yang akan datang.

Semoga rahmat-Mu membimbing semua pasangan para suami-istri agar mereka saling menyayangi dengan kasih yang penuh dan setia, mampu mengatasi segala godaan dan cobaan, dan dengan demikian mampu membentuk keluarga yang sejahtera.

Bantulah pula semua orang muda supaya mereka menemukan dalam keluarga mereka dukungan yang kuat bagi pertumbuhan mereka sebagai manusia sehingga mereka berkembang dalam keutamaan manusiawi dan kristiani.

Tolonglah Gereja-Mu di bumi ini dengan bantuan Tuhan Yesus, Bunda Maria, dan Bapa Yosef agar ia mampu menunaikan tugas perutusannya untuk dan melalui keluarga-keluarga.

Semua ini kami mohon kepada-Mu dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami, yang adalah Jalan, Kebenaran, dan Hidup, kini dan sepanjang segala masa. Amin.

  1. Lagu Penutup (pilih yang sesuai)

Labels: